Nasional

Abigail Limuria: Rakyat Sudah Lakukan Bagiannya, Kini Terserah Pemerintah

INDOPOSCO.ID – Pegiat isu sosial-politik sekaligus penulis, Abigail Limuria, kembali menyuarakan pandangannya terkait dinamika politik yang belakangan mengguncang Indonesia. Melalui unggahan di akun Instagram pribadinya, Abigail mengungkapkan perasaan gelisah sekaligus harapan atas gerakan rakyat yang mendorong tuntutan publik 17+8.

Dalam unggahannya, Abigail menggambarkan pekan terakhir sebagai periode penuh tekanan yang sarat dengan emosi dan perjuangan.

“Minggu ini terasa seperti berada di medan perang. Aku hampir tidak bisa tidur, makan, atau beristirahat. Aku gelisah. Tapi anehnya, bukan karena rasa takut,” tulis Abigail dalam unggahan di akun Instagram pribadinya, dikutip pada Jumat (5/9/2025).

Menurut Abigail, kecemasan terbesar bukanlah soal ketakutan pribadi, melainkan tentang kemungkinan momentum perubahan yang sudah dibayar mahal oleh para korban akan hilang tanpa hasil nyata.

“Tentu saja, rasa takut itu ada. Tapi kecemasan yang lebih besar datang dari perasaan bahwa sebuah jendela langka untuk perubahan—yang telah dibayar begitu mahal oleh para korban—sedang tertutup begitu cepat tanpa ada respons atau hasil nyata,” jelasnya.

Penulis buku ‘LALITA: 51 Cerita Perempuan Hebat di Indonesia’ itu juga menyoroti bagaimana gerakan ini menyatukan masyarakat dari berbagai kalangan.

“Aku melihat orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat —lintas kelas sosial, etnis, dan profesi— bersatu. Mereka yang sebelumnya tidak pernah berbicara soal politik mulai berbicara; mereka yang tadinya tidak tahu apa-apa tentang politik mulai belajar. Dan itu tidak hanya terjadi di dalam negeri, komunitas diaspora juga ikut bergerak menunjukkan solidaritas,” urainya.

Bagi Abigail, hal itu menegaskan betapa dalam kecintaan rakyat terhadap negeri ini. Justru karena cinta itulah, kata dia, lahir kemarahan yang besar.

“Hal itu membuatku sadar betapa dalam sebenarnya kita mencintai negeri ini. Dan justru karena cinta itulah kemarahan ini muncul, karena kita tidak sanggup membayangkan segelintir orang menghancurkan sesuatu yang sangat kita sayangi,” imbuhnya.

Pendiri platform What Is Up Indonesia itu menegaskan bahwa keterlibatannya dalam tuntutan 17+8 lahir dari rasa tanggung jawab, bukan klaim bahwa dirinya memiliki jawaban.

“17+8, setidaknya bagiku pribadi, adalah sebuah upaya putus asa untuk memastikan bahwa semua ini tidak terbuang percuma. Bukan karena aku merasa punya jawaban, tapi karena aku tidak akan bisa hidup dengan tenang bila aku tidak berusaha sekuat tenaga dalam perjuangan ini. Aku perlu MENCOBA,” tuturnya.

Ia menambahkan, perjuangan kolektif yang lahir dari perbedaan yang ditanggalkan justru membuka pintu harapan baru. “Anehnya, di tengah kekacauan, justru untuk pertama kalinya setelah sekian lama aku merasakan harapan,” ucapnya

Puncaknya, Abigail menekankan bahwa meski hasil akhir masih bergantung pada pemerintah, rakyat sudah menjalankan bagiannya. “Rakyat sudah melakukan bagiannya. Kini terserah pada pemerintah, apakah mereka peduli atau tidak,” ucapnya.

Bagi Abigail, apa pun hasil yang akan muncul setelah tenggat waktu, gerakan ini sudah meninggalkan warisan penting, yakni meningkatnya kesadaran politik masyarakat.

“Beberapa hari terakhir ini telah menjadi pendidikan politik besar-besaran bagi bangsa. Jika ada yang bisa kita ambil dari semua ini, itu adalah rakyat yang lebih melek politik daripada sebelumnya. Dan kebangkitan semacam itu adalah pengubah permainan,” tambah sarjana Biola University, California, Amerika Serikat itu.

Diketahui, gerakan “17+8 Tuntutan Rakyat” tercetus oleh sebuah koalisi lintas masyarakat sipil pascademonstrasi besar-besaran yang berlangsung pada 28–30 Agustus 2025 di berbagai kota di Indonesia. Koalisi ini menyodorkan desakan jangka pendek dengan tenggat waktu hingga 5 September 2025. Desakan itu berisi 17 poin tuntutan yang dianggap paling mendesak untuk segera ditindaklanjuti pemerintah.

Selain tuntutan jangka pendek, koalisi masyarakat sipil ini juga menyiapkan agenda jangka panjang berupa delapan tuntutan rakyat. Target penyelesaian agenda tersebut ditetapkan paling lambat pada 31 Agustus 2026. (her)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button