Pakar: Publik Perlu Pahami Status Bebas Bersyarat Setya Novanto Berbeda dengan Bebas Murni

INDOPOSCO.ID – Akademisi Ilmu Hukum Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah, menegaskan pentingnya publik memahami perbedaan status hukum narapidana, khususnya terkait bebas bersyarat dan bebas murni.
Menurut Trubus, dalam sistem pemasyarakatan Indonesia, narapidana memang memiliki hak atas pengurangan masa hukuman melalui sejumlah mekanisme.
Namun, dua istilah ini kerap dipahami keliru oleh masyarakat.
“Bebas bersyarat itu bukan akhir pidana. Sisa masa hukuman hanya dialihkan ke luar penjara dengan pengawasan,” kata Trubus, Rabu (20/8/2025).
Ia menjelaskan, bebas bersyarat diberikan setelah narapidana menjalani sebagian besar masa pidana, seperti halnya yang dialami terpidana korupsi Setya Novanto.
Selama periode itu, narapidana wajib melapor, tidak boleh melakukan tindak pidana baru, dan dilarang meninggalkan wilayah tertentu tanpa izin.
“Jika melanggar, hak bebas bersyarat bisa dicabut,” ujarnya.
Sementara itu, bebas murni menandai berakhirnya masa pidana secara penuh.
“Kalau sudah bebas murni, narapidana tidak lagi punya kewajiban hukum maupun pengawasan. Semua hak sipilnya kembali utuh,” jelasnya.
Trubus mengingatkan, perbedaan ini penting agar publik tidak keliru menilai status mantan narapidana.
Ia mencontohkan, Setya Novanto masih berstatus wajib lapor hingga 2029, meski sudah tidak berada di dalam penjara.
Selain itu, Trubus juga membandingkan dengan kewenangan Presiden dalam memberikan grasi, amnesti, dan abolisi.
Grasi diberikan kepada individu setelah ada putusan pengadilan, amnesti menghapus kesalahan hukum demi kepentingan negara dan abolisi menghentikan perkara pidana sebelum diputus pengadilan.
Seperti Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong dan Hasto Kristiyanto yang mendapatlan amnesti dan abolisi.
“Ketiga instrumen ini mencerminkan peran Presiden bukan hanya sebagai kepala pemerintahan, tetapi juga simbol kekuasaan negara yang memberi jalan keluar hukum dalam situasi khusus,” pungkasnya.
Sebagai informasi, Kepala Bagian (Kabag) Humas dan Protokol di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Imigrasi dan Permasyarakatan, Rika Aprianti menyatakan keputusan ini berdasarkan Surat Keputusan Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan. Nomor PAS-1423 PK.05.03 Tahun 2025 tertanggal 15 Agustus 2025.
Berdasarkan putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung Nomor 32/PK/Pid.sus/2020. Hukuman Setya Novanto yang semula 15 tahun penjara dikurangi menjadi 12 tahun 6 bulan.
Disertai denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan, serta uang pengganti sebesar Rp49,05 miliar subsider dua tahun kurungan.
“Persetujuan rekomendasi diberikan bersama 1000 usulan program Integrasi warga binaan seluruh Indonesia lainnya,” kata Rika.
Usulan pembebasan bersyarat Setnov telah disetujui Sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Ditjenpas pada 10 Agustus 2025.
Ia dinilai memenuhi syarat administratif dan substantif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022.
Setnov dinilai berkelakuan baik, aktif mengikuti pembinaan, menunjukkan penurunan risiko, serta telah menjalani lebih dari dua pertiga masa pidana.
Ia juga telah melunasi kewajiban pembayaran denda dan sebagian besar uang pengganti.
Berdasarkan keterangan resmi KPK, ia telah membayar Rp500 juta denda dan Rp43,7 miliar dari total uang pengganti. Sisanya, sebesar Rp5,3 miliar, diselesaikan melalui ketetapan KPK.
Sejak 16 Agustus 2025, status Setnov berubah dari narapidana menjadi klien pemasyarakatan pada Bapas Bandung.
Ia akan menjalani masa bimbingan hingga 1 April 2029 di bawah pengawasan pembimbing kemasyarakatan. (fer)