Program MBG Dinilai Tergesa-gesa, Akademisi Dorong Pemerintah Terapkan Model Kolaboratif

INDOPOSCO.ID – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali menuai kritik. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Prof. Dr. Evi Satispi, M.Si, menegaskan pemerintah perlu lebih fokus pada solusi berjenjang, bukan sekadar menjalankan program secara serentak tanpa mekanisme yang jelas.
“Program ini sudah berjalan, tapi harus dilaksanakan dengan bertahap dan mengacu pada prinsip efisiensi. Jangan hanya sekadar administrasi seperti pembukaan dapur tersertifikasi, sementara pendekatan substansialnya terabaikan,” kata Prof. Evi, dalam konferensi pers dalam salah satu materi ujian Uji Kompetensi Wartawan (UKW) 2025 di Auditorium Kasman Singodimedjo, FISIP UMJ, Jl. KH Ahmad Dahlan, Cireundeu, Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten, Sabtu (4/10/2025).
Prof. Evi menyoroti pemerintah seharusnya membuka ruang kolaborasi lintas sektor, bukan hanya menjadikan program MBG sebagai proyek birokrasi.
Menurutnya, model hexa-helix yang melibatkan pelaku usaha, akademisi, komunitas, media sosial, pemerintah, hingga masyarakat bisa menjadi kunci agar program berjalan efektif.
“Pelaku usaha bisa diajak kerja sama. Kenapa tidak melibatkan perusahaan besar seperti industri pangan yang sudah berpengalaman, misalnya lewat pelatihan dapur dan tata boga? Bahkan dana CSR bisa dimanfaatkan untuk masyarakat, bukan justru diarahkan ke hal-hal yang tidak jelas,” ujar Prof. Evi.
Dia juga menyinggung adanya praktik bagi-bagi program di level kementerian, yang justru memperlemah efektivitas kebijakan.
“Faktanya, antar-kementerian sering berebut program. Jadi terkesan seperti bagi-bagi kue. Padahal di negara lain, pembagian tugas jelas sesuai kompetensi masing-masing,” jelasnya.
“Kalau soal pangan ya kementerian pertanian, soal distribusi gizi ya lembaga yang memang punya keahlian,” tambahnya.
Menurutnya, pemerintah harus menghentikan pendekatan tergesa-gesa dan memikirkan distribusi makanan yang aman, sehat, serta tepat sasaran.
“Ketahanan pangan itu tidak bisa dipaksakan dengan simbol-simbol politik. Ini soal manajemen, soal kolaborasi, dan soal keselamatan masyarakat,” tutup Prof. Evi. (fer)