Nasional

Pimpinan Komisi X DPR Sebut Study Tour Boleh Dilaksanakan, Ini syaratnya

INDOPOSCO.ID – Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani menegaskan pelaksanaan study tour tetap bisa dilaksanakan asal memenuhi tiga syarat utama, yakni memiliki nilai edukasi, tidak memberatkan orang tua, dan memberikan manfaat nyata bagi peserta didik.

Sebagaimana diketahui, pelaksanaan study tour kembali menjadi polemik usai pelaksanaan tahun ajaran baru dimulai, khususnya di wilayah Jawa Barat. Mengingat sejumlah wali kota atau bupati melawan kebijakan dari Gubernur Dedi Mulyadi yang melarang kegiatan tersebut. Bahkan tiga kepala daerah di Jabar secara gamblang tetap mengizinkan study tour.

“Selama study tour itu untuk kepentingan edukasi, maka silakan aja dengan catatan tidak memberatkan orang tua. Dan ouput untuk siswa benar-benar untuk kepentingan pendidikan,” kata Lalu Hadrian dalam keterangan tertulisnya, Senin (28/7/2025).

Tiga kepala daerah yang dimaksud antara lain, Wali Kota Bandung, Muhamad Farhan yang tidak melarang kegiatan study tour di sekolah-sekolah selama tidak berkaitan dengan penilaian akademik. Hal senada juga disampaikan Wali Kota Cirebon, Effendi Edo, yang mengizinkan study tour selama ada aturan dan pengawasan ketat.

Kemudian Bupati Bandung, Dadang Supriatna juga menekankan selama kegiatan study tour mendapatkan persetujuan orang tua dan memiliki nilai edukatif, maka tidak seharusnya dilarang.

Menanggapi hal tersebut, Lalu berpandangan study tour memang bukan sekadar jalan-jalan siswa, melainkan sarana pembelajaran kontekstual yang mampu memperkaya pengalaman siswa di luar ruang kelas. “Kegiatan seperti ini dapat menjadi pelengkap metode pembelajaran tematik, penguatan karakter, hingga literasi budaya dan sejarah,” tuturnya.

Namun demikian, Lalu yang merupakan pimpinan komisi bidang pendidikan DPR ini juga mengingatkan bahwa study tour harus disesuaikan dengan kondisi ekonomi orang tua dan tidak boleh menjadi ajang komersialisasi. Ia menyarankan agar sekolah berkoordinasi dengan komite dan dinas pendidikan dalam perencanaan kegiatan, serta menyusun indikator yang jelas.

“Pihak sekolah perlu merancang program study tour secara transparan dan partisipatif, dengan melibatkan komite sekolah dan dinas pendidikan dalam proses perencanaannya,” ungkap Lalu.

“Selain itu, diperlukan penyusunan indikator keberhasilan yang terukur, agar manfaat kegiatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara edukatif dan administratif,” tambahnya.

Selain kebijakan larangan study tour, beberapa kepala daerah di Jawa Barat juga tidak setuju dengan kebijakan masuk sekolah lebih awal yang diterapkan oleh Dedi Mulyadi. Mereka berpendapat bahwa kebijakan tersebut memberatkan siswa dan orang tua, serta kurang mempertimbangkan kondisi daerah masing-masing.

Beberapa di antaranya seperti Walikota Bekasi, Tri Adhianto yang memutuskan mengembalikan jam masuk sekolah tingkat SD dan SMP dari pukul 06.30 WIB menjadi 07.00 WIB. Keputusan ini dilakukan berdasarkan hasil evaluasi menyeluruh selama satu pekan.

Hasil evaluasi menunjukkan kebijakan masuk lebih pagi menimbulkan permasalahan signifikan, mulai dari kemacetan lalu lintas hingga beban psikologis bagi siswa.

Senada dengan Bekasi, Wali Kota Bogor Dedie A. Rachim memastikan sekolah di wilayahnya tidak akan mengikuti aturan jam masuk pukul 06.30 WIB. Dedie menyebut keputusan ini diambil setelah melalui diskusi panjang dengan para pemangku kepentingan pendidikan di Kota Bogor.

Penyesuaian di Bogor tersebut mempertimbangkan efektivitas belajar siswa di pagi hari dan kondisi geografis Kota Bogor, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Bogor.

Menanggapi perbedaan pandangan antara Dedi Mulyadi dengan para kepala daerah Jabar yang tidak sejalan dalam penerapan kebijakan pendidikan, Lalu mengatakan koordinasi lintas pemerintahan daerah dalam menyusun kebijakan strategis pendidikan harus diperbaiki.

Kebijakan pendidikan di daerah, khususnya yang menyangkut jam sekolah, kapasitas kelas, atau larangan kegiatan ekstrakurikuler seperti study tour harus melalui forum koordinasi antara Pemprov dan Pemda,” sebut Lalu.

“Tidak bisa sepihak karena masing-masing daerah memiliki konteks sosial, infrastruktur, dan kapasitas yang berbeda,” pungkas Legilsator asal Nusa Tenggara Barat II itu. (dil)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button