RUU Pengampunan Pajak Masuk Prolegnas Prioritas 2025, Ekonom: Ada Ketidakadilan

INDOPOSCO.ID – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI kembali menempatkan Rancangan Undang-undang (RUU) Pengampunan Pajak ke dalam Prolegnas prioritas 2025. Padahal pengalaman lalu efeknya tidak selalu positif bagi kepatuhan jangka panjang.
“Pertanyaannya ini bukan sekadar teknis legislasi, tapi soal keadilan fiskal, legitimasi negara, dan arah pilihan politik yang akan berdampak pada pelaku ekonomi dari berbagai lapisan,” ujar Ekonom Achmad Nur Hidayat melalui gawai, Sabtu (20/9/2025).
Ia menuturkan, dari kebijakan tersebut bukan soal siapa yang dirugikan. Tapi bagaimana distribusi beban dan sinyal yang diberikan kebijakan kepada publik.
“Pengampunan pajak berpotensi memberi peluang terbesar bagi pemilik modal besar untuk “membersihkan” kepatuhan mereka dengan membayar denda atau tarif khusus,” katanya.
“Sementara pelaku usaha menengah dan kecil selama ini taat administrasi tidak pernah memperoleh fasilitas serupa,” imbuhnya.
Ia menegaskan, pada kebijakan tersebut muncul ketidakadilan prosedural dan akan mengikis rasa keadilan yang menjadi fondasi penting bagi ketaatan pajak sukarela.
“Analoginya sederhana, bayangkan sekolah memberi pengampunan kepada siswa yang ketahuan mencontek; cukup membayar denda kecil dan nilai diperbaiki. Siswa yang belajar jujur tentu merasa dirugikan,” ungkapnya.
“Lebih berbahaya, kebijakan seperti itu memberi insentif bagi perilaku menunda ketaatan, karena harapan adanya amnesti di masa depan,” sambungnya.
Dalam skala makro, menurutnya, moral hazard ini membuat kepatuhan sukarela melemah. Tentu saja efeknya jauh lebih mahal dibandingkan suntikan penerimaan sekali pakai.
Sebab, masih ujar dia, pengalaman amnesti sebelumnya menunjukkan bahwa deklarasi besar dan pemasukan tebusan sesaat tidak otomatis berujung pada perbaikan kepatuhan jangka panjang.
“Efeknya sering bersifat temporer dan selektif, modal yang mampu mengakses skema administrasi, konsultan, dan struktur hukum kompleks cenderung mendapatkan manfaat lebih besar,” jelasnya.
“Sementara itu, basis ekonomi yang lebih luas usaha mikro, kecil, pekerja berpendapatan menengah tetap menanggung beban kepatuhan tanpa kompensasi,” imbuhnya. (nas)