Ancaman Gelombang PHK di Sektor Kesehatan, Begini Penjelasan BPJS Watch

INDOPOSCO.ID – Pemerintah menggelontorkan paket kebijakan ketenagakerjaan yaitu diskon pembayaran iuran program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sebesar 50 persen selama 6 bulan (Januari hingga Juni 2025). Dan pembebasan PPh 21 untuk upah hingga Rp10 juta per bulan untuk sektor padat karya.
“Seharusnya upaya pencegahan PHK terus dilakukan Pemerintah, agar angka PHK benar benar bisa diminimalisir,” ujar Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar melalui gawai, Selasa (7/1/2025).
Ia mengatakan, ancaman PHK terjadi di semua sektor industri, termasuk di sektor kesehatan yaitu di Rumah Sakit (RS) dan Klinik. Akhir tahun 2024 lalu bagi beberapa RS swasta dan klinik (tidak untuk faskes pemerintah) menjadi masalah.
Pasalnya, dikatakan dia, ada pemberitahuan dari BPJS Kesehatan yang tidak memperpanjang kerjasama untuk melayani pasien JKN. Dengan faktanya hampir 80 hingga 90 persen pasien di RS adalah pasien JKN.
“Pemberitahuan tersebut menjadi awal turunnya jumlah pasien yang akan berobat ke RS dan klinik. Dan kondisi ini menjadi awal kesulitan cash flow RS dan klinik untuk membiayai keperluan mereka membeli obat, alat kesehatan, termasuk membayar dokter, perawat, bidan, dan karyawan,” terangnya.
Ia menuturkan, kesulitan cash flow RS akan berujung pada PHK karyawan RS. Dan ini akan meningkatkan jumlah PHK di 2025. “Keputusan BPJS Kesehatan tidak memperpanjang Kerjasama RS merupakan pengingkaran amanat Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang mengamanatkan Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,” ungkapnya.
Ia menyebut, di wilayah Pekanbaru saja ada tiga RS yang tidak diperpanjang kerjasamanya yaitu RS Efarina, RS Sansani, dan RS Khusus Mata SMEC Pekanbaru. Tidak hanya RS, ada juga klinik dan Dokter Perorangan yang tidak dilanjutkan kerjasama.
Diketahui, pemberitahuan tidak memperpanjang kerja sama disampaikan dalam surat resmi tertanggal 30 Desember 2024. Hanya dua hari sebelum tanggal 1 Januari 2025. Keputusan tersebut pun menimpa RS di daerah Tangerang, yang pemberitahuannya diberikan pada 27 Desember 2024 lalu.
“Tentunya dasar BPJS Kesehatan tidak memperpanjang Kerjasama RS adalah terkait rekredensialing atau adanya fraud yang dilakukan RS. Namun umumnya tidak memperpanjang kerja sama adalah karena adanya fraud,” jelasnya.
Menurutnya, Pasal 93 ayat (1) Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 mengamanatkan Menteri, Kepala Dinas Kesehatan provinsi, Kepala Dinas Kesehatan kabupaten/ kota dapat memberikan sanksi administratif bagi setiap orang atau korporasi yang melakukan Kecurangan (fraud). “Ini artinya sanksi hanya diberikan oleh Menteri, Kepala Dinas Kesehatan provinsi, Kepala Dinas Kesehatan kabupaten/ kota terhadap fasilitas Kesehatan yang melakukan fraud, bukan diberikan oleh BPJS Kesehatan,” tegasnya.
Ia menyebut, pada ayat (2) dan (3) mengamanatkan sanksi bagi fasilitas Kesehatan yang melakukan fraud, yaitu sanksi administratif berupa: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; dan/ atau c. perintah pengembalian kerugian akibat Kecurangan (fraud) pada pihak yang dirugikan. Selain sanksi administratif dapat juga dikenai sanksi tambahan. Pada ayat (4) nya Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghapus sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Dengan ketentuan Pasal 93 Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 seharusnya BPJS Kesehatan tidak bisa memberikan sanksi tidak memperpanjang Kerjasama terhadap RS, sehingga RS tetap bisa melayani pasien JKN,” ujarnya.
Tentunya, lanjut dia, Keputusan BPJS Kesehatan tidak memperpanjang Kerjasama RS menjadi komplain bagi pasien JKN yang tidak dilayani RS lagi, karena BPJS Kesehatan tidak akan membayar klaim RS tersebut ketika merawat pasien JKN, kecuali untuk urusan kegawatdaruratan.
“Ini tentu mempersulit akses masyarakat peserta JKN ke RS, seperti yang dialami anak seorang teman peserta JKN di Pekanbaru yang tidak bisa dilayani RS karena tidak diperpanjang kerjasamanya. Demikian juga seorang wartawan menghubungi saya kemarin yang menyampaikan adanya penolakan RS melayani pasien JKN,” katanya.
“Atas complain dan keluhan tersebut saya menjelaskan bahwa memang ada RS yang tidak diperpanjang kerjasamanya walaupun RS tersebut berharap terus bekerjasama,” imbuhnya.
Ia menuturkan, kebingungan masyarakat peserta JKN yang tidak dilayani RS karena tidak dilanjutkannya kerja sama adalah hal biasa. Seharusnya masyarakat melakukan complain kepada BPJS Kesehatan yang menyebabkan RS tidak melayani pasien JKN lagi.
“Pasien JKN akan sulit mengakses RS lain (transportasi yang lebih jauh), dan akan ada antrian lebih lama karena RS yang bekerjasama semakin berkurang,” ungkapnya.
Ia menegaskan, keputusan BPJS Kesehatan tidak memperpanjang kerja sama dengan RS adalah bentuk ketidakadilan bagi RS swasta atau klinik swasta. Karena RS pemerintah dan puskesmas wajib bekerja sama (tidak pernah mengalami pemutusan kerja sama atau pun kerjasamanya tidak diperpanjang) walaupun melakukan fraud.
“BPJS Kesehatan harus bisa melaksanakan amanat Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 yaitu Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Dengan putus kerja sama maka masyarakat akan sulit mengakses fasilitas kesehatan yang layak,” ujarnya.
Jadi Keputusan BPJS Kesehatan tidak memperpanjang Kerjasama dengan RS atau klinik swasta, menurutnya, merupakan bentuk ketidakpatuhan BPJS Kesehatan, sebagai organ negara, menjalankan amanat Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945.
“Saya berharap BPJS Kesehatan tetap memperpanjang Kerjasama dengan RS swasta, walaupun ada fraud yang dilakukan RS. Pakailah mekanisme sanksi di Pasal 93 Perpres no. 82 tahun 2018,” jelasnya.
“Segeralah memperpanjang kembali kerjasama RS dan Klinik yang sudah tidak diperpanjang kerjasamanya per 1 Januari 2025 ini, agar tidak terjadi PHK dan rakyat mudah mengakses fasilitas kesehatan,” lanjutnya.
Ia berharap ke depan ada perubahan regulasi yaitu mewajibkan seluruh fasilitas kesehatan bekerja sama dengan BPJS Kesehatan untuk melayani peserta JKN. Tidak boleh ada diskriminasi lagi antara RS dan klinik swasta dan fasilitas kesehata milik pemerintah.
“BPJS Kesehatan wajib ikut bertanggungjawab untuk pembukaan lapangan kerja dan memastikan penyediaan fasilitas kesehatan yang layak bagi bagi rakyat Indonesia,” tegasnya. (nas)