INDOPOSCO.ID – Mahkamah Konstitusi (MK) mendorong DPR bersama pemerintah untuk melakukan pengkajian menyeluruh dan merumuskan ulang Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Dorongan tersebut terutama ditujukan pada pengaturan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 yang selama ini kerap memicu perdebatan dalam penerapannya.
Dorongan itu disampaikan MK dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 142/PUU-XXII/2024 terkait uji materi kedua pasal tersebut. Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyampaikan putusan itu dalam sidang pleno MK di Jakarta, Rabu (17/12/2025).
“Melalui putusan ini, Mahkamah menegaskan agar pembentuk undang-undang memprioritaskan pengkajian secara komprehensif dan membuka peluang perumusan ulang UU Tipikor, khususnya berkaitan dengan norma Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3,” ujar Guntur.
MK setidaknya menggarisbawahi lima poin penting yang perlu menjadi perhatian DPR dan pemerintah.
Pertama, perlunya kajian komprehensif terhadap kedua pasal tersebut.
Kedua, apabila hasil kajian menunjukkan kebutuhan revisi atau perbaikan, maka langkah tersebut perlu diprioritaskan.
Ketiga, setiap revisi atau perbaikan harus diperhitungkan secara cermat agar tidak menggerus politik hukum pemberantasan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Keempat, MK mendorong agar norma sanksi pidana dirumuskan dengan lebih berkepastian hukum guna meminimalkan potensi penyalahgunaan kewenangan dalam penegakan hukum korupsi.
“Kelima, proses revisi harus melibatkan partisipasi semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap agenda pemberantasan korupsi, dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna,” tambah Guntur.
Sambil menunggu adanya perubahan UU Tipikor, MK mengingatkan aparat penegak hukum agar lebih cermat dan berhati-hati dalam menangani perkara korupsi.
Mahkamah menekankan pentingnya penerapan prinsip business judgement rule yang berkaitan dengan penilaian iktikad baik, terutama pada perkara yang memiliki irisan dengan hubungan hukum keperdataan.
Langkah tersebut dinilai penting untuk menghindari penerapan hukum yang tidak berkepastian dan tidak berkeadilan, sekaligus menjaga keseimbangan antara perlindungan hak pihak yang diduga melakukan korupsi dan semangat pemberantasan korupsi.
Sebagai informasi, Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor mengatur pidana terhadap setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Pelanggar pasal ini diancam pidana penjara seumur hidup atau penjara minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda Rp200 juta hingga Rp1 miliar.
Sementara itu, Pasal 3 UU Tipikor mengatur pidana terhadap penyalahgunaan kewenangan karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara, dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau minimal satu tahun hingga maksimal 20 tahun, dan/atau denda Rp50 juta hingga Rp1 miliar.
Dalam perkara ini, MK menolak permohonan uji materi yang diajukan oleh tiga mantan terpidana korupsi, yakni mantan Direktur Utama Perum Perikanan Indonesia Syahril Japarin, mantan pegawai PT Chevron Pacific Indonesia Kukuh Kertasafari, dan mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam.
Mahkamah menilai tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam norma kedua pasal yang diuji.
Kendati demikian, MK mengakui bahwa dalam praktik penegakan hukum, kerap muncul perbedaan tafsir dan ketidakkonsistenan dalam penerapannya.
Karena perumusan norma pidana bukan kewenangan MK, Mahkamah pun menyampaikan penegasan kepada pembentuk undang-undang melalui pertimbangan hukum putusan tersebut.
Terlebih, UU Tipikor saat ini telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025–2029. (dil)









