Pemerintah Wacanakan Cukai PO2B, Begini Kata Analis

INDOPOSCO.ID – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyampaikan kepada DPR untuk proyeksi tahun anggaran 2026, termasuk mandat kepada Bea Cukai akan menyusun kebijakan ekstensifikasi cukai ke Produk Pangan Olahan Bernatrium (P2OB).
Data nasional menunjukkan tekanan darah tinggi akibat P2OB pada orang dewasa menurun dari 34,1 persen (Riskesdas 2018) menjadi 30,8 persen (SKI 2023). Namun kemajuan yang patut diapresiasi tersebut belum cukup untuk membelokkan tren penyakit kardiometabolik.
“Masalah yang coba dijawab pemerintah sebenarnya konsumsi garam kita tinggi akibat P2OB, penyakit tidak menular (PTM) seperti hipertensi menguras biaya JKN, dan kematian dini akibat kardiovaskular masih tinggi,” ungkap Analis Kebijakan Publik, Achmad Nur Hidayat melalui gawai, Kamis (14/8/2025).
Pada saat yang sama, dikatakan dia, studi gizi mencatat asupan natrium orang Indonesia masih berkisar 2.700 mg per hari. Melampaui rekomendasi WHO 2.000 mg/hari. Indikasi bahwa garam berlebih tetap menjadi risiko sehari-hari.
“Beban fiskal juga konkret. Pada 2022, BPJS Kesehatan mengeluarkan sekitar Rp12,14 triliun untuk layanan penyakit jantung saja, dengan total biaya penyakit katastropik menembus Rp24 triliun,” bebernya.
Ia menuturkan, secara hukum, ruang kebijakannya sudah disiapkan lewat PP 28/2024 sebagai turunan UU Kesehatan 17/2023. Pasal 194 PP itu menyebut pemerintah pusat dapat menetapkan batas maksimum gula, garam, dan lemak dalam pangan olahan. Dan dapat mengenakan cukai pada pangan olahan tertentu.
“Kata “dapat” penting, ia memberi opsi, bukan perintah dan pelaksanaannya tetap harus sinkron dengan peraturan perundangan cukai yang berlaku,” katanya.
Ia mengungkapkan, belajar dari tarik-ulurnya cukai minuman berpemanis (MBDK), yang sempat direncanakan namun batal berlaku pada 2025. Menurut dia, pemerintah perlu manajemen ekspektasi publik bahwa wacana tersebut bukanlah tanggal penagihan.
“Sinyal kebijakan harus diikuti kalender regulasi yang jelas, naskah akademik yang terbuka, serta uji dampak (RIA) yang dapat diuji publik,” terangnya.
Ia menegaskan, pemerintah belum merinci daftar produk. Dan justru itu yang harus dibicarakan teknisnya, seperti ambang natrium per 100 gram/ml, pengecualian bahan pokok, grace periodreformulasi, dan perbedaan perlakuan antara pabrikan besar dan usaha mikro.
“Kerangka PP 28/2024 menugaskan penetapan batas GGL berbasis kajian risiko dan standar internasional. Artinya, desain berbasis sains, bukan rasa,” ujarnya. (nas)