Penjual Pecel Lele Bisa Terjerat UU Tipikor, Begini Tanggapan Komisi III DPR RI

INDOPOSCO.ID – Anggota Komisi III DPR Nasir Jamil menjelaskan bahwa pandangan berbeda tiap orang dalam menafsirkan terkait hukum adalah hal yang wajar. Hal itu diutarakannya dalam menanggapi pernyataan Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2007-2009 Chandra Hamzah yang menilai ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang mengatur soal kerugian negara masih menimbulkan masalah karena bisa menjerat warga biasa tanpa niat jahat.
“Namanya juga soal hukum, kan bisa ditafsirkan dari berbagai pandangan,” kata Nasir saatbdihubungi INDOPOSCO.ID, Senin (23/6/2025).
Sebagaimana diketahui, Chandra Hamzah dalam sidang gugatan uji materi UU Tipikor di Mahkamah Konsitusi (MK) pada Rabu (18/6/2025) warga biasa bisa terjerat UU Tipikor jika merugikan negara meski tanpa niat jahat. Dia mencontohkan penjual pecel lele di trotoar jalan masuk kualifikasi untuk dijerat dengan ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 tersebut.
Nasir menjelaskan pernyataan Chandra itu bisa jadi didasari pengalaman sebagai pimpinan KPK.
“Ada guyon, jika ada 11 pakar hukum maka akan ada 15 pendapat hukum. Apalagi Chandra kan pernah jadi pimpinan KPK, tentu pendapat itu berdasarkan pengalaman dan pengetahuan hukum yang dimilikinya,” ujarnya.
“Tipikor itu kan soal kerugian keuangan dan perekonomian negara. Tentu melibatkan penyelenggara negara dan aparat negara lainnya,” pungkas politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menambahkan.
Saat dihadirkan sebagai ahli dalam sidang lanjutan perkara nomor: 142/PUU-XXII/2024 di MK, Chandra menjelaskan tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas atau bersifat ambigu, maupun tidak boleh ditafsirkan secara analogi sehingga tidak melanggar asaslex certa (rumusan yang pasti) maupunlex stricta(tidak boleh ditafsirkan secara analogi).
Chandra menerangkan penjual pecel lele termasuk “setiap orang” yang melakukan “perbuatan melawan hukum” dengan berjualan di atas trotoar yang seharusnya digunakan pejalan kaki. Kemudian penjual pecel lele juga bisa dikatakan mencari keuntungan atau “memperkaya diri sendiri” dengan berjualan di trotoar yang membuat fasilitas publik milik negara itu rusak sehingga dapat dianggap pula “merugikan keuangan negara”.
“Maka, penjual pecel lele adalah bisa dikategorikan, diklasifikasikan melakukan tindak pidana korupsi, ada perbuatan, memperkaya diri sendiri, ada melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, merugikan keuangan negara,” ujar Chandra dilansir dari laman MK.
Menurut dia, Pasal 3 UU Tipikor memuat frasa “setiap orang” yang dapat mengingkari esensi dari korupsi itu sendiri. Sebab, tidak setiap orang memiliki kekuasaan yang cenderung korup.
Ketentuan tersebut telah menegaskan ada jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
“Kesimpulannya adalah Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Tipikor kalau saya berpendapat untuk dihapuskan karena rumusannya melanggar asaslex certa, perbuatan apa yang dinyatakan sebagai korupsi,” tutur mantan Wakil Ketua KPK periode 2007-2009 ini.
“Kemudian yang kedua, merevisi Pasal 3 Undang-undang Tipikor dengan mengganti, menyesuaikan dengan Article 19 UNCAC yang sudah kita jadikan norma, ‘Setiap Orang’ diganti dengan ‘Pegawai Negeri’ dan ‘Penyelenggara Negara’ karena itu memang ditujukan untuk Pegawai Negeri dan kemudian menghilangkan frasa ‘yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara’ sebagaimana rekomendasi UNCAC,” sambung Chandra. (dil)