Soroti Pembaruan KUHAP, Komisi III: ‘Dominus Litis’ Tidak Relevan Diterapkan di Indonesia

INDOPOSCO.ID – Anggota Komisi III DPR RI, Hasbiallah Ilyas mengapresiasi konsep pidana penjara sebagai jalan terakhir yang tercantum dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ia menekankan pentingnya pembaruan KUHAP sekaligus menyoroti perdebatan seputar dominus litis.
“Pencegahan ini harus lebih dioptimalkan. Karena kita ini lebih senang menangkap orang masuk penjara. Padahal penjara itu membebani negara. Penjara itu mestinya opsi terakhir,” kata Hasbiallah di Padang, Sumatera Barat, dikutip Minggu (28/9/2025),.
Meski begitu, ia menolak wacana bahwa setiap penangkapan harus terlebih dahulu memperoleh izin dari pengadilan. Menurutnya, kondisi infrastruktur peradilan di Indonesia belum mendukung.
“Kalau polisi mau menangkap narkoba harus izin pengadilan dulu, bagaimana? Tidak mungkin. Infrastruktur pengadilan kita tidak sampai ke kecamatan,” katanya.
Hasbiallah lalu menyoroti asas dominus litis, yakni perdebatan mengenai kewenangan kejaksaan sebagai pengendali perkara. Menurutnya, konsep tersebut tidak relevan jika diterapkan di Indonesia.
Dominus litis adalah frasa Latin yang berarti “penguasa perkara” atau “pemilik perkara”. Dalam konteks hukum di Indonesia, asas ini menempatkan Kejaksaan sebagai institusi tunggal yang memiliki kewenangan penuh dan mutlak untuk mengendalikan jalannya suatu perkara pidana, mulai dari tahap penyidikan hingga penuntutan di pengadilan
“Negara kita tidak bisa disamakan dengan Amerika atau Eropa. Kondisi masyarakat kita berbeda. Menurut kami, porsi yang ada sekarang sudah bagus. Polisi pada posisinya, kejaksaan pada posisinya, KPK juga pada posisinya. Yang mesti dihilangkan justru ego sektoral antar-APH,” ungkap legislator Fraksi PKB itu.
Ia menambahkan, semangat pembaruan KUHAP harus diarahkan untuk memperkuat sinergi antar-aparat penegak hukum (APH), bukan memperuncing tumpang tindih kewenangan. “Hari ini APH lebih banyak mengedepankan ego sektoral daripada kepentingan memperbaiki hukum. Mudah-mudahan pandangan saya ini salah,” ujarnya.
Dengan demikian, Hasbiallah berharap revisi KUHAP nantinya dapat menjadi instrumen hukum yang kuat dan relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia. “Hidup ini butuh legasi. Bagaimana kita nanti dicatat oleh sejarah bahwa di zaman inilah KUHAP yang lebih baik lahir,” pungkasnya. (dil)