Nasional

Penolakan RUU TNI Mengatasnamakan Supremasi Sipil, Faizal Assegaf: Tak Ada dalam Konstitusi

INDOPOSCO.ID – Penolakan koalisi masyarakat atas keberadaan revisi Undang-undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia mendapat kritikan tajam dari pengamat politik Faizal Assegaf. Pasalnya, alasan penolakan agar terjadi supremasi sipil berpotensi membahayakan keutuhan bangsa.

Faizal mengungkapkan bahwa dalam konstitusi Indonesia tidak ada istilah supremasi sipil maupun supremasi militer. Ia mengingatkan, jika istilah supremasi sipil terus digunakan, bisa timbul anggapan bahwa elemen-elemen lain berada di bawah sipil, yang bisa menyebabkan perpecahan dan ketegangan di berbagai elemen bangsa.

“Diskusi ini untuk mengajak publik mengevaluasi penggunaan istilah supremasi sipil. Jika terus digulirkan, ini akan berbahaya,” kata Faizal dalam sebuah diskusi bertemakan ”Dikotomi Suoremasi Sipil dan Militer” di Jakarta, Rabu (19/3/2025).

Menurut Faizal, penggunaan istilah ini justru membuka peluang untuk munculnya supremasi lainnya, seperti supremasi partai politik, supremasi TNI, atau bahkan supremasi berdasarkan suku. Ia menegaskan bahwa hal itu akan menciptakan ketegangan yang tidak perlu dan merusak persatuan bangsa.

Faizal juga menyatakan keberatannya terhadap Koalisi Masyarakat Sipil yang mengkritisi Revisi UU TNI dengan menggunakan istilah supremasi sipil.

“Saya sebagai orang sipil merasa saya tidak terwakili. Dari mana mereka yang disebut koalisi sipil ini muncul untuk mengkritik TNI? Ini kacau,” tegasnya.

Dalam kesempatan itu, Faizal juga menyampaikan keprihatinannya terkait maraknya korupsi di Indonesia dalam 27 tahun terakhir, yang menurutnya banyak melibatkan pihak sipil. Ia menyebutkan sejumlah kasus seperti utang luar negeri Indonesia yang mencapai ribuan triliun, kasus BLBI, hingga dugaan keterlibatan sipil dalam kasus pagar laut.

Sementara, selama era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang dipimpin oleh purnawirawan militer, ekonomi Indonesia tumbuh stabil, dengan angka pertumbuhan ekonomi mencapai 6,2 persen.

Terkait kekhawatiran kembali munculnya dwifungsi ABRI dalam Revisi UU TNI, Faizal menilai bahwa ketakutan tersebut tidak berdasar. Menurutnya, hal itu justru merupakan propaganda yang berbahaya bagi rakyat.

“Diskriminasi dikotomi ini harus dihentikan. Kita semua sipil, termasuk tentara yang pensiun, mereka juga statusnya sipil,” ujar Faizal dengan tegas.

Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, yang turut hadir dalam diskusi tersebut, menambahkan bahwa dua jabatan yang kini diemban oleh TNI dalam pengelolaan badan-badan pemerintah seperti Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) dan Bakamla bukanlah hal baru di Indonesia. Margarito menyatakan bahwa ini tidak akan membawa kembali supremasi militer, karena tatanan institusi Indonesia tidak memungkinkan hal tersebut terjadi.

“Tidak ada jalan kembali ke supremasi militer. Di UUD kita, TNI tidak berwenang untuk kebijakan politik fundamental,” ujarnya.

Margarito juga menegaskan bahwa pembahasan terkait RUU TNI adalah hal yang sederhana. Ia melihat pengelolaan badan oleh TNI, seperti yang diusulkan, lebih pada fungsi mereka yang sesuai dengan tugas dasar masing-masing, seperti pemberantasan narkoba.

“Dengan demikian, diskusi ini semakin membuka perspektif baru bagi masyarakat untuk mengevaluasi kembali penggunaan istilah supremasi sipil dan militer, serta bagaimana hal tersebut dapat mempengaruhi stabilitas politik dan sosial di Indonesia,” pungkasnya. (dil)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button