Disway

Nasib Kakak

INDOPOSCO.ID – “Kenapa setiap sosok narasumber Disway seperti wajib dikupas tuntas latar belakang pendidikanya? Bahkan sangat detail, hingga bisa separoh dari isi artikelnya”.

Yang bertanya itu wanita Disway dari Indramayu. Setiap hari dia membagikan Disway ke ribuan orang. Lewat medsos miliknyi. Sejak awal Disway terbit. Hingga sekarang.

Kadang lucu: “Hari ini saya membagikan Disway dengan tutup mata,” ujarnyi pada suatu ketika.

Berita Terkait

Tanpa bertanya saya pun tahu kenapa: isi tulisan saya bertentangan dengan emosi jiwanya.

Emosinya sangat tidak suka seseorang. Jauh sebelum banyak orang balik tidak suka orang itu belakangan ini.  Sedang tulisan saya memuji orang itu.

“Saya jengkel baca Disway hari ini,” protesnyi beberapa kali. “Tapi tetap Anda posting di medsos Anda?” tanya saya balik. ” Dengan geram,” kawabnyi.

Terhadap pertanyaannyi kali ini saya sulit menjawab. Apalagi dia menyertakan argumen: “padahal malaikat pun takkan menanyakan sekolah di mana, lulusan apa, dan gelarnya apa saja”.

Sebenarnya saya ingin menjelaskan teori deskripsi dalam jurnalisme. Tapi terlalu berat. Ingin juga saya kemukakan itulah ajaran kewartawanan yang saya wariskan sejak dulu. Tapi apa perlunya.

Maka justru saya ingin membuat gemes wanita Disway itu. Saya pun mengiriminyi WA. “Mengapa latar belakang pendidikan ditulis secara dentil? Mungkin karena yang menulis artikel ini hanya lulusan SMA! Iri? Cemburu?” jawab saya.

Saya tahu kebiasaan wanita Disway satu itu. Suka ngambek. Apalagi kalau dia mendengar saya ke Cirebon tanpa memberi tahunyi. Bisa 100 WA harus saya baca dengan perasaan merasa berdosa.

Kali ini, membaca jawaban itu, ternyata dia tidak gondok. Dia lebih tertarik mengomentari soal iri dan cemburu itu. Dia merasa punya teman yang juga hanya tamatan SMA.

“Saya bersyukur meski hanya rampung madrasah. Itu pun sambil ngasuh adikku yang no 2 dan 3. Saya diizinkan masuk sekolah sambil mengasuh adik karena guru-gurunya tetanggaku sendiri”.

“Waktu itu kalau saya gak boleh bawa adik masuk kelas, saya gak mungkin bisa belajar. Adik-adikku pasti ngerengek nangis di luar kelas”.

Akhirnya wanita Disway Indramayu itu tidak lanjut ke universitas. Padahal sering mendapat nilai 100. Dia harus menghidupi dua adik dan ibunyi.

Waktu itu pilihan tersulit baginyi. Sekolah atau mencari nafkah. Nilai akademiknyi begitu baik. Tapi dia kakak tertua. Harus memberi makan dua adik dan ibunda. Kerja pun tidak banyak pilihan. Tidak boleh jauh dari desanyi: harus sambil merawat ibunda.

Gak apa-apa. Saya gak butuh gelar akademis. Saya lebih bangga jadi kakak yang baik. Bisa ngayomi adik-adik, meringankan beban orang tua.

Hingga kini saya tidak menyesali pilihan itu,” tulisnyi.

Orang seperti wanita Disway Indramayu inilah yang paling marah setiap kali membaca berita korupsi. Atau penyalahgunaan kekuasaan. Atau nepotisme.

Dia memang menolong adik tapi dengan keringat dan air mata, bukan lewat kekuasaan.

Dan dia tidak sendiri.(Dahlan Iskan)

Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Disway Edisi 28 September 2024: Makan Tuan

Wilwa

Saya tak bisa untuk tidak setuju dengan Amien Sunaryadi. Akuntansi apalagi akuntansi pemerintahan adalah “omong kosong”. Mengapa? Karena akuntansi punya banyak kelemahan. Accounting / akuntansi adalah “historical record”. Karena itu, angka-angka accounting tak bisa secara akurat merepresentasikan “inflation” misalnya. Contoh paling mudah adalah mengenai “profit” yang merupakan “sales” dikurangi “cost”. Masalahnya adalah biasanya “cost” adalah “past values” sedangkan “sales” adalah “current value”. Jadi tidak “apple to apple”. Karena bisa jadi saat terjadinya “sales”, “cost” sudah mengalami “inflation”, sehingga angka “profit” yang tercantum bukanlah angka “profit” yang sesungguhnya, karena tidak memperhitungkan “inflation” (atau “deflation”). Itu baru satu contoh kecil kelemahan accounting. Belum lagi kita bicara “depreciation” atau penyusutan atas “fixed assets” atau aktiva tetap. Bisa tambah pening lagi bicara mengenai keakuratan accounting. Accounting hanya sebuah “approach” jadi tak mungkin akurat. Mungkin itu sebabnya Amien Sunaryadi nyeletuk bahwa akuntansi itu omong kosong. Mungkin pak Agus Suryonegoro bisa komen lebih lanjut. Dan sepakat bahwa pemberantasan korupsi harus dimulai dari kasus suap-menyuap. Karena korupsi tingkat tinggi pada dasarnya adalah “kongkalikong” antara pejabat “tinggi” (dari eksekutif, legislatif, yudikatif) dan pengusaha “tinggi” alias konglomerat (yang kadang merangkap jadi “ketum” parpol).

Jokosp Sp

11 profesor gelarnya dibatalkan di UNLAM Banjarmasin. Departemen Pendidikan yang punya kewenangan final sebagai assesornya la kok bisa begitu?. Duh jadi ingat “dari dulu juga begitu, aku dulu juga begitu, aturannya memang begitu”. Ajurrrrrrrrrrrr………Lai amun kaya ini.

Achmad Faisol

menarik ini… saya mulai contoh sederhana… 1. mengapa di ujian sim c praktik, kaki pemotor ga boleh menyentuh tanah…? apa di lapangan seperti itu…? apa jalan kita mulus sekali…? di sini, menurut saya, peraturan dibuat-buat, tidak mencerminkan kondisi lapangan… itu kenapa ada yang lewat ordal… bikinlah peraturan yang membumi… 2. ada mentalitas pelayanan masyarakat dilama-lamain… ini yang membuat orang ingin cepat… bersyukur saat ini banyak pejabat yang mementingkan pelayanan… otomatis suap ga ada… maka, ketika pelayanan bagus, suap oleh masyarakat ga ada… itu kuncinya… 3. eee sudah antri, ternyata ada yang punya kenalan ordal bisa masuk aja… apa ga bikin nggondok…? contoh yang sangat nyata ya kasus mk dan terakhir demo di dpr… anehnya, pendukung mati-matian, membela mati-matian… dengan argumentasi hukum membolehkan, etika…? preeetttt… lantas, mulai dari mana…? buatlah hukum yang memang oke, lalu penegakan hukum juga oke… masalahnya, pembuat hukum mau tidak…? jangan-jangan jadi senjata makan tuan, seperti artikel kali ini… ah, sudahlah… mau ngopi dulu… he he he…

Achmad Faisol

1 2Laman berikutnya
mgid

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button