Nabi Baru

INDOPOSCO.ID – Indonesia punya nabi dan rasul baru yang berlatar belakang pendidikan fisika. Sayangnya jumlah umatnya tidak bertambah-tambah. Sejak deklarasi rasul di tahun 2015 baru sekitar 1.000 orang yang sudah beriman kepadanya. Itu sudah termasuk yang di Malaysia.
Saya bertemu rasul baru itu dua minggu lalu. Baru di penerbangan berjam-jam dari Beijing ini sempat saya tuliskan.
Hari itu saya ke Medan bersama Prof Dr Al Makin –ahli tafsir Quran lulusan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; McGill, Kanada; dan Heidelberg, Jerman.
Al Makin pernah jadi rektor termuda UIN Yogyakarta. Ia juga ahli tentang nabi-nabi di Indonesia. Menurut Al Makin lebih 600 nabi ada di Indonesia, belum termasuk nabi baru yang di Medan ini.
Nama nabi baru yang dari Medan ini: Al Jabir bin Amir Abdullah. Pernah juga minta dipanggil Thoha –nama lain nabi Muhammad SAW. Dan sekarang umatnya memanggilnya Nabi Muhammad. Lengkapnya: Muhammad Al Jabir bin Amir Abdullah. Di KTP: Jabir Amir Abdullah.
Umurnya masih muda dibanding saya: 55 tahun. Rambutnya panjang. Lurus. Melebihi bahu. Mirip gaya rambut John Lennon-nya The Beatles. Tidak pakai kacamata. Ada tahi lalat di bagian samping hidungnya yang besar dan mancung –untuk ukuran Medan.
Kulit wajahnya cokelat. Bentuknya lonjong. Rautnya sedikit mirip wajah penyair W.S. Rendra. Giginya rapi seperti tidak pernah merokok.
Postur badannya langsing, tinggi. Ia memang menjalani banyak puasa khusus –setelah berbuka di saat matahari tenggelam tidak makan apa-apa lagi. Sampai berbuka berikutnya.
Bajunya didesain khusus mirip beskap warna putih dengan celana sewarna.
Rumah rasul Muhammad ini di Labuhan, dekat Belawan. Pagi itu saya dan Pror Al Makin meninggalkan hotel sederhana di Medan untuk menyusuri jalan utama non-tol menuju Belawan. Lalu lintasnya padat. Banyak sekali truk dan trailer.
Setelah satu jam dari Medan kami sampai di masjid tertua di Sumut: masjid Usmani mengambil nama salah satu Sultan Deli. Kami mampir sebentar di situ. Ayah nabi Muhammad adalah imam besar masjid raya ini.
Sang ayah meninggal saat nabi Muhammad masih kuliah di Universitas Sumatera Utara (USU). Muazin masjid Usmani minta si anak menggantikan bapaknya sebagai imam. Si anak menolak. Alasannya: ia belum kawin. ”Bagaimana orang belum kawin diminta jadi imam”.
Akhirnya kompromi. Sang muazin yang jadi imam tapi Muhammad berdiri tepat di belakangnya. “Kalau ada bacaan imam yang salah saya yang membetulkan,” katanya mengingat kejadian lama.
Suatu saat turun hujan yang deras di masjid Usmani. Tak kunjung reda. Salat Jumat sudah selesai. Jemaah tidak bisa segera meninggalkan masjid.
Saat itulah Muhammad Jabir minta tongkat khotib diberikan kepadanya. Ia berdiri dengan tongkat itu. Ia hentakkan tongkat itu ke lantai. Tiga kali. Suara hentakan itu keras. Mengalahkan suara hujan. Perhatian Jamaah terpusat ke suara itu. Juga ke orang yang menggedokkannya. Hening sejenak. Jabir lantas menyampaikan satu ayat dalam Quran: “Telah datang padamu rasul ….”. Dan Anda sudah tahu terusannya.
Sampai pidato selesai tidak ada jamaah yang bersuara. Diam. Hujan pun reda. Jemaah meninggalkan masjid. Tidak ada kejadian apa-apa.
“Mengapa tidak ada anggota jamaah yang merespons negatif?”
“Jamaah melihat Jabir adalah putra imam besar yang sangat dihormati. Umat melihat siapa ayahnya,” ujar Harmain, kakak Jabir.
Harmain adalah salah satu yang sangat awal percaya tentang kenabian adiknya itu. Sampai sekarang. Pun sembilan bersaudaranya.
Sang ayah sangat karismatis. Ia seorang mursyid (pemimpin spiritual) tarekat Syatariyah. Banyak sekali pengikutnya.
Reaksi negatif baru datang beberapa hari setelah deklarasi di hari Jumat yang hujan itu. Bisik-bisik mulai menyebar. Meluas. Jadi kasak-kusuk. Memanas. Sekumpulan orang pun menyerbu rumah Jabir. Setiap tingkatan MUI memanggil mereka. Hampir saja rumah Jabir dibakar.
Dari masjid warna serba kuning mencolok ini kami kembali ke jalan raya. Kami meneruskan bermobil ke arah Belawan. Hanya sekitar 200 meter dari masjid ada pertigaan. Ada jalan kecil masuk ke kanan.
Kami memasuki jalan kecil itu. Tidak sampai 100 meter ada parit besar yang kotor. Sebelum parit itulah rumah nabi Muhammad. Yakni bangunan rumah biasa, dua lantai, ukuran sekitar 8 x 16 meter. Halamannya kecil, tidak terawat, tanpa pagar.
Kami tidak masuk ke rumah itu. Kami menyusuri halaman becek di sebelah rumah, menuju bangunan khusus di belakang rumah. Yakni bangunan kayu yang sangat sederhana. Berkolong. Beratap daun rumbia. Mereka menyebut bangunan gubuk itu sebagai pendapa.
Lebar pendapa itu sekitar delapan meter. Panjangnya 20 meter. Ada tiang-tiang kayu kecil menyangga bagian tengahnya. Lantainya dilapisi sajadah tipis berjajar-jajar.
Di lantai itulah kami ngobrol panjang: lebih dua jam. Umatnya berdatangan ikut duduk mendengarkan. Akhirnya sekitar 10 orang berkumpul. Salah satunya sudah tidak jadi umatnya lagi tapi masih berhubungan baik.
Awalnya kami duduk bersila. Tapi karena pembicaraan amat panjang, sekali sekali kaki kami berselonjor. Sedang nabi Muhammad duduk bersimpuh dengan ujung telapak tegak.
Cara duduk seperti itu ada maksudnya: untuk mengenang kejadian ketika ia dan pengikutnya ditahan di penjara di Makkah. Tangan dan kakinya diborgol. Waktu salat pun borgol tidak dibuka.
Selama di penjara ia salat tanpa bisa melakukan posisi duduk tahiat dengan semestinya. Tahiat adalah satu gerakan bersimpuh dalam salat. Borgol di kakinya menghalanginya untuk bertahiat dengan benar.
Hampir sebulan nabi Muhammad berada di penjara. Dengan selalu duduk seperti itu. Demikian juga 10 orang yang menyertainya. Mereka dipenjara di tempat yang terpisah.
Sepuluh orang itu ditangkap saat melakukan deklarasi kenabian di dekat Kakbah. Sebetulnya 11 orang. Yang satu berhasil lolos dengan cara melepas seragam. Membaur dengan jemaah umrah dari berbagai negara. Jabir sendiri yang memintanya kabur. Agar dokumentasi yang sudah dibuat tidak terampas.
Sebenarnya 12 orang yang berangkat ke Makkah. Yang seorang, wanita, sedang datang bulan. Tidak ikut ke Masjidilharam. Mereka semua baru sekali itu ke Makkah.
Itu tahun 2015.
Di tahun itu terjadi perbedaan Hari Raya Idulfitri. Makkah beridulfitri sehari sebelum Indonesia. Sehari kemudian 11 orang dari Medan itu melakukan salat Idul Fitri sendiri. Di dekat Kakbah. Sekalian deklarasi kenabian Muhammad.
Pagi itu mereka salat subuh di hotel di kawasan Misfalah. Selesai salat subuh mereka mengenakan pakaian khusus. Bagian dalamnya gamis putih. Luarnya: jas panjang model Bung Karno. Warna hitam. Penutup kepalanya tanjak model serban yang tengahnya lancip ke atas mirip yang biasa dikenakan tuan guru Basilam di Langkat. Disebut juga serban gaya Annazir.
Di Makkah, kelompok deklarasi ini mencolok sekali. Terutama dibandingkan orang-orang lain yang memasuki Masjidilharam.
Sampai di dalam masjid, mereka melakukan tawaf mengelilingi Kakbah tujuh kali. Berkelompok. Hitam semua. Necis dan rapi semua. Keren. Matahari belum terbit.
Saat tawaf, 11 orang tersebut membentuk satu lingkaran. Jabir di tengah. Bacaan doa tawaf dikumandangkan keras-keras. Sambil mengelilingi Kakbah. Setiap satu bacaan doa diselingi satu bacaan yang membuat pelaku tawaf lainnya terkesima. Bacaan tambahan itu bunyinya begini: “Qod ja-a imamul muslimin … wa hua Al Mahdi Al Muntadhor… Ismuha Al Jabir”. Artinya Anda sudah tahu: telah datang pemimpin untuk orang Islam seluruh dunia, Al Mahdi, Al Muntadhor, dan ia itu bernama Al Jabir.
Itu diucapkan terus menerus sambil mengelilingi Kakbah di sela-sela doa tawaf.
Masih ada satu bacaan yang juga dikumandangkan seirama dengan doa tawaf: “Qod ja-a rosulun min anfusikum … wa hua Al Mahdi, Al Muntadhor, wa ismuha Al Jabir..”. Artinya lebih tegas. Soal kerasulan Al Jabir: “Telah datang rasul dari golongan kamu sendiri… Al Mahdi, Al Muntadhor, dan nama rasul itu adalah Al Jabir”.
Sampai selesai mengelilingi Kakbah, tujuh kali, mereka aman. Matahari sudah terbit. Mereka mencari tempat untuk melaksanakan salat Idulfitri. Mereka pilih lokasi antara Hajar Aswad (pojokan Kakbah yang berbatu hitam) dengan makam Ibrahim. Nabi Muhammad yang jadi imam. Salat dua rakaat pun selesai. Aman. Tapi polisi Masjidilharam mulai memperhatikan mereka. Antara lain karena arus orang tawaf mulai tersendat di situ.
Usai jadi imam, nabi Muhammad bangkit. Meraih tongkat. Mereka membawa tongkat itu dari Medan. Muhammad pun mulai khotbah. Di situlah ia mendeklarasikan sebagai rasul dan nabi. Lengkap dengan argumentasi ayat-ayat Qurannnya. Dan suara lantangnya. Termasuk saat menyerukan “Ud ‘u ni” jadilah pengikutku. Itu diucapkan dalam bahasa Arab, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris.
Belum sampai khotbah itu selesai, polisi kian banyak. Mereka ditangkap. Diborgol. Tangan. Kaki. Dimasukkan mobil. Ditahan.
Selama 28 hari mereka tidak bisa mandi. Tidak ganti baju. Borgol terkunci permanen di tangan dan kaki. Jubahnya sudah disita. Pun tongkatnya. Tinggal baju putih panjang lengan panjang. “Sampai warnanya menjadi hijau berlumut,” ujar Harmain.
Mereka beberapa kali diambil darah. Diperiksa. Kelihatannya akan dilihat apakah ada ditemukan kelainan jiwa. Hasilnya: sehat semua.
Di setiap pemeriksaan mereka tetap berpegang pada ayat bahwa harus ada nabi dan rasul di setiap kaum. Atau ayat akan turunnya Imam Mahdi dan itu Al Jabir.
Bahwa nama Imam Mahdi itu Al Jabir dari Medan, mereka berhujah apa bedanya dengan ayat tentang akan munculnya nabi bernama Ahmad dan yang muncul kemudian ternyata bernama Muhammad SAW.
Mereka juga berhujah bahwa setiap zaman harus muncul rasul dan nabi. Untuk memperbaiki akhlak yang rusak seperti sekarang ini.
“Kenapa harus ada nabi. Kan sudah ada ulama?” tanya saya.
“Tidak ada perintah dalam Quran untuk mengikuti ulama. Yang ada adalah perintah untuk mengikuti Allah dan rasul,” ujar Harmain. Apalagi pendapat ulama berbeda-beda. Beda tafsir. Beda kepentingan.
Maka, menurut logika mereka, harus ada rasul. Barulah ummat menjadi baik lantaran ada perintah langsung Quran untuk taat kepada Allah dan rasul.
Logika mereka begitu. Keberadaan rasul suatu keharusan agar ada yang ditaati.
Saya pun beralih ke soal pribadi nabi Muhammad.
“Waktu kuliah dulu siapa yang menyuruh nabi Muhammad pilih prodi fisika murni?” tanya saya.
“Saya sendiri. Waktu SMP saya suka biologi. Waktu SMA sangat suka fisika. Lalu masuk fisika di USU,” katanya.
“Semua nabi dan rasul kan punya kitab suci. Apakah sudah punya kitab suci?” tanya Al Makin. Guru besar UIN Yogyakarta ini baru pulang mengajar tiga bulan di Kyoto. Ia orang Bojonegoro. Warga NU. Pernah mondok di Tambak Beras, Jombang. SMA-nya di Madrasah Aliyah Negeri Jember.
Nabi Muhammad Medan ini ternyata belum menerbitkan kitab suci. Kitab yang pernah diterbitkan mirip kumpulan hujah kenabiannya saja. Yang menyusun kitab itu Rakhmat Syawal. Sudah lama terbit. Saat Rakhmat masih mahasiswa di sebuah sekolah tinggi agama di Yogya. Kini Rakhmat baru selesai S2 di UIN Medan, menunggu wisuda.
Buku itu berjudul Pemimpin Akhir Zaman Telah Datang. Subjudulnya: Imam Mahdi Telah Hadir di Hadapan Anda.
Buku itu tipis. Tidak sampai 100 halaman. Dua tahun lalu buku itu disempurnakan oleh Indra Syahputra, pengikut nabi Muhammad yang beriman lebih belakangan. Judulnya menjadi Selamat Datang Rasulullah.
Rakhmat sendiri dulunya anggota aliran LDII Islam Jamaah. Ia tertarik masuk LDII karena intensifnya kajian hadis di situ. Lalu Rakhmat bertemu Al Jabir di masjid Ahmadiyah di Medan.
Di forum Ahmadiyah itu ia lihat ada seorang yang minta diberi waktu untuk pidato. Namanya Al Jabir. Pidatonya bagus. Tentang keharusan ada rasul di setiap kaum agar ada yang ditaati oleh umat.
Sejak itu Rakhmat meninggalkan LDII. Ia menjadi pemeluk nabi Muhammad Medan. Sampai pun menjadi penulis bukunya. Lalu ikut mendeklarasikan kenabian sampai di Makkah. Ikut ditahan.
Rakhmat terus mencari ilmu. Ia kuliah di S2 UIN Medan. Ia merasa, orang itu, kian berilmu kian jauh dari kenabian Muhammad Medan. Kini ia menjadi tidak percaya apa saja kecuali ilmu pengetahuan. Bahkan ia bermaksud mendirikan kelompok manusia berpikir bebas di Medan: Minda Merdeka.
Dalam rangka itulah Al Makin mereka undang ke Medan.
Nama Al Makin dikenal luas di kalangan intelektual Medan. Ia pernah berbulan-bulan di Sumut. Ia melakukan penelitian mengenai nabi-nabi yang pernah ada di kalangan masyarakat Batak. Ternyata banyak juga nabi di Batak. Sebelum Batak menjadi Kristen.
Sisingamaraja, menurut Al Makin, adalah nabi. Demikian juga Parhu Dam Dam. Lalu yang lebih terkenal lagi: nabi Nasiak Bagi.
“Semua nabi di Batak memusuhi Belanda,” ujar Al Makin. Memusuhi bule. Tentu bule Jerman yang menyebarkan Kristen di tanah Batak juga dianggap Belanda.
Para nabi Batak itu membawa agama Malin. Pengikut agama itu disebut Parmalin. Itulah agama asli di Batak.
“Seberapa serius kenabian Muhammad Medan ini?” tanya saya kepada Prof Makin.
“Masih jauh dibanding nabi nabi yang pernah ada di Indonesia. Mushodiq dan Lia Eden lebih nabi dari nabi Muhammad ini,” ujarnya. Menurut Al Makin pemikiran Al Jabir masih sangat tarekat. “Hanya saja sudah lebih dalam dari tarekat,” tambahnya.
Tentang latar belakangnya yang fisika, Al Makin menyatakan nabi-nabi yang banyak itu umumnya justru tidak datang dari kalangan agama. “Lia Eden itu seorang perangkai bunga,” ujar Al Makin. “Nabi Mushadiq itu pelatih bulu tangkisnya Liem Swie King dan Haryanto Arbi,” tambahnya.
Deklarasi terakhir kenabian Al Jabir terjadi bulan lalu. Saat nabi Muhammad diundang ke acara di pesantren Al Zaitun-nya Syekh Panji Gumilang di Indramayu, Jabar.
Masih ada satu deklarasi lagi yang ingin dilakukannya: di Jerusalem. Di Masjidil Aqsha. Misinya: menjadi nabi yang akan bisa membuka pintu timur Masjidil Aqsha. Itu berdasar perintah yang ia terima sebagai nabi.
Meski begitu kelihatannya ia kian realistik. Tidak mudah menembus Israel. Ia sudah tampak tidak seoptimistis dulu lagi untuk bisa segera menuntaskan misi membuka pintu timur Jerusalem.
Secara pribadi ia juga mulai berubah. Setidaknya dalam cara berpakaian. Terutama kalau sedang bepergian. “Saya sekarang pakai celana jeans,” katanya sambil menunjuk celana saya.
Belakangan ia sering ke Riau. Ke Tanjung Pinang. Menemui pengikutnya di sana. Beberapa pengikutnya memang ia minta hijrah ke Tanjungpinang.
Kalau sedang di Medan nabi Muhammad selalu tampil sebagai khotib salat Jumat. Yakni salat Jumat di pendopo gubuk di belakang rumahnya itu.
Pengetahuan agamanya diperoleh dari ayahnya dan dari guru tarekat Syatariahnya. Awalnya ia mengajar kitab kuning di masjid lalu fokus hanya mengajarkan Quran sesuai dengan ”perintah” yang datang padanya.
Al Makin menilai nabi Muhammad Medan ini masih sangat Islam. Masih salat lima waktu. Masih bertarekat. Belum bisa dinilai sebagai aliran sesat. MUI tidak perlu turun tangan.
Sebenarnya Al Jabir mendeklarasikan kenabiannya tepat waktu. Tepat zaman. Yakni di saat zaman sudah begini modern. Sudah serba digital. Sudah sangat jauh dari zaman Nabi Muhammad SAW di Mekah yang masih makan kurma dan naik onta.
Lalu kini ada nabi baru dengan latar belakang pendidikan fisika. Tapi kita juga tahu: dunia digital memang tidak bisa nyambung dengan dunia agama.
Kenyataan lawan keyakinan. (Dahlan Iskan)