Rujak Purbaya

INDOPOSCO.ID – Di zaman serba cicilan ini reshuffle kabinet pun dicicil. Ada yang diganti sekaligus diangkat penggantinya. Ada yang diganti, penggantinya sudah ada, tapi belum dilantik. Ada pula yang diganti, penggantinya belum ada dan belum diketahui siapa.
Cicilan pertamanya dua menteri: keuangan dan koperasi. Sri Mulyani diganti Purbaya Yudhi Sadewa. Budi Arie diganti wakilnya: Ferry Juliantono. Saya kenal dua-duanya.
Dengan Purbaya, saya bertemu 10 bulan lalu saat ia ke podcast saya (lihat video di bawah). Ferry, saya bertemu terakhir tahun lalu di rumah ”filsuf-selebriti” Rocky Gerung di lereng pegunungan di Sentul.
Tentu baru dua jabatan menteri itu yang paling menarik perhatian: sorotan orang bisnis fokus ke Sri Mulyani–Purbaya. Orang politik ke Budi Arie–Ferry.
Saya juga kenal Irfan Yusuf dan Dahnil Anzar Simanjuntak –menteri dan wamen urusan haji. Irfan, kenal sejak dari bapaknya: KH Yusuf Hasyim dari Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Saya sering bertemu saat sama-sama ke rumah Capres Prabowo Subianto kala itu. Dahnil, dua kali ke rumah termasuk ketika masih jadi ketua umum Pemuda Muhammadiyah.
Dari semua menteri baru kelihatannya hanya Purbaya yang sudah dirujak medsos. Itu terkait dengan pernyataannya yang dianggap mengecilkan aksi demo besar akhir Agustus lalu.
Bahan baku ”rujak Purbaya” itu sepotong pernyataannya saat kali pertama tiba di gedung Kemenkeu –sebagai menkeu yang baru.
Namanya saja ”rujak”, tentu bahan bakunya harus dipotong-potong. Kalau saja bahan baku itu tidak dipotong tidak akan jadi “rujak Purbaya”.
Saya kembali memperhatikan ucapan Purbaya saat itu. Memang ia mengucapkan tuntutan demo 18+7 itu kecil. Tapi ada anak kalimat yang ia ucapkan, yang ternyata dipotong: “kalau ekonomi tumbuh”.
Artinya: pemerintah tidak akan bisa memenuhi tuntutan itu kalau ekonomi tidak tumbuh pesat. Maka ia harus lebih dulu bekerja keras menumbuhkan ekonomi untuk bisa memenuhi tuntutan pendemo. Urusan menumbuhkan ekonomi menjadi urusan yang lebih besar.
Itulah “kelemahan” Purbaya sebagai menteri keuangan: punya kebiasaan bicara apa adanya. Ceplas-ceplos –meski nada bicaranya tidak pernah meledak-ledak.
Padahal doktrin yang biasa dipegang seorang menteri keuangan, di mana pun, adalah ini: harus kikir bicara. Bukan berarti suka menghindari wartawan tapi harus pelit bikin pernyataan. Ucapan seorang menteri keuangan bisa menurunkan atau menaikkan kurs. Juga harga saham.
Sebagai wartawan, saya –dan Anda– benci pada pejabat yang pelit bicara. Wartawan suka dengan orang seperti Purbaya. Akan banyak kalimat yang ”layak berita” –meski itu belum tentu baik untuk ekonomi negara.
Lihatlah gayanya hari itu. Harusnya Purbaya lebih dulu membaca teks pidato sebelum menjawab pertanyaan wartawan. Teks sudah disiapkan oleh stafnya. Tapi ia hanya lirik sekilas teks di layar HP-nya itu. Lalu mengabaikannya. “Langsung saja,” celetuknya. Ia tahu. Wartawan juga tahu. Teks yang disiapkan itu hanya berisi kalimat-kalimat basa-basi.
Lalu lihatlah ketika Purbaya celingukan ke sekitarnya, mencari di mana dirjen pajak dan dirjen bea cukai. Kelihatannya agar keduanya ikut menghadapi wartawan. Ia tidak menemukan di mana keduanya. Lantas coba perhatikan celetukan apa yang keluar lirih dari mulut Purbaya: “keduanya tentara kan…”
Demikian juga saat ia menjawab soal berapa persen ekonomi harus tumbuh. Seoptimistis Purbaya pun ia tidak mau mengucapkan ”akan tumbuh delapan persen”.
“Kalau saya bilang tumbuh delapan persen pasti bohong kan?” katanya.
Tentu ada nada seloroh di situ. Tapi siapa menteri yang berani berseloroh seperti Purbaya di bawah Presiden Prabowo sekarang ini. Padahal soal delapan persen itu janji presiden yang amat penting. “Menuju ke sana,” ujar Purbaya.
Jadi, akan tumbuh berapa persen? Ia pun mengucapkan kata enam atau tujuh persen. Angka itu pun bagi orang seperti Anda –dan saya– sudah terasa luar biasa hebat. Sekalian titip doa semoga tercapai.
Anda tahu: angka itu tidak mungkin tercapai lewat cara-cara yang standar seperti yang dilakukan selama ini. Harus dengan cara yang berbeda.
“Cara yang berbeda” itulah kelihatannya yang diinginkan Presiden Prabowo. Dengan cara lama kita akan jalan di tempat. Sudah 10 tahun terbukti: pendapatan per kapita kita tidak naik sedikit pun. Satu dasawarsa. Berjalan di tempat. Bahkan mundur ke USD 4.800. Kita kehilangan waktu 10 tahun. Waktu begitu mahal. Kita buang percuma.
Tentu belum ada jaminan “cara baru” itu akan lebih berhasil. Bisa saja justru berbahaya. Bukan saja mundur, malah bisa masuk jurang.
Di masa seperti inilah diperlukan pimpinan yang matang, berpengalaman, intelektual, administrator, teguh, pernah mengalami tempaan dari bawah yang panjang. Ditambah keinginan yang kuat yang didasari ideologi kebangsaan –bukan hanya didasari pikiran pragmatis-trasaksional.
Purbaya, yang saya tahu, bukan orang yang ingin jadi menteri. Bukan pemain politik. Ia polos. Termasuk tidak risi ketika mengatakan dekat dengan SBY, Hatta Rajasa, Luhut Pandjaitan, Jokowi, dan kini Prabowo.
Politisi terbiasa menyembunyikan sebagian kebenaran untuk keselamatan nasib jabatannya. Purbaya tidak. Justru Purbaya yang seperti itu –dengan celetukan apa adanya itu– yang membuat saya waswas: jangan-jangan lingkungannya akan banyak menjegalnya.
Lihatlah sikapnya soal keharusan pajak diperluas dan ditingkatkan: “hanya akan berhasil kalau ekonomi tumbuh”. Itu bisa pertanda jalan baru juga.
“Jalan baru” ekonomi kita kini di tangan “orang yang baru”. Purbaya bukan ekonom sejak lahir. Ia sarjana elektro. Arus lemah. Lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Ilmu ekonominya ia peroleh dari Amerika –Amerika yang lain: Purdue University. Di Indiana. Bukan dari Berkeley atau Harvard.
Di Purdue-lah Purbaya meraih gelar doktor ekonomi. Tanpa lewat program master. “Lulusan ITB kelihatannya dianggap hebat sehingga bisa langsung ikut program doktor,” katanya saat podcast dengan saya.
Purdue adalah universitas pedalaman. Di Indiana. Di tengah lautan kedelai dan jagung. Saya ke kampus itu tiga bulan lalu. Ke pusat risetnya. Saya tidak tahu apakah ekonom produk kampus di basis pertanian seperti Purdue akan berpengaruh pada mazhab jalan “ekonomi baru” kita.
ITB telah melahirkan ekonom seperti Rizal Ramli, Budi Gunawan Sadikin, dan Purbaya. Dengan warna yang berbeda dari ekonom pacu jalur lurus. Pasti akan heboh.
Rizal Ramli pernah begitu ingin jadi menteri keuangan –agar bisa mengubah arah ekonomi negara. Ia berhasil mendapat jabatan itu, tapi tidak berhasil bertahan lama.
Di hari pertamanya Menkeu Purbaya juga sudah dirujak medsos. Tapi Purbaya sudah terbiasa makan asinan Bogor. Bapak-ibunya orang Bogor, sama-sama dosen IPB.
Rujak dan asinan beda rasa tapi sama-sama lezatnya: Purbaya akan menikmati keduanya. (Dahlan Iskan)