Disway

Obat Gelembuk

INDOPOSCO.ID – Bagaimana India bisa punya obat kanker –dan obat lainnya– begitu murah? Sampai orang Tiongkok pun “terpaksa” mencarinya secara gelap –yang memicu “revolusi” sistem pengobatan di Tiongkok enam tahun lalu?

Ternyata ada seorang hakim yang amat berani di India. Keputusannya di bidang hukum mampu mengubah ekonomi negara. Ide membuat aturan agar harga obat sangat murah di India justru datang dari seorang hakim. Caranya: lewat perubahan hukum paten.

Saya jadi ingat artikel seorang ahli hukum Indonesia: Nono Anwar Makarim –ayahanda mantan mas menteri pendidikan Nadiem Makarim. Saya membacanya saat masih muda. Saat masih menjadi calon wartawan TEMPO.

Berita Terkait

Saat itu Nono Anwar Makarim masih jadi salah satu mentor saya di LP3ES –saya sendiri murid magang di TEMPO. Nono adalah pendiri dan orang tertinggi di LP3ES. Saya peserta program pendidikan di lembaga itu yang dimagangkan di TEMPO. Nono adalah juga tokoh pergerakan 66, penggerak demo, pegiat antikorupsi, dan kemudian jadi pengacara terkemuka.

Ini inti tulisan di artikelnya kala itu: “Mencuri hak paten berbeda dengan mencuri sepeda motor”.

Paten itu, biar pun dicuri, pemilik paten masih tetap bisa menggunakannya. Kalau sepeda motor yang dicuri, pemiliknya tidak bisa lagi menggunakannya.

Hanya beberapa tahun sebelum artikel itu muncul, seorang hakim agung India, N. Rajagopala Ayyangar, sudah membuat putusan mirip itu: mengesahkan perubahan aturan paten. India tidak mau lagi mengakui ”paten produk”. India hanya mengakui paten ”proses produksi”.

Artinya, India bisa memproduksi produk yang sama, yang sudah ada di pasar, asal proses produksinya berbeda.

Itu tahun 1970. Di zaman perdana menteri India dipegang seorang wanita legendaris: Indira Gandhi. Gandhi-lah yang minta agar hukum mencarikan jalan keluar bagi rakyat India yang miskin yang tidak mampu membeli obat.

Begitu banyak literatur di sekitar peristiwa ”hukum dipakai untuk membela nasib bangsa” di India.

Anda tinggal pilih buku yang mana. Membaca buku tentu banyak gunanya –meski pun ada juga yang bangga karena tidak pernah membaca buku.

Waktu itu belum ada WTO –organisasi perdagangan dunia. India juga masih menjadi negara yang sangat miskin –yang sama sekali tidak penting sebagai pasar produk dari Barat yang harganya mahal.

Keputusan hukum di tahun 1970 itulah yang telah menjadi fondasi mengapa saat ini India merajai pasar obat dunia. Bahkan sampai disebut sebagai ”apoteknya dunia”. Sebanyak 20 persen obat generik datang dari India. Murahnya luar biasa.

Salah satunya adalah obat kanker leukimia yang diselundupkan oleh penderita kanker di Hunan –Tiongkok tahun 2018 lalu, yang mengubah kebijakan penting sistem pengobatan di Tiongkok (baca Disway kemarin: Hasil Demo).

Misalnya obat produksi Novartis (Swiss) yang sudah punya hak paten di India. Obat kanker. Novartis adalah salah satu produsen obat terkemuka di dunia –yang juga menguasai pasar obat di Indonesia.

Obat dari Novartis itu sangat ampuh untuk kanker darah. Nama obatnya: Imatinib mesylate. Merek dagangnya: Gleevec/Glivec.

India nekat memproduksi obat jenis tersebut tanpa merasa melanggar hak paten. Dengan cara: proses memproduksinya dibuat berbeda. Ikut prinsip hakim Rajagopala.

Maka harga obat jenis itu pun terjun bebas. Obat yang asli harganya Rp 50.000 sehari, menjadi hanya Rp 3.000. Sekitar itu. Padahal pasien leukemia harus meminumnya setiap hari. Selama satu tahun. Atau lebih.

Isi obatnya sama. Khasiatnya sama. Harganya begitu jauh berbeda.

Demikian juga obat HIV yang aslinya seharga USD 30 menjadi hanya USD 1 –untuk keperluan sehari. Beda merek. Sama ampuhnya.

Setelah ada WTO, India berubah ikut aturan WTO. Tapi industri farmasinya sudah telanjur sangat maju. Harga murah. Menguasai pasar. Sudah pula mendapat kepercayaan dunia.

Kualitasnya memang dijaga. Standar mutu WHO dipenuhi. Banyak yang mendapat pengakuan FDA –BPOM-nya Amerika.

Saya teringat saat jadi sesuatu dulu –seperti yang ditulis perusuh Disway kemarin. Sebagai penderita hepatitis B akut –sampai berlanjut ke sirosis dan kanker hati– saya tahu: obatnya amat mahal. Produk Eropa. Tidak mungkin terjangkau. Penderita hepatitis B di Indonesia begitu besar. Banyak di pedesaan pula.

Maka Indonesia harus punya obat yang murah. Kimia Farma pun kontak India. Akhirnya Indonesia punya obat sendiri. Mereknya: Heplav. Harganya tidak sampai sepertiga Barraclude yang saya konsumsi setiap hari.

Sesekali, saat saya ke apotek, masih bertanya: apakah masih ada Heplav. Masih ada. Tapi saya tidak bertanya apakah harganya masih tidak sampai sepertiga seperti dulu.

Setelah ada WTO, Novartis merasa punya hak menggugat India. Di bidang paten. Tapi Novartis kalah. Meski sudah masuk WTO India tetap punya aturan khusus: bila obat serupa terlalu mahal dan tidak terjangkau rakyat.

Masih ada satu ”cadangan” aturan khusus untuk bisa melanggar paten:

kalau terjadi wabah. Maka di masa Covid-19 lalu India menjadi produsen vaksin yang amat besar.

Tidak mudah menggugat India. Tidak mudah pula asing ”menyiasati” India.

Kita harus tahu orang India itu bilang ”iya” pun kepalanya menggeleng.

Misalkan ada perusahaan asing yang mendaftarkan paten obat baru. Obat itu harus benar-benar ”baru” di segala hal. India bisa menolak dengan alasan obat itu masih mirip dengan obat lain. Kalau pun beda, tidak banyak.

India punya penilaian raksasa farmasi dunia sering beralasan mendaftarkan merek baru, padahal itu hanya akal-akalan agar masa berlaku patennya lebih panjang.

Orang Tegal jangan dilawan dalam perdagangan minyak wangi. Orang Tasikmalaya jangan dilawan dalam mindring. Orang Solo jangan dilawan dalam hal gelembuk. Orang India jangan dilawan dalam semua hal. (Dahlan Iskan)

Komentar Pilihan Dahlan Iskan Edisi 8 September 2025: Hasil Demo

Gregorius Indiarto
Kritik melalui film dan demo di depan penjara, yang tidak anarkis, ibarat bisikan dan bahasa tubuh. Ini dipahami hanya antara yang saling mencintai. Beda dengan di negeri Q, kritik tidak di/terdengar, demo damai tidak ditanggapi, seolah olah rakyat bicara dengan wakil yang budeg dan buta mata dan hati. Inilah negeri Q, bicara dengan pemimpin harus teriak, demo dengan anarkis (supaya di/terdengar), ciri ciri komunikasi tanpa cinta, dekat terasa jauh. Komunikasi dengan cinta itu cukup dengan berbisik, dengan bahasa tubuh. Cukup dengan berdehem dan mengerlingkan mata, maka pasangan Anda pasti akan memahami, dan akan dijawab “ya ya yaa”. Khusus yang punya pasangan. Met pagi, salam sehat, damai dan bahagia.

heru santoso
Note 23 (catatan perjalanan). . . . . . Malamnya acara dinner bersama dua teman lama. Meraka asli dan tinggal di Shanghai ini. Tempat makan sudah ditentukan: sebuah restoran di ujung barat Nanjing road. Saat kami datang menu sudah tersaji komplit di meja bundar. Dengan teliti temenku cek dan pinggirkan makanan “non halal”. Menunya terlalu banyak, namun itulah khas orang sini menjamu sahabat. Setelah kenyang menikmati hidangan, kami melanjutkan dengan berjalan kaki sepanjang Nanjing Road, sambil berbincang ringan. Jalan ini memang unik. Lebarnya sekitar 30 meter. Area ini dirancang khusus untuk pejalan kaki, sehingga tidak ada gangguan lalu lintas kendaraan. Hal ini membuat seluruh lebar jalan dapat dimanfaatkan oleh orang yang berjalan, duduk, atau berbelanja. Lebar jalan itu juga mencakup trotoar yang menyatu dengan jalan utama, area tempat duduk, dan ruang untuk pertokoan serta kios-kios kecil. Deretan gedung mewah berdiri megah, sementara di sisi lain terlihat anak-anak berlarian bergembira bersama neneknya. Turis asing lalu-lalang, menikmati suasana malam yang hidup. Yang menarik, di satu titik bisa ditemukan outlet brand super mewah, sementara beberapa langkah berikutnya jajanan kaki lima dan penjual souvenir jalanan turut meramaikan. Kontras, tapi justru itulah daya tarik Nanjing Road….yang tumbuh by design dan menyatu dengan The Bund simbulnya peradaban Shanghai.

mario handoko
Selamat pagi bp thamrin, bp budi dan teman2 rusuhwan. Ingat obat. Ingat lagu “every rose has its thorn.” Setiap mawar punya durinya. Ya, tiap obat. Baik chemical ataupun herbal. Selain berkhasiat, pasti ada efek samping yg tidak diharapkan. Tinggal pintar2 nya dokter dan pasien dalam memakai obat. Agar efek samping yg timbul dapat dikendalikan.

istianatul muflihah
@Budi Obat buatan India murah karena India punya industri bahan baku obat. Indonesia tidak. Negara kita impor 90% (bahkan lebih) bahan baku obat. Dari India dan China. Tapi kabar baiknya, obat obat untuk penyakit kronis yang perlu pengobatan jangka panjang harganya sudah murah. Pemerintah tiap tahun mengeluarkan SK penetapan harga klaim obat. Amlodipin 10 mg, hanya Rp 133/tablet. SK ini berlaku bagi fasilitas kesehatan, yang kerjasama dengan BPJS. Bagi faskes yang akan melakukan klaim ke BPJS, harganya mengacu di SK itu. Di SK harganya mulai murah, di kenyataan mungkin bisa beragam :)

Bruce Wijaya
saya kalau jadi rakyat china sudah tentu akan tidak tertarik untuk demo2 secara di jalanan mengganggu ketertiban apalagi kekerasan anarkis …..karena terbukti demo ke pemerintah menggunakan otak dan hati lebih mengena tapi yah itu hanya berlaku jika orang2 yang duduk pemerintahannya itu sama seperti rakyat biasa juga dalam arti cuma beda kerjaan saja satu di swasta dan satu di pemerintahan ….seperti parade kemarin : terima kasih kalian sudah bekerja keras !! ….demi melayani rakyat !! seluruh dunia yang nonton meneteskan air mata

Sadewa 19
BPJS kita infonya masih defisit. Tahun 2024 saja total defisit sudah 9 Tn lebih. Defisif ini karena total klaim peserta lebih besar dari iuran yang terkumpul. Padahal ada 30% dari peserta yang rutin membayar iuran BPJS, tidak pernah pakai BPJS. Mereka masih tercover oleh asuransi dari kantor. Defisit ini jg terindikasi ada banyak peserta mandiri yang nakal. Mereka menunggak bayar. Hanya aktif saat memerlukan layanan kesehatan. Hal ini membuat arus kas BPJS tidak stabil dan merugi secara financial. Jikapun akan ada kenaikan iuran BPJS, sebaiknya lebih selektif. Jangan sampai orang-orang yg selama ini tidak pakai BPJS, iuran nya malah ikut dinaikkan. Mereka sudah bantu negara, bantu “urunan” dengan cuma-cuma. Atau dibuatkan skema. Orang-orang yg selama ini bayar iuran namun tidak sakit/tidak pernah pakai BPJS, iurannya dikembalikan 50% misalnya, atau 30% atau berapapun. Skema ini juga bisa mendorong, peserta yg “bandel” untuk terus bayar iuran. Tidak akan merasa rugi jika mereka sehat, tak pakai BPJS. Orang-orang yg sehat juga perlu di support. Agar mereka tetap sehat, agar bisa joget joget. Agar bisa terus bayar pajak.

Mery Veronica
Habis bangun tidur cek WA dan baca Disway sudah merupakan rutinitas saya dalam beberapa tahun terakhir. Pagi ini sempet gosok mata pas liat foto artikel disway hari ini, cek apakah salah scroll, ternyata tidak, foto artikel hari ini adalah foto film 我不是药神 yang merupakan salah satu film favorit saya. Film ini dibintangi oleh 徐峥, selain Dying To Survive yang mengharukan, ternyata beliau juga jago main di film2 komedi yang juga sangat menjual di China. Soal obat yang yang mahal juga di Konoha ini pasti sudah diutarakan perusuh Disway di kolom komentar lainnya, saya sekalian mau membandingkan biaya cek darah dan operasi yang sangat mahal di Konoha ini dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia, dan bahkan Singapura. Pernah cek darah di salah 1 lab di negara Konoha pas zaman covid, test berapa macamnya mengikuti hasil test terakhir di negara Singa, negara Singa kena $300, negara Konoha kena 8juta lebih. Selain itu, Bbrp seledok (selebriti doktek) di negara Konoha yang mengenakan biaya operasi bbrp x lipat dibandingkan dokter2 lain, sampai di blacklist oleh asuransi Prxxxxxxx.

Udin Salemo
Dulu punya teman yang berprofesi sebagai Medical Representative (MR). Jam kerjanya fleksibel. Ketika orang-orang pagi hari sudah berangkat dari rumah ke tempat pekerjaan, si MR ngantar anaknya ke TK dan sekolah dasar. Jam 9 pagi ketika pekerja kantoran dan karyawan pabrik sudah mulai stress dimarahin boss, pak MR menikmati kopi panas dan goreng pisang di rumah. Ketika para pekerja komuter mulai menuju tempat tidur untuk istirahat pak MR baru datang dari menemui dokter yang praktek malam hari. Masih sempat sempatnya jagongan di pos ronda. Dulu Udin pengen bekerja sebagai MR. Tapi pendidikan tidak mendukung. Ya, sudah dijalani saja hidup seperti yang digariskan Yang Maha Mengatur. Jadi tukang ngaduk semen itu pekerjaan mulia. Kata garwa, menghibur dan menyemangati bojone.

istianatul muflihah
Di Indonesia, obat baru (maupun lama) yang akan di-BPJS-kan harus lolos kajian Health Technology Assesment. Penilaian obat dari sisi farmakoekonomi. Obat itu harus bisa menjawab pertanyaan, Jika harganya mahal, apakah berbanding lurus dengan peningkatan kualitas hidup pasien? Jangan jangan, harganya mahal tapi tidak cost effective. Tidak sebanding dengan peningkatan kualitas hidup pasien. Atau, bisa jadi di luar negeri dianggap cost effective karena nilai willingness to pay (WTP) mereka tinggi. Setelah dibandingkan dengan nilai WTP di Indonesia, ternyata belum sampai. kebanyakan studi ini dari setting luar negeri. Belum banyak ilmuwan farmakoekonomi di Indonesia. Akibatnya, penelitian tentang ini juga terbatas.

Em Ha
Sang Nenek berdiri. ‘Petugas Polisi’ sahutnyi memanggil kanit investigasi. ‘Bolehkan kuminta bantuanmu?’. Dia penyintas leukemia pembeli obat murah seludupan dari India. Digrebek ditangkap untuk diambil keterangan. Diintograsi siapa penyeludup obat itu. ‘Aku hanya ingin memohon kepadamu.. untuk menghentikan penyelidikan obat-obatan India, kumohon… Aku sudah sakit sudah sakit selama 3 tahun. Obat asli harganya 40.000 perbotol…’ ‘Rumahku terjual.. dan keluargaku hancur.Sekarang akhirnya kami punya obat murah. Kau bersikeras bahwa obat-obat itu palsu. Palsu atau tidak. Kami tahu itu lebih baik. Harganya hanya 500 yuan perbotol. Pengedar tidak memiliki keuntungan. Ada pasien di setiap keluarga.’ ‘Siapa yg tahu bahwa kau bisa tetap sehat selamanya? Setelah kau menangkap dia, Kita semua pasti mati. Aku tidak ingin mati. Aku ingin hidup. Aku mohon.’
Cuplikan dialog film Dying to Survive.

Wilwa
@Tivibox. Walah ternyata Anda satu aliran dengan @JohannesKitono. Saya juga sealiran. :):):). Kita semua “murid” dari Guru Meditasi Penyembuhan: Suhu / Sifu / Master Merta Ada. :) Bali Usada. Bali Healing. :) SSHB. Semua “Satwa” (=Makhluk) Hidup Bahagia. Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta. All Beings Live Happiliy. Sedaya Satwa Urip Sukacita. Jie Da Huan Xi 皆大欢喜

balagak nia
dulu tiap bulan kalo beli obat untuk bapak saya selalu ke pasar pramuka, harganya lbh murah 40% dibanding nebus di apotik rumah sakit, obat 4jtan kalo di psr pramuka 2,5jtan. sempat terpikir nanti obat palsu, tapi banyak sekali aktivitas expedisi disitu setelah ditanya mereka bilang itu pesanan apotik. jadi masalah obat mahal itu apakah karena pajak, distribusi, margin utk dokter?

Johannes Kitono
Keadilan buat Drh Yuda. Film Dying to survive berhasil menggugah hati petinggi Partai Komunis. Suatu bukti negara Komunis lebih Pancasilais dari NKRI. CHD harus advokasi kasus Secretome Drh Yuda. Supaya genius aset bangsa ini dapat kesdilan dan tidak masuk penjara. Misalnya tayang di Netflix dengan judul : Justice for Drh Yuda.Semoga Semuanya Hidup Berbahagia.

Wilwa
Saya 我 bukan 不是 Dewa Obat 药神. I 我 am not 不是 Medicine 药 God 神. Hmmm. Berdasarkan pengetahuan sejarah dan budaya mengenai Tiongkok maka yang disebut Dewa Obat 药神 pertama adalah Shen Nong 神农 atau Dewa 神 Pertanian 农 karena yang mengajari rakyat Tiongkok bertani untuk pertama kalinya. Selain itu Shen Nong yang nama aslinya Jiang Shi Nian 姜石年 juga mengajari rakyat Tiongkok meramu obat 药 dari tumbuhan alias obat herbal. Konon karena sering menjadikan dirinya sendiri sebagai “kelinci” percobaan atas ramuan herbalnya maka Shen Nong pernah keracunan dan wajahnya jadi hitam karena racun. Di banyak kelenteng di Indonesia, Shen Nong dipuja sebagai Dewa Obat. Mudah dikenali arcanya. Yaitu arca dewa yang berwajah hitam. Shen Nong adalah yang kedua dari Tiga Kaisar / San Huang 三皇 Pertama Tiongkok yaitu Fu Xi 伏羲, Shen Nong 神农, Huang Di 黄帝. Mereka konon hidup 5000 tahun yang lalu. Legenda Rakyat Tiongkok. Peletak Dasar Budaya Tiongkok. Fu Xi konon mengajarkan Delapan Diagram 八卦 dan Perubahannya 易经 serta cara membuat rumah. Shen Nong mengajari cara bercocok tanam, merebus makanan untuk sterilisasi, hingga herbal. Huang Di / Yellow 黄 Emperor 帝mengajari cara membuat pakaian dari benang sutra yang merupakan penemuan tak sengaja dari istrinya dan mempopulerkan aksara Mandarin yang merupakan ide Cang Jie 仓颉. Three 三 Emperor 皇 kemudian disembah sebagai Dewa. Begitu gacoran saya mengenai Dewa Obat yang saya tahu dari pengalaman bergaul dengan pemeluk Konghucu dan literatur yang saya baca. Text limit

Marjan
Dying to Survive. Tanpa membaca sinopsis film ini, agak sulit menerka isinya. Mungkin tentang orang berjuang dari kematian karena kelaparan. Atau semacam itu. Tapi ini agak lain. Pesan dari rakyat untuk pemimpin disampaikan dengan media film. Halus. Menghibur. Kena ke yang dituju. Tidak harus dengan nyinyir. Apalagi dengan kekerasan. Pesan halus dapat sampai dan diterima penerima pesan, hanyalah mungkin penerima pesan mempunyai budi yang halus. Kembali ke Deliverology, Pemimpin Pemerintahan di berbagai tingkatan memahami KPI. Indikator yang terbaca pada dashboard. Tanpa harus diminta, apalagi menunggu mesin mengeluarkan asap karena overheat, penyelesaian masalah mesti sesegera mungkin. Dying to Survive. Mati atau hidup. Demi rakyat, hidup-hidupilah rakyat. Jangan mencari kehidupan dari rakyat. Mohon maaf ke warga Muhammadiyah, saya pinjam ajaran ayah kita. KH. Ahmad Dahlan:”Hidup-hidupilah Muhammadiyah jangan mencari kehidupan di Muhammadiyah.”

Juve Zhang
PM Thailand yg baru nama Anutin Julukan Raja Ganja…..wkwkwk ….media bebas kasih julukan….kalau disini ngamuk kali ya…. presiden Raja Ganja….wkwkwk…. Anutin lah yg melegalkan Jual beli Ganja di Thailand….Om Anutin selamat Ngisap Ji Sam Su campur Ganja….. asyiiik….

Ibnu Shonnan
Tulisan CHDI hari ini, menjadikan para pembaca tambah ngiler. Kok, terlihat enak banget menjadi rakyatnya partai komunis. Teknologi maju. Ekonominya yes. Kesehatan rakyat nomer satu. Karena ada pagar “hubbul wathon minal iman”. Yang terlihat serba enak dan bijak di negeri Tiongkok itu, akhirnya berkurang. Buktinya, empunya DisWay, meskipun riwa-riwi Surabaya – Tiongkok. Nyatanya rumah yang menjadi kediamannya tetap Surabaya. Tidak Guangzhou atau yang lain. Betulkan Abah….hehe

MZ ARIFIN UMAR ZAIN
Pil Ferro Sulfat, yg berwarna merah, yg murah, penambah darah, yg organik, kini tiada. Yg ada pil penambah darah yg mahal dg merk. Kapan yg murah disediakan di apotik2 lagi. Hallo Menteri Kesehatan.

Wilwa
@AgusS. Satu lagi. Di sana, untuk menjadi pejabat atau wakil rakyat tidak mudah, karena harus melalui seleksi yang ketat sehingga menghasilkan pejabat dan wakil rakyat yang unggul, berkualitas, membumi, merakyat. Meritokrasi. Walaupun mereka tak religius bahkan banyak yang atheist tapi hati nurani mereka sangat HIDUP. Di sini? Menjadi pejabat dan wakil rakyat seringkali harus lewat KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), sehingga ketika menjabat harus berpikir Cuan atau minimal balik modal. Mereka mungkin bodoh secara akademik tapi cerdas kalau soal mark up sana sini. Mereka menjadi pejabat seringkali lewat jalur seni yaitu menjadi artis terlebih dahulu. Atau minimal selebritis narsis yang suka flexing atau pamer kekayaan. Atau yang sering tampil di televisi melalui khotbah keagamaan atau debat politik. Popularitas dan bukan inteletualitas yang sering menjadi faktor utama terpilihnya seseorang menjadi pejabat atau wakil rakyat. Sehingga hasilnya kleptokrasi. Mereka semua religius karena negara mengharuskan semua warga negara punya satu di antara 6 agama impor dan menyingkirkan agama lokal yang menjadi tamu bahkan pesakitan di negerinya sendiri. Sebuah bangsa yang kehilangan identitas jati dirinya. Leluhur jelas sakit hati dengan perilaku keturunannya sehingga bisa jadi mengutuk keturunannya sehingga selalu miskin dan menderita dipimpin politikus yang beragama abal-abal. Pejabat dan wakil rakyat yang mati hati nuraninya dan menyembah duit sebagai sesembahan utamanya.

Agus Suryonegoro III – 阿古斯·苏约诺
KEKUATAN ASPIRASI: DARI LAYAR KE KEBIJAKAN.. Catatan Harian Dahlan hari ini secara brilian mengisahkan kekuatan aspirasi rakyat yang disalurkan melalui medium film. “Dying to Survive” bukan sekadar hiburan, tetapi menjadi katalis perubahan sistemik. Film yang diangkat dari demo nyata ini berhasil menyentuh hati publik dan penguasa, mendorong revolusi kebijakan kesehatan di Tiongkok. Kisah sukses ini menunjukkan bahwa kritik konstruktif, yang disampaikan dengan bijak dan mengedepankan nilai kemanusiaan, dapat didengar oleh pemerintah. Hasilnya konkret: 1). penurunan harga obat drastis, 2). penghapusan pajak impor, dan 3). perluasan cakupan BPJS yang memastikan keadilan bagi semua pasien. Artikel ini menjadi bukti nyata bahwa seni dan suara rakyat memiliki kekuatan untuk mengubah nasib bangsa, tanpa harus melalui aksi anarkis. Sebuah pelajaran berharga tentang bagaimana aspirasi dapat ditransformasikan menjadi tindakan nyata untuk kesejahteraan bersama.

Motor Listrik
MENURUT SAYA, DI INDONESIA TIDAK ADA YANG BERANI MENDOBRAK MAHALNYA BEROBAT DI INDONESIA (PUN ITU MAHASISWA), SAYA MERASA SEMENTARA PEMBERANI ITU HANYALAH MENTRI BUDI, NAMUN KLO TERNYATA YANG DIA TATA BARU TEBTANG PELAYANANNYA TIDAK APA, KARENA ITU YG JG ADA DISEKITARNYA, HANYA SEMOGA DIA TIDAK LUPA DULU PERNAH ADA LIPUTAN DI MEDIA MASSA YG SANGAT VIRAL VERSI MASANYA TENTANG KICKBACK2 INDUSTRI FARMASI. TERMASUK BERITA TENTANG LAPORAN PPATK TENTANG ALIRAN DANA INDUSTRI FARMASI KE PROFESI TERTENTU. PAK BUDI DISETIAP PODCAST SELALU MENJELASKAN PERMASALAHAN MANAJEMEN KESEHATAN DENGAN SANGAT DOWN TO EARTH, SEHINGGA MUDAH DIPAHAMI TERMASUK JIKA KEMAREN ADA YG MENGIKUTI SIDANG MK. NAMUN TANTANGAN PASTI ADA TERMASUK FRAMING PUNYA DUA BOS DISANA, TAPI SEMENGAT AJA PAK BUDI, SAYA YAKIN BOS ANDA PUNYA LOGOKA JG, DIA JUGA SAMA TIDAK AKAN MEMBIARKAN RAKYATNYA MATI KARENA BANGKRUT.

Denny Herbert
Di Tiongkok, film Dying to Survive mengguncang publik. Dari demo kecil di penjara, lalu jadi film laris, akhirnya memaksa pemerintah menurunkan harga obat dan memasukkan ribuan obat paten ke BPJS mereka. Rakyat tidak lagi harus memilih “hidup atau bangkrut.” Di Indonesia, masalahnya bukan hanya harga, tapi juga persepsi. Banyak orang masih ragu obat generik atau lokal, meski kualitasnya sama dengan obat mahal. Padahal universitas dan perusahaan farmasi kita sudah bisa bikin obat kanker, jamu anti-gout, sampai vaksin TBC. Cerita lama pun pernah ada: Dahlan Iskan mendorong Kimia Farma produksi lamivudin lokal dengan merek Heplam. Hasilnya, harga obat hepatitis B bisa turun dari Rp1 juta jadi Rp150 ribu per bulan—tidak sampai seperlima harga impor. Artinya, solusi ada: kombinasi kebijakan berani + edukasi masyarakat + produksi obat lokal. Kalau Tiongkok bisa berubah lewat film, Indonesia mestinya bisa lewat langkah nyata pemerintah, industri, media, dan masyarakat. Kita juga berharap RUU Kesehatan dapat memangkas inefficiency tata kelola perdagangan alkes dan obat-obatan. Salut sama Menteri Budi Gunadi yg mendorong reformasi kesehatan Indonesia.

rid kc
Sutradara film Dying to Survive ini genius. Film bisa dijadikan kritikan tajam terhadap pemerintah dan pemerintahnya sangat peka terhadap kritikan tersebut. Pemerintah Tiongkok langsung menjawab kritikan tersebut dengan membebaskan pajak semua obat kanker yang dibutuhkan rakyat. Saya angkat topi dengan pemerintah Tiongkok yang cepat bertindak demi menyelamatkan rakyatnya. Berbeda dengan di sini. Pemerintah baru ambil keputusan setelah terjadi demonstrasi besar-besaran bahkan penjarahan. Keputusan itupun masih dipertanyakan apakah benar dilaksanakan atau tidak. Pejabat disini sukanya konpers muluk-muluk faktanya nol besar. Janjinya muluk-muluk faktanya nol besar. Katanya negara paling beragama tapi janji selalu diingkari.

Echa Yeni
Mumpung mas ih angett Klo disana dibuat film Dying to surviv. Mungkin dsini isa dibuat pilem/ftv/sinetoron atao apalah, yg judulnya “dying to dance” Wc(ong ilik e) ben $echarat baiar vazacx,biar mreka yg kloget2,eh joget2.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button