Joget Malinau

INDOPOSCO.ID – Saya juga berjoget Sabtu lalu –tapi saya ingat pesan Rhoma Irama: “…Berjoget boleh saja…, boleh saja…. Asal sopan caranya”. Baca: asal sopan tempatnya..
Hari itu, 12 penari remaja sudah di panggung. Bikin atraksi. Semua berpakaian suku Dayak. Mereka datang dari Kalimantan Utara. Ketika mereka sampai ke gerakan kelima saya lari naik panggung. Masuk ke tengah-tengah mereka. Ikut berjoget. Joget sehat. Mirip gabungan antara tari-senam-aerobik. Saya optimistis bisa ikuti gerakan mereka. Hadirin di ballroom hotel itu pun tepuk tangan.
Itulah acara pemberangkatan 250 calon mahasiswa ke Tiongkok. Orang tua mereka ikut hadir –sekaligus perpisahan menjelang anak mereka pergi ke seberang jauh. Saya loncat ke panggung untuk menciptakan suasana gembira di saat banyak yang sedih campur bahagia.
Kesedihan lainnya: tokoh Raffi Ahmad tidak jadi hadir. Malam sebelumnya Raffi memberi tahu kami: tidak bisa meninggalkan Jakarta. Ibu kota lagi membara. Edy Kusuma, ketua umum Federasi Olahraga Barongsai Indonesia (FOBI) juga batal hadir. Padahal pengganti saya di Barongsai itu calon pemberi semangat “belajar sampai ke China”.
Kami memang biasa mengundang tokoh nasional untuk menyemangati acara seperti itu. Para calon mahasiswa pun sebenarnya sudah antre ingin berfoto dengan Raffi Ahmad. Apa boleh buat. Kerusuhan meletup di beberapa titik di berbagai kota.
Maka saya ubah acara hari itu menjadi agak ”liar”. Semua calon mahasiswa dari Malinau, Kaltara, saya minta naik panggung: berfoto dengan bupati mereka, Wempi Wellem Mawa.
Bupati Wempi juga suku Dayak. Untuk masa jabatan kedua ini ia calon tunggal. Lawan kotak kosong. Ia menang rekor: 95 persen.
Sudah beberapa tahun ini Malinau mengirim banyak calon mahasiswa ke berbagai universitas terkemuka di Jawa. Juga ke Tiongkok.
“Selama saya menjabat sudah 1.500 orang,” katanya. Ia ingin Malinau mengejar kabupaten lain di Kalimantan. Ia ingin meningkatkan sumber daya manusia di sana lewat pendidikan.
Kabupaten Malinau luasnya melebihi satu provinsi Jateng. Tapi penduduknya hanya 88.000 orang.
Untung belakangan ditemukan tambang batu bara di sana. Pendapatan asli daerah pun mencapai Rp 1,5 triliun –dari APBD-nya yang Rp 3 triliun.
“Mengapa Krayan tidak masuk kabupaten Malinau?” tanya saya.
“Saya sulit menjawabnya,” ujar sang bupati.
Wempi memang orang yang sopan, halus, dan lembut. Ia tidak ingin bicara soal yang sensitif. “Pak Dahlan sudah tahu jawabnya. Kan sering ke Kaltara,” ujarnya.
Krayan adalah satu kecamatan berbatasan dengan Serawak dan Sabah.
Tanahnya subur. Penghasil beras yang terkenal. ”Beras Krayan” banyak mengalir ke Serawak karena teksturnya yang punel –dan aromanya yang harum.
Keputusan Krayan dimasukkan ke Nunukan adalah pertimbangan demografis. Krayan hampir 100 persen Dayak. Sub sukunya sama dengan Dayak di Malinau. Bahkan sama dengan Dayak di perbatasan Serawak dan Sabah. Tapi pertimbangan itu telah mengorbankan kemudahan pembangunan wilayah pedalaman.
“Saya ingin meniru Malinau,” ujar Rasyid Bancin, wali kota Subulussalam.
Semula saya heran melihat kedatangan Rasyid ke acara ini. Apa hubungannya. Tidak ada calon mahasiswa dari Subulussalam.
Oh, rupanya ia ingin mendalami bagaimana cara mengirim calon mahasiswa dari Subulussalam ke luar negeri dengan cara yang hemat.
Rasyid baru terpilih sebagai wali kota Subulussalam. Ia lulusan Al Azhar, Cairo. Jurusannya sastra Arab. Ia didorong masyarakat di sana untuk maju jadi calon wali kota. Harapan terpilihnya kecil.
Lawannya incumbent nan punya banyak dana.
“Beliau pasti lebih kaget, kok kalah dari saya. Saya saja yang menang kaget,” ujarnya.
Saya menemani dua kepala daerah itu ngobrol sebelum acara dimulai. Yang Malinau sangat Dayak dan Kristen. Yang Subulussalam sangat Aceh dan Islam. Wempi belum pernah tahu Subulussalam.
Rasyid belum pernah tahu Malinau. Setelah saling kenal, saya tinggalkan mereka berdua agar hubungan lebih mendalam.
Di awal acara yang Dayak dan Kristen sudah tampil di panggung. Maka saya undang calon mahasiswa yang datang dari pondok pesantren. Semua saja.
Dari pesantren mana pun.
Ternyata ada satu calon mahasiswa dari pondok tahfizh Quran. Yakni Ichsan Nur Kahfi dari Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an, Tangerang.
“Jadi, Anda hafal Quran?” tanya saya.
“Alhamdulillah,” jawabnya.
”
Semuanya? Sebanyak 30 juz?”
“Alhamdulillah”.
Sudah banyak lulusan pondok pesantren kuliah di Tiongkok, tapi rasanya baru satu ini yang hafal Quran.
Seorang calon mahasiswa saya tanya: apakah ibunyi hadir di acara ini. Ada.
Saya minta sang ibu ke atas panggung. Ternyata dari Kuningan, Jawa Barat.
“Kok tega putranya dilepas ke Tiongkok?”
“Saya punya dua anak. Kakaknya sudah kuliah di Taiwan”.
“Berarti tidak ada anak lagi di Kuningan?”
“Tidak apa-apa. Saya memang menantang anak-anak saya untuk melebihi ibu mereka,” katanya.
Ternyata ibu ini lulusan Universitas Indonesia. Jurusan ilmu kesehatan masyarakat. Waktu itu dia mendapat beasiswa. Anak-anaknyi dia tantang untuk dapat beasiswa yang lebih hebat dari ibu mereka.
Lalu ada seorang ibu punya anak kembar. Wanita semua. Hanya itu anaknya. Dua-duanyi berangkat ke Tiongkok. Ternyata saya pernah bertemu si kembar itu –alumnus SMA International Islamic School Pesantren Sabilil Muttaqin, Magetan.
Satu hal yang saya menyalahkan diri sendiri hari itu: mengapa acara itu tidak saya majukan seminggu sebelumnya. Tim intelijen Disway rupanya kecolongan info A1. Itulah kelemahan intel kami yang memang tidak dibiasakan ikut bermain. (Dahlan Iskan)
Komentar Pilihan Dahlan Iskan Edisi 2 September 2025: Joget Kebenaran
Denny Herbert
Joget di Senayan, Joget di TikTok
Dulu, panggung politik hanya ada di gedung DPR, ruang sidang, dan layar TV. Kini, panggung itu pindah ke genggaman tangan: TikTok, live streaming, gift, dan emotikon. Di zaman medsos, citra bisa lebih kuat dari realita—dan “kebenaran baru” bisa viral lebih cepat daripada polisi menyalakan sirine.
CHDI mengingatkan: dua fakta yang tak berhubungan bisa dirangkai jadi narasi beracun.
Di live TikTok bukan sekadar dokumentasi demo, melainkan arena mobilisasi dan ilusi kuasa.
Seorang pelajar bisa merasa wajib turun ke jalan hanya karena ribuan komentar di layar, tanpa tahu apa substansi tuntutannya.
Masalahnya bukan sekadar siapa yang joget di DPR atau siapa yang joget di TikTok. Masalahnya: negara gagap menghadapi realitas digital, tapi juga lambat mengakui realitas sosial.
Pajak naik, daya beli turun, pejabat blunder—lalu rakyat marah, oknum menunggangi, dan citra menggulung fakta.
Menutup fitur live TikTok bukan solusi, sama seperti mematikan pengeras suara tanpa mengubah nada pidatonya.
Yang dibutuhkan bukan sekadar sensor digital, tapi koreksi moral dan kebijakan yang nyata. Kalau tidak, kita akan terus sibuk memadamkan api layar, tapi membiarkan bara di jalan.
rid kc
UU DPR harus dirubah. Beberapa poin yang harus dimasukkan :
1. Anggota DPR dibatasi maksimal 2 periode.
2. Uang pensiun dihapus diganti pesangon.
3. Gaji DPR maksimal 10 x besaran gaji UMR/UMK
4. DPR harus transparan.
5. Setiap anggota DPR harus diaudit kekayaannya.
6. Standar kinerja harus jelas
Sadewa 19
Ini juga “kebenaran baru” tentang Pajak. Saya kutip dari kata-kata hari ini. Kata kata dari Pak Ahok :
Lewat Jalan kena Pajak
Isi Bahan Bakar kena Pajak
Gaji belum dinikmatin kena Pajak
Semua di Pajakin
Bangun Rumah kena Pajak
Makan juga kena Pajak
Tinggal dirumah pun, warisan pun
Balik nama pun kena pajak
Udah tua pensiun
Eh Pajaknya dinaikin semua
Saya tambahin ya…
Sakit masuk rumah sakit
Beli Obat kena Pajak
Udah mau mati, beli tanah kuburan
Kena Pajak.
Sampai didalam liang kubur
Malaikat mungkin ikut menangis
Melihat nasib para ahli kubur
Orang orang WNI…
Em Ha
Kebenarannya Rakyat punya andil. 58% pemilih suka yang joget2. Kata ust Das’ad Latif ini akibat suara rakyat mau dibayar. Pengemis suara setelah terpilih merasa majikannya rakyat.
Coba amati ‘kebenaran lain’ : Anggota dewan joget2. Gibran tertangkap kamera bermuka murung, tampak tak suka. Demo meletus. Driver ojol terlindas. Rumah 3 dewan dijarah. Gibran undang ‘rekan ojol’ dialog. Ipar Gibran, Bobby bagi2 paket sembako ke driver ojol di Medan.
Joget itu sudah lama. Sejak Jokowi berkuasa. Entah kenapa hampir 1 tahun Prabowo bertahta jadi masalah.
Rakyat kurang ngerti dengan agenda asing. Yang rakyat tahu. Pajak naik dan pejabat dan dewan hidup mewah. Tanah terlantar disita negara. Rekening nganggur diblokir. Menikmati suara burung mesti bayar royalti.
Sengsara kali jadi rakyat. Itu yang dirasakan orang banyak. Demo meledak. Dewan dicari. ‘Burung hitam’nya yang ketemu.
Er Gham 2
Coba pemerintah bongkar pagar depan gedung DPR. Mundurkan pacarnya lalu buat area khusus buat demo. Sehingga nanti demo tidak memakan badan jalan. Tidak mengganggu arus lalu lintas. Jalan depan gedung DPR sangat strategis bagi warga yang menuju ke bandara.
Semua bentuk demo umumnya ditujukan ke gedung DPR. Jadi siapkan lahan nya. Agar pendemo leluasa. Pagar dan gerbang gedung DPR juga seperti benteng saat ini. Seolah-olah disiapkan agar rakyat tidak bisa masuk. Padahal gedung nya dibangun untuk menampung keluhan masyarakat. Untuk berkeluh kesah. Masyarakat menyampaikan keluhan atau aspirasi ke wakilnya di gedung itu. Bukan justru dipersulit.
Gedung itu adalah bangunan representasi perwakilan rakyat. Bukan gedung diskotek untuk joget joget.
Wilwa
Dalam bahasa paling sederhana, solusi untuk semua kerumitan masalah di negeri adalah: 1) Berantas korupsi. Miskinkan koruptor. Sita harta koruptor. Kalau perlu hukum mati koruptor kelas triliyunan. 2) Pajaki orang kaya. Bukan Pajaki orang kecil. Pajak Penghasilan harus progresif. Makin besar penghasilannya makin tinggi tarif pajaknya. Contoh negara Swedia, Norwegia atau Denmark. Juga terbitkan pajak kekayaan sekian persen yang juga progresif untuk 100, 1000, 10000, 100000 orang kaya dan / atau super kaya yang punya kekayaan ratusan milyar hingga ratusan triliun rupiah. Naikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak sehingga 80% rakyat bebas dari pajak penghasilan. Ini memberi kesempatan rakyat kecil untuk menabung. Memudahkan administrasi bagi pengusaha kecil. Mengurangi kerumitan pajak, memangkas birokrasi. Turunkan Pajak Pertambahan Nilai bahkan bila perlu ditiadakan. Karena melemahkan daya beli konsumen/rakyat, menekan konsumsi yang pada gilirannya menghambat roda ekonomi. PPN juga membuat rumit administrasi pajak bagi pengusaha kecil. Pajak yang sederhana memotivasi rakyat menjadi pengusaha bukan pegawai. Sehingga membuat ekonomi bergerak maju dan bergairah. Jangan mempersulit sesuatu yang mestinya bisa dibikin mudah.
heru santoso
Note 17: (catatan perjalanan) . . . .
Begitu turun MRT, aku langsung keluar gate. Tepat depan gerbang kampus ZJUT, tempat anakku kuliah. Rasanya nggak asing sama lingkungan ini. Trotoar yang kupijak pun serasa akrab. Tahun lalu aku sempat sebulan tinggal di sini. Nyaman, seperti pulang ke rumah kedua.
Dari bandara kami sempat mampir pusat kota. Makan Malatang di resto langganan kami dulu. Aku ambil mie, irisan ikan, dan sayuran. Semua ditaruh di baki besar, ditimbang, lalu bayar scan Alipay – semacam QRIS. 15 Yuan.
Sambil nunggu malatang dimasak. Aku mendengar anak wedok cerita jadwal ujian dan wisuda bulan depan. Berarti akan tepat 8 semester kuliah, sejak didaftarkan oleh ITCC semasa covid dulu itu. Mendengar juga cerita tentang interview dari beberapa perusahaan. MNC dan perusahaan China yang di Indonesia. Tentu bahasanya inggris atau Mandarin.
Nggak lama, mangkuk panas tersaji. Aromanya rempah banget. Langsung terasa hangat sampai pangkal rambut.
Menjelang malam kami sampai di rumah kontrakan. Di kompleks yang sama dengan tahun lalu, beda blok. Kami masuk begitu saja, tanpa ketuk pintu. Rumah-rumah di sini pintu utamanya memang tidak dikunci. Aman. Tidak ada maling. Orang percaya satu sama lain.
Aku tinggal di lantai dua. Sambil rebahan santai, ambil tablet. Masih terbuka catatan perjalananku di Ho Chi Minh City. Kubaca sebentar, lalu kututup. Membuka lembaran baru: moleknya Hangzhou yang ingin kujelajahi trotoarnya. Dan kutulis setiap langkah kaki..setiap hari.
Jokosp Sp
Menjarah milik perampok negara malah diancam tindakan tegas dibilang anarkis. Sementara yang perampok negara yang rampokannya milyaran – trilyunan aman malah dilindungi. Negara macam apa…….Kanoha?.
Marjan
Joged salah tempat. Salah waktu. Salah keadaan. Salah komunikasi. Salah reaksi.
Salah tidak sama dengan benar.
Tetapi, kesalahan bisa menjadi kebenaran.
pak tani
Pak Prabowo orang lapangan, ikut perang garis depan. Infanteri sejati. Tentu ring 1 nya kebanyakan orang lapangan.
Beda dengan SBY, memang terbiasa di balik meja. Pada jamannya, demo sudah jadi makanan sehari-hari. Potensinya lebih besar dari demo sekarang. Tapi berhasil dinetralisir.
Yang lebih mengkhawatirkan justru data ekonomi kita yang membaik. Padahal kenyataan dilapangan tidak mencerminkan itu. Di portal berita, data SMI (manufaktur) kita naik lagi di atas 50%, berarti di fase ekspansi. Nyatanya? Anda sudah tahu.
balkisto balkis
Yang paling sulit itu menemukan akar masalah yang sudah di bentangkan para ahli nya tapi tidak di respon dan tidak ada tindakan yang nyata, di diamkan jadi bom waktu. Kasus sepele ijazah saja sampai berlarut-larut tanpa ada ketegasan belum lagi masalah orang sudah inkrah masih bebas, belum lagi yang lain lain. Pusing pusing memikir nya
Wilwa
@AgusS. Satu hal yang sangat penting yang harus dilakukan secara paralel yang telah dirintis di era Jokowi adalah DIGITALISASI. Dalam hal ini adalah digitalisasi TRANSAKSI KEUANGAN. Batasi penarikan tunai misalnya lebih dari 100 juta per orang/perusahaan per hari. Ini sedikit banyak mencegah penyuapan, pemerasan, korupsi, perdagangan manusia, perdagangan narkoba, dll tindak kriminalitas
Agus Suryonegoro III – 阿古斯·苏约诺
BEDA DEMO 1998 VS 2025: MEDIA, DINAMIKA SOSIAL, DAN JUMLAH MASSA..
Demo 1998 dan 2025 berbeda drastis dalam pola komunikasi dan dampaknya terhadap mobilisasi massa.
Pada 1998, belum ada media sosial.
Informasi penyebab dan jadwal demo tersebar lewat selebaran, telepon, radio, dan televisi.
Televisi swasta bahkan menyiarkan liputan langsung kerusuhan, membuat eskalasi cepat naik karena masyarakat merasa “melihat sendiri” situasinya.
Namun, mobilisasi massa tetap terbatas karena akses informasi lambat dan komunikasi masih terpusat.
++
Tahun 2025, justru tidak ada siaran langsung TV. Pemerintah dan media arus utama cenderung lebih “menahan” tayangan.
Sebaliknya, ledakan informasi datang dari TikTok, Instagram Live, Twitter/X, dan Telegram.
Hampir semua peserta membawa HP dan merekam sendiri, sehingga persebaran video sangat cepat, masif, dan tak terkendali.
Dampaknya, jumlah peserta demo 2025 bisa melonjak lebih besar karena efek “fear of missing out” dan ajakan real-time.
Namun, sekaligus memicu polarisasi opini, karena video pendek sering dipotong tanpa konteks, memicu emosi lebih cepat dibanding informasi faktual.
Kesimpulannya: 1998 digerakkan oleh televisi, 2025 digerakkan oleh algoritma media sosial — dan ini membuat dampaknya lebih luas, lebih cepat, dan lebih sulit dikendalikan.
###
Catatan: di luar pengaruh Korlap..
Gregorius Indiarto
Apa yang salah dengan joget?
Ngga ada.
Joget itu tidak salah.
Joget itu bisa bikin rileks.
Yang salah itu saat.
Mosok yo joget kenaikan tunjangan dihadapan rakyat yang saat itu kena kenaikan pajak!?
Mosok iya joget bahagia dihadapan penderita?!
Mestinya kalau mereka mau merayakan joget kebahagiaan ya di tempat yang tersembunyi, boleh direkam tapi jangan dipublikasikan, biar tidak dibilang punya akal tapi tidak berakal.
Met siang, salam sehat, damai dan bahagia.
HONDA CBR150R
setiap ada demo rusuh pasti bilang ada campur tangan asing.
padahal ini adalah cerminan dari para pejabat yang tidak tahu diri, rakyat dihajar dengan pajak dari segala aspek, mereka pajak dibayarin, tunjangan dinaikkin, ngomong otaknya tidak dipakai, sekali ada pelajaran dari rakyat taunya minta maaf.
menteri keuangan ini kenapa masih tidak tau diri juga, harusnya sudah mundur.
pada pejabat DPR sudah pada dicopot.
hidup Mulyono.
Tivibox
+ Apa salahnya joget-joget ?
– Tidak ada yang salah
+ Bukankah acara sidangnya sudah selesai ?
– Benar sekali
+ Bukankah yang joget itu jiwanya lebih rileks ?
– Mungkin iya, mungkin juga tidak
+ Badannya lebih sehat ?
– Belum tentu
+ Apakah yang tidak ikut joget hatinya lebih punya empati kepada rakyat yang lagi menderita ?
– Ya ndak tahu kok tanya saya
Denny Herbert
DEEPFAKE KEBENARAN.
Di DPR, joget bisa diubah jadi “joget syukuran tunjangan.” Di medsos, fakta bisa dirangkai jadi “kebenaran baru.” Kini, video bisa dimanipulasi—bukan hanya rangkai narasi, tapi rangkai wajah, suara, bahkan intonasi.
Kita diingatkan lewat kasus Sri Mulyani: deepfake bukan sekadar lucu-lucuan AI, tapi senjata politik. Di desa, di kota, di grup WhatsApp, logikanya sederhana:
“Kalau ada videonya, berarti benar.” Padahal, yang benar bisa disulap jadi salah, dan yang salah bisa dipoles jadi benar.
Abah pagi ini menulis tentang dua kebenaran yang dirangkai jadi kebohongan.
Kebohongan yang dibungkus teknologi supaya tampak lebih benar daripada kebenaran itu sendiri. Dua-duanya sama: membius logika, memanaskan emosi.
Solusinya? Bukan sekadar sensor teknologi, tapi literasi kesadaran. Negara perlu regulasi, media perlu integritas, tapi rakyat juga perlu daya tahan—imun terhadap manipulasi digital. Kalau tidak, demokrasi akan roboh bukan karena satu video palsu, tapi karena kita tak lagi percaya apa pun, termasuk kebenaran yang asli.
Johannes Kitono
Brigade Motor ( Brig-tor )
Meledaknya demo sporadis di Jakarta dan kota lainnya seperti bisul pecah. Merupakan akumulasi kecewanya rakyat terhadap para wakilnya. Menari nari diatas penderitaan rakyat disaat ekonomi susah. Dan tewasnya Affan dilindas Rantis seperti api unggun disiram Pertalite. Memang Presiden, Kapolri dan Ketua DPR sudah minta maaf atas insiden ini. Ketum partai juga sudah non aktipnya anggotanya di dewan yang tidak senonoh.Walakin , menurut pakar strategi politik itu belum cukup. Sebaiknya Presiden dan Kapolri segera membentuk Brigade Motor. Kolaborasi dengan Goto yang beranggota 4 juta orang. Anggota BM dipilih dari anggota Goto berusia dibawah 25 tahun dan minimum SLA. Sambil ngojek mereka secara bertahap dilatih oleh Perwira Polantas. Tugas sementaranya adalah membantu Polantas mengatasi kemacetan lalu lintas. Apabila melewati masa percobaan mereka diangkat jadi anggota Brigade Motor. Menjadi anggota polisi dengan spesialisasi mengatasi kemacetan lalu lintas. Pasti juga mengatasi demo. Dan anggota BM akan memberi bimbingan juga kepada rekan rekan Ojol. Bagaimana njadi pengemudi yang benar dan sopan dijalan umum. Dan anggota pertama BM adalah Briptu Affan Kurniawan ( alm ). Naik pangkat anumerta karena mati saat tugas dan punya hak pensiun. Dengan adanya Brigade Motor. Harapannya dendam antara Polisi dan pengemudi Ojol bisa segera sirna. Tentu BM akan bermanfaat juga bagi masyarakat yang sudah bosan menghadapi kemacetan. Semoga Semuanya Hidup Berbahagia.
Liam Then
Dua hari lalu, saya nonton podcast Pak Rhenald Kasali, tamunya Pak Hendropriyono.
Pak Hendropriyono di podcast itu ada katakan, ada cawe-cawe asing di demo kemarin. Siapa orangnya tentu tidak disebutkan. Saya juga maklum kenapa tidak disebutkan, pasti ada alasan pribadi dari beliau.
Ada yang menarik dari perkataan Pak Hendropriyono di podcast itu, operasi intelijen asing segitu canggihnya sampai-sampai orang yang digerakkan tidak tahu bahwa ia sedang digerakan. Saya ingat dulu juga pernah komen hal serupa, terkait banyak konflik perang saudara dan regional di Afrika dan Timur Tengah. Lihatlah betapa bingung mereka disana ,sampai bunuh-bunuhan antar sesama. Arab Saudi bombardir Yaman, Turki bombardir Suriah. Somaliland dan Somalia. Sudan dan Sudan Selatan. Libya, Syria, Yaman, adalah hasil tuai “Arab Spring” yang temanya anda sudah tahu. Puitis sekali nama diberikan, musim semi, tapi yang bersemi malah kehancuran.
Satu yang saya pikirkan, negara-negara yang mengalami krisis ran konflik diatas, mereka perang peluru dan mesiu dapat dari mana? Kok seperti tak habis-habisnya.
Di Eropa ada Ukraina yang dikorbankan sebagai alat untuk provokasi Rusia, perlu diingat konflik frontal Rusia dan Ukraina, muncul setelah “Revolusi Oranye”, yang kemudian membuat Rusia menganeksasi Crimea, untuk amankan pelabuhan penting disana tempat tambat armada AL laut hitam Rusia. Sebelum revolusi oranye, rezim pemerintahan Ukraina secara tradisional selalu condong ke Rusia.