Disway

Buku Lusuh

INDOPOSCO.ID – Saya meraih buku yang paling lusuh di atas meja di masjid itu. Saya ingin tahu: buku apa yang paling banyak dibaca di situ. Dalam pengertian saya, buku terbaik adalah buku yang lusuh. Apalagi yang sudah banyak coretannya.

Terlalu awal saya tiba di masjid itu: di distrik Tongzhou, pinggiran timur kota Beijing. Untuk membayangkan seberapa pinggir daerah itu ada ukurannya: ia berada di jalan lingkar nomor berapa.

Waktu pertama ke Beijing, tahun 1986, belum ada jalan lingkar. Mobil masih amat jarang. Belum tentu lima menit sekali ada yang lewat. Jalan-jalan penuh dengan sepeda atau gerobak barang.

Berita Terkait

Ketika mobil kian banyak perlu tata kota yang modern. Dibangunlah jalan lingkar –Anda menyebutnya ring road– untuk mencegah kemacetan. Beijing pun kian luas. Dibangun jalan lingkar kedua. Kian luas lagi. Dibangun lingkar ketiga.

Beijing kini sudah punya jalan lingkar No 7. Kalau peta jalan itu disederhanakan sudah seperti sarang laba-laba yang besar.

Meski punya jalan lingkar No 7 bukan berarti ada tujuh jalan lingkar. Beijing hanya punya enam jalan lingkar. Itu karena tidak ada jalan lingkar No 1.

Jalan lingkar paling dalam di Beijing adalah jalan segi empat di lapangan Tian An Men –pusatnya pusat kota Beijing.

Masjid itu tadi berada di jalan lingkar No 6 –di bagian timur. Boleh dikata itu masjid di perumahan baru. Di wilayah pengembangan baru. Serba baru.

Taman-taman luas. Perumahan kampungnya pun serba berlantai 20 ke atas. Sekolahnya baru. Rumah sakitnya baru. Masjidnya baru.

Anda sudah tahu: salat Jumat di Beijing dimulai pukul 14.00. Tapi baru pukul 12.00 saya sudah merasa lapar. Masjidnya sekitar delapan kilometer dari hotel tempat saya menginap seminggu terakhir. Lebih baik mencari restoran di dekat masjid. Logika saya sudah otomatis: di dekat masjid pasti ada resto halal.

Sebenarnya ada lima atau enam restoran halal di sekitar hotel. Tinggal jalan beberapa langkah. Tapi pelayan di enam resto itu sudah terlalu hafal wajah saya. Saya juga sudah hafal wajah mereka. Maka makan di resto dekat masjid jadi pilihan untuk menghafal wajah baru.

Benar. Ada resto halal di situ. Bahkan dua. Bangunan restonya menempel di bangunan masjid.

Arsitektur restonya menyatu dengan arsitektur masjid: mirip kelenteng. Kelihatannya, waktu membangun masjid sekalian dipikirkan untuk juga membangun restoran halal.

Saya hanya memesan makanan kecil: masih ada janji akan makan siang dengan relasi di Beijing. Mereka akan menjemput saya di masjid: sudah biasa pula mereka mengantar saya ke masjid. Di mana pun di Tiongkok.

Setelah hilang lapar, saya masuk masjid. Baru pukul 13.15. Baru lima orang di dalam masjid. Maka saya lihat-lihat buku apa saja yang ada di masjid itu. Lalu saya tertarik pada buku yang paling lungset di atas meja kecil.

Judulnya sudah tidak kelihatan. Buku itu sudah dilapisi plastik berlapis –rupanya agar tidak lebih hancur. Saya pun membukanya dengan hati-hati.

Ternyata itu buku petunjuk teknis salat –dalam bahasa Mandarin. Bacaan-bacaan salatnya disertai huruf Arab.

Di bagian awal buku itu ada petunjuk teknis yang lebih umum: bagaimana menghadapi pertanyaan-pertanyaan malaikat dalam ujian setelah mati nanti. Beda dengan ujian di sekolah, bunyi pertanyaan yang alam akhirat itu sudah dibocorkan oleh buku itu. Mereka yang bisa menjawab barulah boleh masuk pintu gerbang surga.

Di Tiongkok mereka juga harus menghafal pertanyaan itu. Juga harus menghafal jawabnya. Saya sudah hafal sejak sebelum masuk SD –diajarkan di masjid-masjid. Apakah berarti saya pasti masuk surga? Belum tentu. Ada satu pertanyaan yang saya terlupa.
Pertanyaan No 1 mudah.

Saya baca bahasa Arabnya di sebelahnya: man rabbuka?

Ada jawabnya di bawahnya: Allah.

Total ada enam pertanyaan dan enam kunci jawaban di buku itu. Waktu kecil saya hanya diajari lima pertanyaan dengan lima jawaban. Baru di masjid Tiongkok ini saya tahu –dari buku lungset itu– ada enam pertanyaan.

Atau saya yang sudah lupa? Atau saya lagi main-main kuku saat ustaz mengajarkannya?

Pertanyaan yang saya lupa itu adalah: 我麦呢伊吗目开?

Awalnya saya pusing membacanya. Saya bisa membaca tiap hurufnya, tapi kalau diartikan tidak menjadi kalimat yang bisa dipahami. Tanyalah Wilwa yang begitu jago Mandarin. Wilwa akan pusing menjawab: apa artinya.

Lalu saya baca pertanyaan itu dalam bahasa Arabnya. Oh, bunyinya: wa man imamuka? Artinya Anda sudah tahu: siapa imam kamu?

Berarti tulisan mandarin tadi bukan bahasa mandarin. Tulisannya mandarin tapi bunyinya mirip “wa man imamuka”. Kalau tulisan mandarin itu dibunyikan satu per satu bunyinya begini: wo mai ne yi ma mu kai? Bukankah bunyi itu agak mirip “wa man imamuka”.

Anda pun ingat pelajaran di pondok pesantren: yang tulisannya huruf Arab tapi bunyinya bahasa Jawa.

Atas pertanyaan itu ada bocoran jawabannya: imam saya adalah 我的伊吗目是夫勒儿嘎奴.  Artinya, imam saya Al Furqan.

Berkali-kali saya ulangi pertanyaan dan jawaban itu. Sekalian menambah kosa-kata bahasa mandarin yang masih terbatas. Siapa tahu pertanyaan malaikat di sana nanti juga diajukan dalam bahasa mandarin.

Saya pun mengingat masa kecil dengan keras: jangan-jangan pernah diajarkan. Rasanya tidak.

Saya yakin itu, karena pengertian saya, Al Furqan adalah nama lain Alquran. Padahal di pertanyaan nomor tiga sudah ada: apa kitab pedoman kamu. Jawabnya:  我的经典是古勒儿阿尼. Arabnya: Alquran.

Tapi jawaban dalam bahasa mandarin itu membingungkan saya. Karena di masa kini bahasa mandarinnya Quran adalah: 古兰经 (Gǔ lán jīng).

Saya tidak tahu apakah penulis buku tersebut salah paham. Atau ketika buku lungset itu ditulis belum ada standardisasi penulis Quran dalam bahasa mandarin.

Lama saya berhenti di halaman itu. Setelah mendekati waktu salat saya baru cepat-cepat membuka halaman berikutnya. Ternyata ada petunjuk teknis beberapa salat sunnah ¬–kalau dikerjakan dapat pahala, kalau tidak dikerjakan tidak berdosa.

Jenis salat sunnahnya ternyata lebih banyak. Ada salat sunnah adzin dan salat rasuli.

Lalu ada petunjuk mengucapkan niat salat wajib. Termasuk salat Jumat.

Bacaan niat salatnya agak beda dengan waktu kecil saya: usali lillahi salatan fardu Jumatan muktadiyan bil imam.

Masjid pun penuh. Hanya sedikit orang asingnya –rupanya tidak ada universitas besar di kawasan ini. Tidak ada mahasiswa asing –dari Pakistan atau India– yang sering saya lihat di masjid lain.

Anda tidak perlu membaca tulisan saya di atas. Minggu ini banyak bacaan yang lebih menarik di medsos: perbandingan pajak sepeda motor di Malaysia dan di Indonesia. Rujak dari Malaysia kelihatannya lebih gurih bagi para gubernur di Indonesia. (Dahlan Iskan)

Komentar Pilihan Dahlan Iskan Edisi 12 September 2025: Rujak Solo

djokoLodang
-o– KOBOI GAYA … Ketua Komisi XI DPR M. Misbakhun memang minta Purbaya bicara sebagai Purbaya. “Wah, saya ini sudah ingin berhenti jadi cowboy disuruh jadi cowboy lagi,” celetuk Purbaya. Itu karakternya: bicara apa adanya. … *) Karakter bicara apa adanya itu juga sudah terekam dalam warisan adiluhung Jawa: cerita wayang. Ada tokoh yang saat lahir diberi nama Bratasena. Setelah dewasa dikenal juga sebagai Bima. Werkudara. Selalu bicara apa adanya. Bahkan tidak mengenal “unggah-ungguh”.(etiket jawa). Tidak bisa duduk bersimpuh. Tidak bisa berbahasa “krama”. Selalu berbahasa “ngoko”, walaupun sedang berhadapan dengan raja. Bahkan bicara dengan dewa sekalipun, ia menggunakan gaya bahasa yang sama. Tetapi, tidak pernah berbohong. Tindakannya pun selalu sesuai dengan apa yang diucapkannya. Dan selalu membawa manfaat bagi sesama. Pun bagi lingkungan sekitarnya. Bagi dunia. *) Nah, ini yang menarik. Salah satu putera Bima namanya Gatotkaca. Di tanah Sunda Gatotkaca lebih dikenal dengan namanya yang lain: Purabaya. Tanah Sunda, tempat lahir Purbaya. –koJo.-

Agus Suryonegoro III – 阿古斯·苏约诺
RUJAK PURBAYA: ANTARA PEDAS, MANIS, DAN KRIUK EKONOMI.. Membaca pernyataan Menkeu Purbaya kemarin rasanya seperti menikmati sepiring rujak Solo: Ada pedasnya, ada manisnya, ada juga kriuk-kriuk kejutan yang bikin kaget. Bedanya, kalau rujak asli bikin keringetan di lidah, rujak ekonomi ala Purbaya bikin keringetan di kening. Saya justru kagum, jarang ada Menkeu yang berani bicara lugas, bahkan sampai menyebut “dicekik.” Istilah itu lebih cocok untuk film laga, tapi ternyata pas juga dipakai di dunia fiskal dan moneter. Humor cerdasnya keluar ketika ia menyebut: Kombinasi resep SBY + Jokowi = Prabowo. Rasanya seperti sedang meracik sambal: 5 cabai + 6 cabai = bukan sebelas cabai, tapi tujuh rasa. Namun yang paling penting: Pak Purbaya sadar ekonomi tak boleh dibiarkan ngendon di Bank Indonesia. Uang harus kembali ke rakyat, biar belanja jalan, pajak lancar, dan program pemerintah tidak hanya jadi brosur. Kalau memang benar Rp200 triliun sudah “dimasukkan ke cobek”, mari kita tunggu: apakah rasanya bisa bikin segar atau justru bikin perut mulas. Ekonomi memang seperti rujak. Kalau bumbunya pas, semua ikut lahap. Kalau salah racik, jangan-jangan malah bikin Solo gelap.

Sadewa 19
PPh DIHAPUS Saya sujud syukur, Alhamdulillah kmrn diumumkan PPh akan dihapus.Gaji semua karyawan akan nett tanpa potongan pajak, mulai September ini. Yuhui…kami semua bersorak.Pajak yg tiap bulan dipotong 2 digit itu (bukan sombong ya, tapi emang segitu) akhirnya akan kembali ke tangan kami. Teman teman saya langsung punya rencana gila gilaan. Ada yg mau beli rumah, nambah KPR, ada yg mau buka usaha. Saya akan beli Denza, yg baru. Ekonomi kita akan meroket, sampai menembus lapisan ozon. Tepat di bulan September, seperti ramalan presiden ke 7 itu. Alhamdulillah, terima kasih Abah, berkat tulisan abah tentang Pak Menkeu yg baru, berkat demonstrasi kemaren, berkat para perusuh Disway. Akhirnya pemerintah kasih hadiah. Ini hadiah terindah selama saya jadi WNI. Indonesia terang benderang, tidak GELAP. “Pa, bangun! Kang Juned sudah manasin mobil dari tadi, nanti papa telat!!!” Suara istri menggelegar membangunkan saya. Oh God, ternyata ini mimpi belaka. Saya langsung bangun, mandi, dan lari kedepan garasi. Lagi2 saya kaget. Mobil Alphard saya masih yg lama. Belum berubah jadi Denza. OH sial (Ternyata saya msh mimpi, lha wong ke kantor masih naik MRT).Di depan rmh. Kang Juned, supir pribadi saya sudah menunggu. “Selamat Pagi Pak,” sapanya. “Pagi Kang” jawab saya sambil menyeka mata. Saya menatap mobil kang Juned. Ah akhirnya rasa sedih saya hilang. Itu bukan Alphard, bukan Denza itu Angkot tua. “Ayo Pak, nanti telat naik MRT nya!” Kang Juned terkekeh dibelakang kemudinya.

Taufik Hidayat
Wah kata rujak rupanya lagi top. Beberapa hari lalu Rujak Purbaya, sekarang rujak Solo. Rupanya memang ada hubungan kata dirujak dengan definisi rujak sendiri yang sebenarnya saya sudah tahu tapi harus dijelaskan oleh tukang rujak . Begini ceritanya .. Kemaren siang, saya jalan jalan ke Plered.. di dekat Museum Purbakala ada warung atau mungkin resto bakso. Di depannya mangkal tukang rujak.. ketika saya pesan, ibu penjualnya tanya mau lotek atau rujak… nah nah, kata lotek ini sebenarnya saya sudah tahu tapi sudah jarang saya pakai. Karena saya sempat sedikit bergilir, ibu tukang rujak menjelaskan.. kalau lotek cuma dipotong-potong buahnya, kalau rujak di uleg-uleg… he he ini bedanya kalau di jakarta ada rujak uleg dan rujak yang gak diuleg alias rujak potong. Di Jawa gak usah dijelaskan cukup dengan rujak dan lotek. Jadi kalau istilah rujak solo atau rujak Purbaya maksudnya adalah gaya Jawa yah pake diuleg? He he he …

prieyanto
Rujak Judi, “Membaca ‘Rujak Solo’ hari ini, pikiran saya langsung melayang pada ‘Judi Ferry’ dari tulisan kemarin. Dua dunia yang berhadap-hadapan itu seperti metafora yang sempurna untuk pilihan yang kita hadapi tiap hari. Dari judulnya saja tanpa melihat isi ‘Judi Ferry’ mewakili ilusi keberuntungan instan—gelap, berisiko, dan mengoyak tenaga. Sementara ‘Rujak Solo’ adalah perlambang kearifan yang membumi: legit, nyata, dan penuh harmoni dari banyak rasa yang akhirnya berpadu. Hidup ini memang tak lepas dari unsur ‘judi’; ada risiko dan ketidakpastian yang harus diarungi. Namun, di situlah ‘rujak’ hadir sebagai penyeimbang—pengingat akan tradisi, ketekunan, dan hal-hal konkret yang bisa dinikmati bersama, bukan untuk dimenangkan sendiri. Pada akhirnya, mungkin kita memang perlu lebih sering ‘makan rujak’: melakukan hal-hal yang jujur, membumi, dan penuh rasa—agar tak mudah tergoda ‘naik ferry’ kelam yang menjanjikan laut tenang, tapi justru menghempaskan kita ke tengah badai. Terima kasih Abah, untuk dua catatan yang menjadi cermin begitu dalam. Seperti rujak, mengenyangkan sekaligus menyegarkan pikiran.”#prie

Agus Suryonegoro III – 阿古斯·苏约诺
SRI MULYANI VS PURBAYA: RAJUK DAN RUJAK.. Bagi orang “non-ekonomi,” melihat Sri Mulyani dan Purbaya seperti menonton dua chef: Sama-sama masak ekonomi, tapi resepnya kok beda jauh. Kalau ditelusuri, ada alasannya. PERTAMA, soal sekolah. Sri Mulyani dari awal S1, S2, S3 murni ekonomi. Lurus, konsisten, dan disiplin. Purbaya lain lagi: S1 teknik, baru S3 ekonomi. Jadi pikirannya sudah “diracuni” (atau diperkaya?) logika teknis sebelum masuk ke teori ekonomi. Hasilnya: gaya analisisnya suka loncat-loncat, tapi justru segar. KEDUA, pengalaman. Sri Mulyani lama hidup sebagai dosen dan bankir. Dunia akademis dan perbankan membentuk karakternya hati-hati, terukur, dan penuh rujukan angka. Sedangkan Purbaya lebih lama jadi konsultan dan pengamat. Akibatnya, dia terbiasa ngomong ceplas-ceplos, kayak bikin rujak: potong, ulek, campur, jadi. KETIGA, sifat. Sri Mulyani itu “rajuk”—lebih elegan, kadang terlihat kaku tapi penuh wibawa. Purbaya? Ya, “rujak”—pedas, manis, asem, dan sering bikin kaget, tapi bikin segar. Dua-duanya dibutuhkan. ### Ekonomi butuh rajukan yang rapi. Tapi sesekali juga perlu rujakan yang “pedas” biar darah mengalir lebih cepat. ### Darah kental, rawan darah tinggi dan stroke. Perlu obat, minimal, pengencer darah. Kalau perlu ditambah Amlodipin..

Hasyim Muhammad Abdul Haq
Kalau Sri Mulyani adalah ahli kungfu shaolin, maka Purbaya adalah ahli kungfu jalanan yang menguasai Jurus Mabuk. Meski bukan jurus dari shaolin, tapi -kata film Jacky Chan- Jurus Mabuk bisa mengalahkan berbagai jurus kungfu yang hebat-hebat. Jurusnya tak bisa dibaca lawan, juga kawan. Kelihatan lemah dan mundur, tapi ternyata kuat dan bisa tiba-tiba maju menyerang. Mungkin Presiden sudah merasa perlu jurus ekonomi yang sulit ditebak. Kita tahu, Presiden Prabowo itu orang yang beraliran nggak suka sama pasar modal sebagai acuan. Baginya pasar modal itu tempat orang cari untung dari harga saham, bukan gambaran ekonomi yang sesungguhnya. Nah, jurus mabuk jelas tidak begitu disuka dengan orang yang ada di pasar modal karena jadi “sulit menebak”. Kita sebagai rakyat sih tak terlalu peduli menterinya pakai jurus apa, yang penting “menang”. Hanya saja, -menurut filmnya Jacky Chan juga- kita perlu tahu bahwa untuk memakai jurus mabuk, pendekarnya harus mabuk beneran dulu.

Agus Suryonegoro III – 阿古斯·苏约诺
KESALAHAN 1998: DUA MESIN DIMATIKAN SEKALIGUS.. Pendapat Purbaya soal krisis 1997–1998 ada benarnya. Saat itu ekonomi kita memang seperti mobil mogok karena mesin moneter dan fiskal sama-sama dicekik. Suku bunga dinaikkan sampai 60% dengan tujuan menahan inflasi dan melindungi rupiah. Tapi di sisi lain, uang justru dicetak besar-besaran. Ini kontradiksi: pedal gas diinjak, tapi rem tangan ditarik. Hasilnya? Swasta mati, rupiah ambruk, dan krisis makin dalam. Analisa kritisnya, kebijakan waktu itu memang bukan sekadar “salah,” tapi lebih karena trial and error dalam kondisi panik. Indonesia saat itu minim pengalaman mengelola krisis besar. Bandingkan dengan negara lain, misal Korea Selatan bisa cepat pulih karena responnya konsisten—disiplin fiskal, reformasi struktural, dan dukungan politik yang solid. Purbaya menyebut “bukan bodoh, tapi belum berpengalaman.” Itu komentar yang adil dan bijak. Tapi kita juga harus ingat, ekonomi bukan sekadar teori. Saat krisis, faktor politik, kepanikan sosial, dan tekanan IMF ikut menambah rumit situasi. Pelajaran terpenting: jangan sampai kita mengulang resep yang sama. Mesin fiskal dan mesin moneter harus bekerja, dengan sinkron. Bukan saling cekik. Tapi saling dorong. Ekonomi ibarat mobil—kalau dua mesinnya “kompak”, barulah bisa ngebut tanpa oleng.

Denny Herbert
Di DPR Menkeu Purbaya bilang ekonomi kita kayak “dicekik”, karena duit negara banyak ngendap di BI, sementara rakyat lagi seret. Di ‘luar gedung”, banyak orang juga demo karena ngerasa pajak makin berat. Padahal kalau dipikir, tanpa pajak negara ini bisa lumpuh total. Siapa yang gaji guru, dokter, polisi, tentara? Siapa yang bangun jalan, rumah sakit, sekolah? Kalau semua diserahin ke swasta, bisa-bisa cuma yang kaya aja yang kebagian. Jadi masalahnya bukan soal ada pajak atau nggak, tapi gimana duit pajak itu dipakai. Harus transparan, adil, dan bener-bener balik buat rakyat. Biar orang bayar pajak nggak cuma karena terpaksa, tapi juga karena percaya. Akhirnya, pajak itu kayak darah buat negara. Kadang bikin kita ngeluh, tapi tanpanya, kita semua bisa mati pelan-pelan. Semoga pemerintah serius jaga kepercayaan rakyat, supaya pajak bener-bener jadi berkat, bukan beban.

Juve Zhang
Saran saya buat pemerintah beri bunga nol persen bagi pinjaman buat pabrik baru….harus benar benar pabrik baru bukan ekspansi….rawan manipulasi….benar benar pabrik baru beri kredit khusus nol persen….yakin ekonomi bisa agak panas lagi gak loyo …..wkqkq

heru santoso
Note 27 (catatan perjalanan)  . . . . . . .  .     . Hari masih pagi untuk berangkat ke Huishan ancient town: kota tua dinasti Ming. Pengennya nanti minum teh petang hari di pinggir canal sambil berbincang. Menikmati slow livingnya Wuxi. // Aku mampir dulu supermarket sekedar beli camilan atau buah. Eh sekalian cari sarapan agak siang. Menyusuri beberapa blok foodcourt, menambah langkah kaki. Pilihan jutuh ke bedak seafood yang belum ramai pengunjungnya. // Ups….kulihat tas kecil semacam dompet tertinggal meja. Teman setiaku bincang ke petugas resto, menginformasikan barang temuan tersebut. Dijawab singkat: “biarkan disitu saja, toh nanti yang punya akan mencari dan kembali kesini”. Tidak kuatir diambil orang lain. // Aku jadi teringat sepeda motor bagus yang terparkir dipinggir trotoar dekat tempat tinggalku di Hangzhou. Lokasinya agak sepi. Dibiarkan begitu saja. Beberapa minggu tetap disitu, dan belum dicuri. Setia menunggu pemiliknya sedang pulkam. // Menu pesenan sudah kutombol klik di HP. Sekalian bayar via Alipay. Sambil menunggu kulihat petugas resto sibuk menyiapkan menu. Lebih banyak untuk orderan pesan antar. Di meja sebelah berderet puluhan bungkus siap antar…eh jemput. Mas gofood berlalu-lalang datang antar. Celingukan, baca kode di layar HP dan pilah-pilah deretan bungkus makan itu. Ketemu: scan, ambil dan pergi. Tanpa sapa, tanpa kuatir salah ambil….. apalagi salah pesen nasi goreng yang dimakan hutan Kalimantan.

djokoLodang
-o– Selingan –Intermeso TERIMA KASIH Seorang suami mengalami kecelakaan mengerikan, sehingga wajahnya terbakar parah. Dokter mengatakan bahwa mereka tidak dapat mencangkok kulit dari tubuhnya karena ia terlalu kurus. Istrinya dengan penuh kasih menawarkan untuk mendonorkan sebagian kulitnyi sendiri. Namun, satu-satunya bagian yang cocok adalah dari bokongnyi — masalah yang agak rumit. Mereka berdua sepakat untuk merahasiakannya, dan dokter berjanji untuk tidak mengatakan sepatah kata pun. Setelah operasi, semua orang kagum dengan transformasi pria itu. Ia tampak lebih tampan dari sebelumnya. Wajahnya nampak berseri, terutama pipinya yang merona lamat-lamat merah segar. Suatu hari, dengan sangat terharu, ia berkata kepada istrinya: “Sayang, aku ingin berterima kasih atas semua yang telah kau lakukan untukku. Apa yang harus kulakukan guna menunjukkan rasa syukurku padamu?” Istrinya tersenyum dan menjawab, “Sayangku, … kamu tidak perlu berbuat apa-apa. Aku sudah mendapatkan semua rasa terima kasih yang kubutuhkan setiap kali aku melihat ibumu mencium pipimu.” –koJo.-

Muh Nursalim
Kata Imam AL Ghazali dalam Ihya Ulumuddien. Uang itu seperti cermin. Dia tak punya warna tetapi bisa menggambarkan warna setiap barang yang ada dipepannya. Maksud sang maetro itu adalah. Bahwa uang itu sebenarnya tidak punya harga tetapi dapat menilai dengan harga setiap barang. Bahwa sandal jepit itu 15 ribu, sandal slop 100 ribu. Tapi dirinya sendiri sebenarnya tidak ada harganya. Ada lagi pemikiran beliau. Uang itu seperti kendaraan bukan seperti jalan toll. jalan tol tidak berguna bila tidak ada kendaraan yang lewat. Ijtihad pak Purbaya ini seperti pikiranya Al Ghazali. Biarkan uang beredar banyak agar jalan toll ada manfaatnya. Jangan-jangan menkeu juga sudah khatam ihya ulumuddien.

Bahtiar HS
Pak @Tom Rusdi Makasih Pak. Ya, orang procurement ya? Wkwkwkw. Maunya dapat sparepart sekarang, tp lead timenya masih lama. Apalagi pakai tender2an. Keburu aset terlalu lama down, dipakai tikus jadi rumahnya. Nambah kerjaan. Makanya orang engineering suka potong kompas: “direct purchase”. Nggak pakai inventory2an yg nunggu barang datang. Kalau perlu, langsung beli. Pasang. Asset up. KPI engineering bagus. Habis perkara. Bayare piye? Urusan orang finance :))

Wilwa
@Bahtiar. Tergantung software yang dipakai sih. Tapi makin hari mestinya makin canggih. Makin real time. Makin user friendly. Makin nyambung dengan operasional. Makin nyambung dengan orang “engineering”. Setidaknya AI akan berperan banyak dalam hal ini. Mungkin kita di sini belum merasakannya/menikmatinya. Tapi siapa tahu Tiongkok atau USA sudah ada yang menikmati teknologi AI yang bisa nyambungin Financial dengan Engineering? Misalnya Xiaomi yang bisa bikin EV Car satu biji satu menit? Mestinya software engineering/robotic dan financial/accounting lebih canggih dari pabrikan mobil yang masih manual. Who knows?

Bahtiar HS
Purbaya vs Sri Mulyani mkn spt org engineering di perush “asset intensive” (yg mati hidupnya tergantung asetnya produktif/gak) vs org finance. Itulah yg sy temui di lapangan. Sbg org IT yg implement aplikasi Asset Management di Engineering, tujuan utamanya adl bgmn tiap aset punya lifecycle panjang. Kalau bs gak pernah down. Krn itu mesti kelola planned maintenance maupun unplanned, spt corrective/breakdown. Maka di engineering, yg penting kalau ada aset down/mau down, bagaimana segera bs diantisipasi spy jalan lagi. Kalau nggak, ganggu produksi. Perush jadi kering krn gak dpt revenue. Beda di finance. Selisih Rp 1 sj harus dicari sampai ketemu. Mknya kerjaan paling nyita waktu, tenaga, dan emosi adl ketika tiap akhir bulan hrs rekonsiliasi lap keuangan. Kaitannya dg engineering: lap inventory yg dipakai utk maintenance aset. Ini jelas buang waktu, buang tenaga –kata org engineering. Tp kalau nggak sama, lap keuangan jadi unbalanced. Dan itu aib bg finance. Krn itu, sering gak ketemu. Org engineering maunya yg praktis, serba cepat, langgar2 dikit, selisih2 dikit gpp. Tp aset ok. Tp org finance maunya ikut SOP, betul2 pas, gak ada selisih sesen pun. Balanced. Org engineering maunya entri data nanti terakhir aja gpp. Yg penting aset up dulu. Org finance pengin real time. Sebab ganti hari beda exchange rate. Mrk paling gak suka entri back-date. Pusing. Purbaya kyknya org engineering. Cowboy. Kita lihat aja, apa “aset negara” yg down bs segera up gak?

Udin Salemo
selamat pagi pak Mario, jaksa azam “ngebor” barang bukti 11,7 ember. wow… sekali ngebor langsung kaya tajir melintir. walaupun dapat hukuman sembilan tahun, keluar penjara selesai menjalani hukuman masih tetap kaya raya. kalau hartanya tak dirampas negara. asiiiiiikkkk jadi pejabat negara pak Mario, hahaha….

Liam Then
Semasa zamannya Pak Jokowi, adalah kenaikan cukai rokok gila-gilaan. Demografi perokok Indonesia itu dominan kalangan menengah kebawah, yang menengah atas biasanya lebih bisa kontrol kebiasaan merokok mereka. Imbas kenaikan cukai rokok, duit kalangan menengah kebawah ambles jadi asap. Hasil tarikan cukainya masuk ke proyek infrastruktur yang mendem modal lama. Entah, apakah ini ada pengaruh juga ke lesunya kondisi ekonomi golongan ekonomi menengah ke bawah. Gegara cukai rokok yang gila-gilaan. Rokok “murah” bermunculan hehehe….

Warung Faiz
Sebagai pedagang saya mengharapkan uang beredar bertambah,sehingga omset bisa naik kembali..sebenarnya agak mengherankan,pas covid dulu omset saya justru naik..jangan2 karena gencarnya bansos,sementara bansos itu dr hutang di “BI”..dan sekarang ini duitnya lg ditarik kembali biar tdk terjadi inflasi..memang perlu kehati2an..likuiditas yg disebar akan bagus kalo pdbnya naik,tapi kalo tak hati2 mengelolanya maka akan terjadi inflasi..

Jokosp Sp
Pajak yang asli. Yang resmi dikeluarkan Pemerintah dinaikkan. Pajak yang tidak resmi……..?. Waduh-waduhhhhhhh…..,ampyun-ampyunnnnn luar biasa besarnya. Bukan hanya yang ngaku preman, lsm, dan organisasi yang memang pekerjaannya malak. Pemalak yang sudah punya NIP dan Pangkat juga ngalah-ngalahin preman sebenarnya. Bingungnya pengusaha : masak jadi pengusaha malah dijadikan ATM mereka. Dari ngurus ijin sampai sudah beroperasi mingguannya, bulanannya, tahunannya……, ampyun sulitnya berusaha di negara yang katanya beragama ini.

Jokosp Sp
Di saat ekonomi seret itu Pemerintah justru menyedot pajak lebih banyak. Uangnya masuk BI. Mandeg di situ. “Kalau uangnya kembali beredar sih tidak apa-apa”, katanya. Ini juga pernyataan yang salah. Masyarakat yang sedang tercekik ekonominya kok malah pajak dinaikkan gila-gilaan, padahal buat makan saja lagi susah. Ini namanya kebijakan yang ngawur. Males mikir, males berusaha mencari peluang lain, atau bahkan membenahi kebocoran di dalam Kementerian Keuangannya ( Pajak, Bea Cukai, Pelabuhan ). Bu Sri memang tidak pernah mendengarkan suara rakyat. Contoh pabrik rokok mau kolappun tidak ada kebijakan yang bisa membantu mereka, padahal ribuan tenaga kerja terancam di PHK. Malah yang dilakukan terus meningkatkan pajak. Terus melakukan pemerasan pajak ke rakyat. Inilah ilmu yang didapatkan dari Paman Sam. Dan kebijakan ekonomi yang dikeluarkan selalu mengikuti mereka ( jadi antek ) dengan terus meningkatkan hutang. Hutang dan hutang lagi. Parah sekali apa yang harus diterima bangsa dan rakyat ini. Harus terus jadi Menteri Keuangan beberapa Presiden dengan prestasi tetap sama : meningkatnya hutang luar negeri. Amsiong lagi. Di mana penilaian Menteri berprestasinya?.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button