Erros Kanan

INDOPOSCO.ID Terbang ke Syria Minggu pagi lalu saya hanya membawa satu buku: 75 Tahun Erros Djarot. Yakni kumpulan tulisan kenangan dari teman-temannya yang banyak itu.
Enaknya membaca buku seperti ini tidak harus runtut dari halaman pertama. Saya mulai dari tulisan kakaknya: Slamet Rahardjo. Begitu istimewa hubungan kakak-adik ini.
Saya membayangkan bagaimana jika salah satunya nanti meninggal dunia: yang masih hidup akan seperti orang berjalan yang tanpa bayangan.
Hubungannya dengan Erros memang ia gambarkan seperti orang dan bayangannya. Tidak mungkin orangnya berjalan ke selatan bayangannya berjalan ke utara.
Dalam istilah lain hubungan keduanya seperti Slamet Rahardjo dan Teuku Umar dalam film Tjoet Nja’ Dhien. Film itu disutradarai adik Teuku Umar: Erros Djarot.
Film itu monumen abadi bagi Erros di dunia sinema. Sekali bikin film, Erros sukses luar biasa. Demikian juga ketika sekali bikin lagu: Badai Pasti Berlalu.
Secara pribadi lagu itu telah membuat saya tegar dan optimistis. Setiap kali terkena badai saya selalu teringat: badai pasti berlalu. Kebetulan ada pepatah Tiongkok yang senada dengan itu: “mendung setebal apa pun tidak akan pernah bergelayut di satu tempat sepanjang waktu.”
Tentu antara badan dan bayangan tidak akan sama persis. Pun Slamet dan Erros. Slamet tidak pernah terjun ke dunia politik. Sedang Erros tergolong sutradara dalam perpolitikan.
Itu diuraikan dengan sangat baik oleh Laksamana Sukardi di bagian tengah buku. Bagi yang ingin tahu pasang naiknya Megawati Soekarnoputri beberapa bagian di buku ini menceritakannya.
Erros dan Laks senasib: seperti kulit yang terpisah dari kacangnya ¬¬–sama-sama terpisah dari Megawati.
Peran Laks juga besar di balik Megawati –tapi Laks mengakui peran Erros lebih dominan. Laks diperlukan kalau sudah menyangkut ekonomi.
Buku ini mengingatkan kesalahan saya saat menulis siapa saja ekonom lulusan ITB: seharusnya ada nama Laks di tulisan saya itu.
Bedanya Laks sempat menikmati hasil perjuangan itu. Ia pernah menjabat anggota DPR dan jadi menteri BUMN. Erros tetap menjadi Erros.
Begitu besar peran Erros menyutradarai penampilan Megawati –sejak masih ditindas oleh Orde Baru. Tapi Erros langsung tersingkir saat Megawati terpilih sebagai wakil presiden.
“Ajudan” istimewa Megawatilah yang disebut sebagai pemisahnya: Taufiq Kiemas –suami Megawati saat itu.
Akses Erros ke Mega langsung diputus. Mega, menurut buku itu, sadar akan situasi baru itu, tapi tidak bisa mengubahnya.
Padahal sebelum itu Mega selalu konsultasi dengan Erros. Dalam komunikasi itu nama Erros disamarkan dengan kode Si Kumis –agar tidak diendus intelijen penguasa. Yang dimaksud Si Kumis tentu Erros meskipun Slamet Umar juga berkumis yang sangat mirip.
Tidak hanya Erros dan Laks yang tersisih dari dunia baru Megawati. Pun Kwik Kian Gie. Kabinet Presiden Megawati, tulis Laks, justru dipercayakan pada kelompok “Mafia Berkeley-nya Orde Baru” –yang dulu memusuhi mereka.
Erros memperjuangkan awal kebangkitan Megawati juga lewat media. Dan sekali menjadi orang media, Erros juga luar biasa: mendirikan tabloid Detik. Khusus membahas politik –justru di saat bicara politik masih sensi. Ia berani melawan arus. Sukses besar. Oplahnya terbesar. Lalu dibredel bersama TEMPO dan Editor.
Di kemudian hari, nama Detik dipakai untuk Detik.com. Yakni ketika mantan pemimpin redaksi tabloid Detik Budiono, mendirikan Detik.com. Sukses. Pun secara finansial. Ketika nama Detik.com sudah sangat besar Budiono menjualnya ke grup Chairul Tanjung. Tetap terbesar. Pun secara komersial.
Satu-satunya yang Erros terjuni dan tidak sukses adalah ketika mendirikan partai politik sendiri: Partai Nasionalis Bung Karno (PNBK). Atau nama resminya Partai Nasional Banteng Kemerdekaan. Banyak aktivis tergabung ke partai itu. “Aktivis binaan saya pun banyak yang ke PNBK,” tulis Jumhur Hidayat di bagian lain buku ini.
Maka Erros seperti tersingkir dua kali: dari PDI-Perjuangan dan dari perpolitikan pada umumnya. Penyebabnya sama: permainan uang. Partainya gagal lolos ke Senayan karena kalah dengan permainan uang dalam bisnis suara di Pemilu. Secara pribadi ia ”kalah” di PDI-Perjuangan karena satu konglomerat tidak suka Erros berpengaruh atas Megawati dan partai politik.
Erros digambarkan oleh Butet Kartaredjasa sebagai pejuang ideologi Marhaenis sejati. Sukarnois yang Marhaenis.
Butet sendiri mengaku juga bermarhaen dari mentor yang sama dengan Erros: Bagong Kussudiardjo, bapaknya yang juga Marhaenis.
Sebagai Marhaenis sejati, Erros sampai masa tuanya sekarang ini masih ikut terjun ke lapangan. Lihatlah kiprahnya dalam membela rakyat di kasus Pantai Indah Kapuk (PIK-2).
Tentu saya baca juga tulisan para mantan awak Detik. Sastrawan terkemuka AS Laksana ternyata pernah jadi penulis pemula di media itu.
Seperti umumnya tokoh politik, Erros juga rajin membina kader. Arif Afandi, mantan pemred Jawa Pos, menjadi saksinya.
Saat Arif masih berkantor di Yogyakarta, Erros selalu ke kantornya. Diskusi apa saja dengan anak-anak muda di Yogyakarta. Arif memberikan gelar ke Erros sebagai ”kakak pembina”.
Hubungan dekat itu yang membuat Arif bisa jadi saksi: betapa Erros berperan besar menjadikan Megawati kali pertama sebagai ketua umum PDI. Yakni di Kongres PDI di Surabaya –yang oleh penguasa saat itu dianggap illegal.
Arif mengikuti Kongres itu dari dekat karena ada Erros di situ. Erroslah yang menghubungi banyak jenderal. Juga pusat-pusat intelijen. Agar Megawati bisa diterima sebagai kenyataan politik yang baru.
Membaca buku ini saya mendapat pelajaran sekali lagi: pergerakan memerlukan peran tangan kanan dan kiri dan setelah berhasil tangan kanan itu dipotong sendiri oleh yang menikmati keberhasilan itu. (Dahlan Iskan)