Ajar Anak Putus Sekolah Demi Indonesia Cerah

INDOPOSCO.ID – Sekolah menjadi ujung tombak kemajuan sebuah negara. Karena lembaga itu mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan.
Pada umumnya, tenaga pengajar di sekolah adalah orang yang berprofesi guru. Namun berbeda di Kecamatan Tirtayasa, ada anggota Polisi yang mewakafkan dirinya menjadi pengajar.
Yang menarik, proses belajar mengajarnya itu bukan pada sekolah negeri atau swasta di bawah Yayasan. Tetapi, sekolah biasa yang sengaja dibangun oleh dirinya dan tokoh masyarakat dengan cara gotong royong.
Sosok Polisi itu bernama Bripka Humaedi. Pria yang kerap disapa Medi itu berkedudukan sebagai Babinkamtibmas di Polsek Tirtayasa, Polres Serang, Polda Banten.
Pria Kelahiran Serang 14 November 1986 itu merupakan lulusan Bintara. Mengawali karirnya sebagai abdi negara, Medi bertugas di Polres Lebak. Kemudian di Polsek Cileles, Penmas Polda Banten, Polres Serang, dan Polsek Tirtayasa.
Baca Juga : Dindikbud Banten Larang Kantin Buka di Sekolah, Ini Alasannya
Sejak akhir tahun 2015, tugasnya sebagai Babinkamtibmas selalu aktif berkomunikasi dengan masyarakat, untuk menjaga ketertiban dan keamanan desa.
Medi mengaku inspirasinya mengajar itu bagian dari panggilan hati karena lulusan strata satu (S1) di STIT Serang dan S2 di Universitas Islam Negeri (UIN) Banten.
“Setelah punya background, apa yang harus saya lakukan untuk masyarakat. Ispirasi mengajar memang suka dengan pendidikan. Saya pernah di pesantren di Tasik, di Pandeglang,” katanya saat ditemui di sela-sela tugasnya di Polsek Tirtayasa, Rabu (10/11/2021).
Ditambah pada saat itu, ada tokoh masyarakat dari Tirtayasa yang melporkan kehilangan ke Polsek. Berdasarkan diskusi yang panjang, di daerah itu terdapat beberapa anak muda yang putus sekolah.
Baca Juga : DKI Harapkan Vaksinasi Anak 6-11 Tahun Bisa Dilaksanakan di Sekolah
Bahkan akibat tidak terdidiknya, hingga melakukan tindak pidana ringan. Kondisi itu membuat resah masyarakat. Di sisi lain, rasa miris terasa lantaran usia remaja harusnya dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah.
“Awalnya ada laporan kehilangan dari masyarakat. Terus tokoh masyarakatnya bilang, ada anak-anak yang sering naik motor ugal-ugalan, di suruh sekolah nggak mau,” ujarnya.
Setelah melakukan pengamatan di wilayah kerjanya, Medi menemukan anak remaja yang kerap nongkrong di jam-jam sekolah. Ternyata mereka hanya tamatan Sekolah Dasar (SD) dan tidak meneruskan lantaran keadaan kurang mampu dan anak yatim piatu.
Kondisi itu membuat hatinya tergugah. Panggilan untuk mengajar langsung tumbuh dalam dirinya. Usai diskusi dengan tokoh masyarakat, akhirnya anak-anak remaja itu dikumpulkan diajar.
“Dari situ kita temukan banyak anak yang putus sekolah. Terus tokoh agama mengumpulkan,” tuturnya.
Pembukaan anak-anak putus sekolah awalnya menumpang di salah satu bangunan SD. Tidak berselang lama, mereka harus pindah.
Kemudian, akhirnya ada salah satu tokoh masyarakat yang memiliki Pondok Pesantren (Ponpes) mengizinkan untuk menumpang. Hingga akhirnya bergotong royong buat membuat dua ruang kelas khusus.
Sekolahnya itu kini diberi nama Salsabila. Ada dua jenjang sekolah yakni Madrasah Tsanawiah (MTS) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
“Tempat pertama di SD minjam tempat. Tapi pernah diusir, nggak boleh setelah berjalan. Akhirnya ditampung di Ponpes, kita di situ dapat kelas. Udah lama akhirnya membangun sekolahan dua kelas,” paparnya.
Pembuatan sekolah hasil gotong royong itu, tak semulus sekolah pada umumnya. Karena anak-anak harus belajar di lantai lantaran tidak memiliki kursi.
Demi memberikan fasilitas yang nyaman, Medi membobol sebagian tabungannya untuk membelikan kursi dan meja bekas di Pasar Kalodran. Mobil Patroli Polsek Tirtayasa dibajak untuk mengangkut kursi dan meja.
“Jadi sekolah seadanya di lantai. Saya motivasi agar semangat belajar. Kursi dan meja juga kita beliin kursi bekas. Saya apaki mobil Patroli beli ke Kalodran,” ungkapnya.
Ia menerangkan, mata pelajaran yang diajarkan kepada muridnya disesuaikan dengan kurikulum sekolah pada umumnya. Untuk mendapatkan legalitas, sekolah yang dibuatnya diindukan kepada sekolah negeri.
Dengan waktu berjalan, ketulusannya itu menular kepada orang lain. Ada 15 orang yang berprofesi guru rela mengabdikan dirinya untuk mengajar di sekolah yang dibangunnya. Mereka rela meluangkan waktu di sekolah lain demi berbagi ilmunya kepada anak yang putus sekolah.
“Ngajar apa saja, tapi untuk pembelajaran anak sesuai kurikulum. Untuk kelas satu ini, untuk kelas dua ini. Bahkan kita nampung SMK juga. Kita tetap ngajar, tapi kita salurkan ke sekolah induk, nama-nama dimasukan biar ada legalitas. Suatu saat UN (Ujian Nasional) bisa ikut ujian,” terangnya.
Usai melihat anak didiknya lulus Sekolah Lanjut Tingkat Atas (SLTA), hanya ada kebanggaan di hatinya. Bukan kepada dirinya, melainkan ilmunya bermanfaat untuk orang lain.
Dari data yang ada, 35 anak didik yang diajarnya ada yang meneruskan ke perguruan tinggi satu orang. Sisanya kerja menjadi buruh dan wiraswasta untuk menghidupi keluarganya.
Perjuangannya selama ini terbayarkan dengan mengantarkan anak didiknya menuju tantangan hidup yang baru.
“Seneng liat yang kita didik bisa tamat sekolah. Yang kuliah satu orang, yang lainnya kerja,” ucapnya.
Hanya satu pesan yang disampaikan kepada anak didiknya, agar tidak pernah merasa cukup untuk belajar. Sebab Indonesia menjadi negara kuat, dimulai dari anak muda yang cerdas, inovatif, kreatif, dan pekerja keras.
“Kalau kita hanya memikirkan satu tahun ke depan, tanamlah bibit. Kalau 10 tahun ke depan, tanam pohon. Kalau ingin melihat negara satu abad ke depan, didiklah manusianya,” tutupnya. (son)