Pakar Nilai Amnesti dan Abolisi sebagai Alat Konstitusional Presiden Beri Pengampunan

INDOPOSCO.ID – Pakar hukum tata negara dari Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid berpendapat instrumen hukum amnesti dan abolisi merupakan alat konstitusional presiden untuk memberikan pengampunan.
Menurutnya, kedua alat konstitusional amnesti dan abolisi harus dipandang sebagai salah satu hak konstitusional setiap terpidana.
“Secara terminologi, hal ini dalam rangka penegakan, pemenuhan keadilan, dan perlindungan hak asasi manusia,” ujar Fachri dalam keterangan tertulis di Jakarta, dilansir Antara, Jumat (1/8/2025).
Sementara secara filosofis dan teoritis, kata dia, keberadaan lembaga amnesti dan abolisi secara eksplisit dikonstruksikan oleh norma dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Kemudian secara tradisional, dirinya menilai pranata atau kekuasaan presiden untuk memberi pengampunan telah dilembagakan dalam berbagai sistem pemerintahan.
Dikatakan bahwa hal tersebut berasal dari tradisi dalam sistem monarki Inggris di mana raja dianggap sebagai sumber keadilan sehingga kepadanya diberikan kewenangan itu.
Ia menjelaskan hal itu dikenal sebagai hak prerogatif eksekutif (executive prerogative) dalam bentuk hak untuk memberi pengampunan kepada warganya yang telah dijatuhi pidana, sehingga prinsip tersebut telah berangkat dari basis filosofis dan sosiologis yang kokoh.
Untuk itu terhadap kebijakan Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada Menteri Perdagangan periode 2015-2016 Tom Lembong dan amnesti kepada Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, Fahri menilai hal tersebut berpijak serta berbasis pada prinsip kepentingan publik yang objektif dan mendalam, yang telah mencakup dimensi stabilitas nasional serta pencegahan perpecahan di dalam masyarakat.
Presiden, kata dia, tentunya telah mengkalkulasi berbagai aspek dan elemen signifikan terkait dengan kepentingan negara yang jauh lebih besar dan holistik untuk sampai mengeluarkan deklarasi moral dan konstitusional atas kedua produk kebijakan elementer tersebut, yaitu amnesti dan abolisi.
Ia juga menyimpulkan sikap Presiden terkait kebijakan hukum dan politik itu telah berangkat dari prosedur dan mekanisme ketatanegaraan yang konstitusional, yang mana abolisi dan amnesti sebagai sebuah legal declaration (deklarasi hukum), telah melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memenuhi kaidah check and balance (memeriksa dan meyeimbangkan) agar presiden dapat memperhatikan pertimbangan DPR (council considerations).
Dirinya menguraikan dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan, hampir semua rezim pemerintahan, mulai dari era orde lama, orde baru, maupun era reformasi sampai dengan saat ini, telah menggunakan hak konstitusional presiden dalam berbagai perkara dengan baik dan efektif.
Dengan demikian, disebutkan bahwa penggunaan instrumen alat konstitusional amnesti dan abolisi telah menjadi bagian dari sejarah panjang republik ini.
“Dari masa Presiden pertama RI Soekarno hingga era reformasi dan pemerintahan sekarang, mekanisme ini digunakan sebagai instrumen politik dan hukum untuk mengelola konflik politik serta mengoreksi praktik hukum yang menimbulkan ketidakadilan,” ucap dia.
Adapun abolisi merupakan hak yang dimiliki kepala negara untuk menghapuskan tuntutan pidana dan menghentikan proses hukum jika telah dijalankan. Hak abolisi diberikan Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
Sementara amnesti merupakan pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan oleh kepala negara kepada seseorang atau kelompok yang telah melakukan tindak pidana tertentu.
Abolisi diberikan kepada Tom Lembong setelah divonis pidana 4 tahun dan 6 bulan penjara serta denda sebesar Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan, setelah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan, yang merugikan keuangan negara sebesar Rp194,72 miliar.
Sementara amnesti diberikan kepada Hasto Kristiyanto usai divonis penjara selama 3 tahun dan 6 bulan serta denda Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan setelah terbukti memberikan suap dalam kasus dugaan perintangan penyidikan dan pemberian suap. (dam)