KSPI Sebut Gelombang Ribuan Buruh di Daerah Tuntut Kenaikan UMP 2025

INDOPOSCO.ID – Empat konfederasi serikat buruh dan 60 federasi serikat pekerja di tingkat nasional, termasuk KSPI, KSPSI, FSPMI, SPN, FSPTSK, dan berbagai federasi serikat buruh lainnya melakukan aksi menuntut kenaikan upah minimum (UM) sebesar 8 – 10 persen.
“Kami menuntut kenaikan upah minimum sebesar 8-10 persen, tanpa menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023,” ujar Presiden KSPI yang juga Presiden Partai Buruh, Said Iqbal di Jakarta, Minggu (27/10/2024).
Menurutnya, aksi yang diawali pada hari Kamis 24 Oktober 2024 lalu, dan akan dilanjutkan pada Senin (28/10/2024) esok di berbagai wilayah industri, seperti Bekasi (Kota dan Kabupaten), Tangerang, Karawang, dan kota-kota industri lainnya. Ribuan buruh akan turun ke jalan menuju kantor bupati atau wali kota di wilayah-wilayah.
Menurutnya, aksi juga akan meluas ke berbagai kota industri di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Kepulauan Riau (termasuk Batam), Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT, dan wilayah timur Indonesia.
“Mogok nasional melibatkan 5 juta buruh di 15.000 pabrik di 38 provinsi dan 350 kabupaten/kota di seluruh Indonesia,” bebernya.
“Pemerintah harus segera memutuskan kenaikan upah minimum, sesuai dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi,” imbuhnya.
Iqbal menyebut, selama ini pemerintah selalu mengulang-ulang “argumentasi kaset rusak” dengan menyatakan bahwa perjuangan buruh tidak hanya tentang kenaikan upah, tetapi juga tentang kesejahteraan secara keseluruhan.
“Argumen ini sudah basi dan harus dibuang ke laut. Faktanya, tanpa kenaikan upah yang layak, buruh tidak mungkin mencapai kesejahteraan,” ungkapnya.
Iqbal menggarisbawahi bahwa struktur skala upah yang ada saat ini hanya berlaku untuk 10 persen buruh, sementara 90 persen lainnya tidak mendapatkan kejelasan.
Dikatakan dia, kebijakan upah yang ditolak oleh KSPI meliputi kenaikan upah di bawah inflasi yang dianggap sebagai “hukuman ekonomi.” Selain itu, kebijakan “batas bawah-batas atas” juga ditolak karena ini tidak diatur dalam undang-undang dan tidak memadai dalam melindungi buruh.
“Kebijakan ini jelas tidak berpihak pada buruh,” tegas Iqbal.
Indeks tertentu sebesar 0,1-0,3 persen yang diterapkan dalam perhitungan upah juga disebut Iqbal sebagai “bohong sepihak dari pemerintah” karena tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan hanya memperburuk kondisi buruh.
“Jika kenaikan upah di bawah inflasi, ini bukan kenaikan, melainkan menambah beban buruh. Kami siap melakukan mogok nasional jika pemerintah tetap menggunakan kebijakan upah yang tidak berpihak pada buruh,” ucapnya.
Menurut Iqbal, daya beli buruh telah menurun selama lima tahun terakhir akibat tidak adanya kenaikan upah yang memadai, yang berdampak langsung pada penutupan berbagai industri, termasuk tekstil dan garmen. (nas)