DPR: Sektor Pendidikan Investasi Masa Depan, Bukan Bisnis Negara

INDOPOSCO.ID – Kontroversi mahalnya uang kuliah tunggal (UKT) hingga berujung adanya laporan kepolisian oleh Rektor Universitas Riau (Unri) terhadap mahasiswanya karena memprotes mahalnya biaya kuliah tersebut mendapat perhatian serius dari Komisi X DPR RI.
Anggota Komisi X DPR RI Andreas Hugo Pareira masalnya yang menegaskan tindakan Rektor Unri angkat bicara mengenai sikap Rektor Unri tersebut mencerminkan kampus yang tidak hanya komersialisasi tapi juga sudah kriminalisasi.
“Rekor Unri baperan. Justru kita harus memperoleh koreksi seperti ini. Karena dunia kampus memberikan kesempatan untuk mengekspreksikan pendapat atau bahkan pandangan yang berbeda sekalipun,” ujar Andreas dalam pernyataannya sebagaimana dikutip dari laman DPR RI, Minggu (12/5/2024).
Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu menegaskan justru pandangan kritis yang berkaitan dengan masa depan mahasiswa itu sendiri mencerminkan sesuatu yang bagus. Karena itu, tegasnya, kampus harus mau mendengar.
“Ada beberapa kampus yang bahkan pihak dekanat atau rektorat turun langsung untuk mau mendengar, sehingga tidak sampai dari komersialisasi berubah jadi kriminalisasi,” pungkasnya.
Diketahui, belakangan Rektor Universitas Riau (Unri) Prof Sri Indarti mengaku dirinya telah mencabut laporan terhadap mahasiswa Khariq Anhar yang mengkritik uang kuliah tunggal (UKT). Dia mengungkapkan sudah berkoordinasi dengan Polda Riau untuk tidak melanjutkan laporan tersebut.
Sri mengaku tak berniat mengkriminalisasi Khariq. Dia membuka ruang kritik termasuk soal kebijakan uang kuliah.
Pendapat lainnya diutarakan oleh nggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah yang menyayangkan sikap Pemerintah Indonesia karena memutuskan untuk melakukan kapitalisasi perguruan tinggi.
Sebab itu, ia mengingatkan negara seharusnya hadir memberikan kemudahan akses pendidikan untuk mencerdaskan bangsa, bukan untuk sekadar memenuhi kebutuhan pasar.
Ia mengingatkan bahwa perguruan tinggi, khususnya Perguruan tinggi negeri (PTN) merupakan investasi negara terhadap tumbuh kembang masa depan generasi bangsa, bukan bisnis negara.
“Lihat sekarang (kondisi pengelolaan institusi pendidikan tinggi), kita bisa membayangkan. Perguruan tinggi negeri seharusnya bergerak di sektor akademis, bukan bisnis, tapi sekarang mereka harus berpikir bagaimana menghidupi bidang usahanya supaya (perguruan tinggi) hidup. Kalau tidak berhasil, semua operasional dibebankan kepada mahasiswa,” ungkap Ledia.
Di sisi lain, Politisi Fraksi PKS itu menyoroti soal desain pendidikan di Indonesia yang dinilai tidak matang direncanakan dan diantisipasi oleh pemerintah.
Jika ingin menciptakan ekosistem perguruan tinggi yang mandiri, menurutnya, desain tersebut disusun secara komprehensif dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait dan berlandaskan pada nilai yang diamanatkan oleh UUD 1945.
“Jika tidak berhasil, (manajemen perguruan tinggi) berarti menaikkan biaya kuliah kepada mahasiswa. Opsi ini seharusnya pilihan ke terakhir. Seharusnya, pemerintah melakukan antisipasi kalau ingin membuat kampus bisa mandiri. Kalau begini, bisa dikatakan bahwa desain (pendidikan) ini sebenarnya tidak matang,” terangnya.
Agar permasalahan UKT ini tidak berlanjut membebani mahasiswa, , Ledia mengingatkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) harus mengawasi implementasi regulasi penentuan nilai harga satuan biaya operasional pendidikan di PTN
“Jika regulasi itu tidak diawasi, maka dikhawatirkan akses memperoleh pendidikan tinggi di Indonesia semakin sulit dijangkau, khususnya bagi masyarakat yang memiliki status ekonomi menengah ke bawah,” ujarnya.
Seharusnya (penentuan nilai harga satuan biaya operasional pendidikan) dikontrol oleh pemerintah, apalagi perguruan tinggi ada bantuan operasional yang diberikan kepada kampus, di mana bantuan itu diberikan untuk perguruan yang berada di bawah Kementerian Pendidikan dan kebudayaan,” sambung Ledia.
Tidak hanya itu saja, lanjut wanita berjilbab itu juga mengusulkan agar manajemen perguruan tinggi memberdayakan badan usaha yang dimiliki agar beban operasional pendidikan tinggi tidak sepenuhnya ditanggung oleh mahasiswa. (dil)