Minim Anggaran dan Pustakawan, DPR Dorong Perpustakaan Mandiri

INDOPOSCO.ID – Anggota Komisi X DPR RI, Sabam Sinaga, menyoroti rendahnya tingkat literasi nasional yang hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah besar bangsa. Ia mengingatkan, keterbatasan anggaran, minimnya pustakawan, serta terbatasnya koleksi buku menjadi tantangan serius yang harus segera diatasi.
“Kita berharap angka partisipasi kita dalam hal literasi tinggi, tapi dari satu sisi kita dibatasi oleh anggaran. Untuk tahun 2026, anggaran Perpustakaan Nasional itu jauh dari yang kita harapkan. Sehingga program-program peningkatan literasi nanti entah bagaimana bisa dijalankan,” ujar Sabam dalam kunjungan kerja Komisi X di Kabupaten Hunung Kidul, Yogyakaeta, dikutip dari laman DPR RI, Jumat (26/9/2025).
Dalam kunjungan tersebut, Komisi X DPR juga menemukan sejumlah kendala di lapangan, antara lain kebutuhan pustakawan serta keterbatasan koleksi buku, termasuk di sekolah-sekolah. Menurut Sabam, hal ini perlu menjadi perhatian bersama, mengingat survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 yang dirilis OECD menempatkan Indonesia di peringkat 71 dari 81 negara dalam kemampuan literasi.
“Kalau bicara literasi Indonesia, kita tidak bisa hanya melihat dari Gunungkidul atau Yogyakarta saja, tetapi harus secara menyeluruh. Karena itu, pemenuhan SDM pustakawan dan ketersediaan buku perlu diperhatikan sebagai bagian dari solusi,” tegasnya.
Meski dihadapkan pada keterbatasan anggaran dan fasilitas, Sabam menegaskan bahwa upaya mencerdaskan bangsa tidak boleh berhenti. Ia mendorong adanya gerakan literasi berbasis masyarakat, salah satunya dengan membangun perpustakaan mandiri di sekolah maupun daerah.
“Bagaimanapun bangsa ini harus kita cerdaskan melalui gerakan-gerakan perpustakaan mandiri. Mungkin di beberapa sekolah atau daerah bisa dihimpun buku-buku untuk dibuat semacam perpustakaan mandiri, sembari nanti kita menunggu perhatian pemerintah untuk menambah anggaran perpustakaan,” jelasnya.
Sabam menambahkan, aspirasi masyarakat terkait minimnya fasilitas perpustakaan akan menjadi catatan penting untuk ditindaklanjuti Komisi X bersama pemerintah. Ia menegaskan, peningkatan literasi adalah pondasi penting dalam pembangunan pendidikan nasional.
“Komisi X akan terus mendorong agar kebutuhan dasar perpustakaan, baik tenaga pustakawan maupun ketersediaan buku, mendapat perhatian lebih serius,” pungkasnya.
Di tempat yang sama, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, MY Esti Wijayati, menyoroti rendahnya kesejahteraan pustakawan non-PNS yang hingga kini belum mendapatkan perhatian serius dari negara. Menurutnya, kondisi pustakawan yang berperan penting sebagai garda depan literasi masyarakat justru masih jauh dari layak.
“Memang pustakawan yang belum menjadi PNS itu pun kesejahteraannya juga masih sangat rendah, sehingga memang harus diperhatikan oleh negara. Mungkin hampir sama dengan guru-guru honorer,” ujar Esti.
Esti menilai pemerintah masih kurang menempatkan perpustakaan sebagai kunci penting dalam membangun budaya literasi. Padahal, hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 yang dirilis OECD menempatkan Indonesia di peringkat 71 dari 81 negara.
“Ini sebenarnya menunjukkan bahwa tingkat literasi masyarakat Indonesia perlu daya dukung yang tinggi,” tegasnya.
Ia mengapresiasi langkah Bupati Gunungkidul yang berkolaborasi dengan pemerintah pusat melalui penyelenggaraan festival literasi. Namun, Esti menekankan kegiatan tersebut tidak boleh berhenti pada satu momentum semata.
“Kalau bisa terus-menerus masuk ke dusun-dusun, masuk ke kampung-kampung supaya peningkatan literasi itu masuk di jaring-jaring masyarakat sampai di tingkatan bawah,” sebutnya.
Selain itu, MY Esti menyoroti drastisnya penurunan anggaran perpustakaan nasional yang dinilai dapat menghambat upaya penguatan literasi di daerah. Jika sebelumnya anggaran dapat mencapai Rp1 triliun, tahun 2026 anggaran tersebut dipangkas menjadi sekitar Rp300 miliar untuk seluruh Indonesia, bahkan tanpa dukungan Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik.
“Kalau dulu bisa sampai Rp1 triliun, Rp900 miliar saja kita sudah deg-degan. Kenapa hanya sedikit sekali? Sekarang dipotong hanya menjadi sekitar Rp300 miliar untuk seluruh Indonesia dan tidak ada DAK fisik. Ini pasti problem,” tegasnya.
Ia menjelaskan, anggaran perpustakaan sejatinya merupakan bagian dari pos pendidikan. Namun, adanya program lain yang dianggap lebih penting membuat alokasi anggaran untuk perpustakaan semakin tergerus.
“Mengapa tidak kemudian sedikit disisihkan untuk pos-pos penting? Kalau misalnya Rp300 triliun diambil Rp1 triliun, ini kan juga tidak seberapa sebenarnya. Tapi toh itu tidak bisa dilakukan walaupun kami sudah menyuarakan,” ujarnya.
Meski begitu, Esti menyatakan harapannya agar Presiden turut memberi perhatian terhadap kebutuhan anggaran perpustakaan. Ia mencontohkan keputusan Presiden yang menambah anggaran pendidikan sebesar Rp800 miliar dalam perubahan APBN.
“Kita berharap perpustakaan juga demikian. Pak Presiden mungkin bisa mendengar aspirasi ini, termasuk dari Gunungkidul yang luar biasa,” tandasnya. (dil)