Nasional

Greenpeace Menilai Turunnya Deforestasi Bukan karena Upaya Pemerintah

INDOPOSCO.ID – Greenpeace Indonesia menilai menurunnya deforestasi selama kurun waktu 2019-2021 lebih disebabkan oleh pandemi Covid-19 bukan karena upaya dari pemerintah.

Hal itu disampaikan Juru Kampanye Greenpeace Indonesia, Rio Rompas, menanggapi sejumlah pernyataan yang disebutkan oleh Presiden Jokowi, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim COP26 beberapa waktu lalu.

Presiden Jokowi menyebutkan, laju deforestasi turun signifikan terendah dalam 20 tahun terakhir.

Deforestasi di Indonesia justru meningkat dari yang sebelumnya 2,45 juta hektare (2003-2011) menjadi 4,8 juta hektare (2011-2019). Padahal Indonesia sudah berkomitmen untuk menekan laju deforestasi,” ujar Rio Rompas kepada Indoposco.id, Rabu (17/11/2021).

Rio mengatakan tren penurunan deforestasi dalam rentang 2019-2021, tidak lepas dari situasi sosial politik dan pandemi yang terjadi di Indonesia sehingga aktivitas pembukaan lahan terhambat.

“Faktanya dari tahun 2002-2019, saat ini terdapat deforestasi hampir 1,69 juta hektare dari konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan 2,77 juta hektare kebun sawit. Selama hutan alam tersisa masih dibiarkan di dalam konsesi, deforestasi di masa depan akan tetap tinggi,” kata Rio.

Baca Juga : Banjir Terjadi Karena Akumulasi Model Pembangunan yang Ekstraktif

Ia mengungkapkan deforestasi di masa depan, akan semakin meningkat saat proyek food estate, salah satu proyek Program Strategis Nasional (PSN) dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dijalankan. Akan ada jutaan hektare hutan alam yang akan hilang untuk pengembangan industrialisasi pangan ini.

Rio juga mengkritisi klaim kebakaran hutan turun 82% di tahun 2020.

Menurut Rio, penurunan luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2020 jika dibandingkan 2019 yang mencapai 296.942 hektare ini adalah angka kebakaran yang luasnya setara dengan 4 kali luas DKI Jakarta.

“Penurunan ini juga disebabkan gangguan anomali fenomena La Nina bukan sepenuhnya hasil upaya langsung pemerintah. Pemerintah tidak boleh menganggap sepele angka tersebut, sebab ongkos sesungguhnya harus ditinjau dari masalah kesehatan masyarakat, biaya penanggulangan, kerugian ekonomi dan kerusakan lingkungan yang sangat besar,” tegas Rio.

Rio meminta tingkat keseriusan pemerintah harus ditindaklanjuti dengan proaktif menyasar lahan gambut yang dieksploitasi atau dikeringkan oleh perusahaan yang berawal dari pemberian izin-izin pembukaan lahan di atas ekosistem lahan gambut.

Selain itu, lanjut Rio, pemerintah bisa mengevaluasi kebijakan sebelumnya yang melegalisasi atau mempercepat terjadinya degradasi gambut. Komitmen ini harus ditindaklanjuti dengan penindakan tegas dengan mencabut izin usaha dan ganti rugi pemulihan lingkungan sehingga memberikan efek jera, ketimbang sanksi administrasi yang lunak bagi perusak lingkungan.

Rio mengatakan, Indonesia sulit berharap terbebas dari karhutla tahunan dalam waktu dekat, pasalnya pemerintah masih bersikap permisif memberi kelonggaran kepada industri menggarap lahan gambut.

Penelitian Greenpeace Indonesia terbaru mengungkapkan hampir sepertiga dari Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) di 7 provinsi prioritas restorasi gambut, berada pada level kritis yang disebabkan penggunaan lahan untuk HTI dan perkebunan sawit skala besar. (dam)

Back to top button