Banjir Terjadi Karena Akumulasi Model Pembangunan yang Ekstraktif

INDOPOSCO.ID – Greenpeace Indonesia menilai banjir yang semakin intens terjadi di beberapa wilayah di Indonesia bahkan saat ini sedang terjadi di beberapa wilayah Kalimantan Timur (Kaltim), merupakan akumulasi dari model pembangunan yang ekstraktif terhadap sumber daya alam dan komoditas berbasis lahan secara luas.
Juru Kampanye Greenpeace Indonesia Rio Rompas, kepada Indoposco.id, Rabu (17/11/2021) menjelaskan model pembangunan ekstraktif ini telah dipraktikkan sejak zaman pemerintahan Soeharto hingga pemerintahan saat ini.
“Akibatnya, bencana-bencana hidrometeorologi semakin meningkat. Itu merupakan dampak dari krisis iklim,” ujar Rio Rompas.
Baca Juga : Kata Jokowi Seperti Ini Terkait Banjir yang Belum Surut di Kalbar
Menurut Rio, respons pemerintah terhadap fenomena bencana hidrometeorologi, justru tidak mengubah model pembangunan ekstraktif tersebut.
“Bahkan, di saat-saat terakhir ini misalnya, pemerintah masih mengesahkan Omnibus Law Cipta Kerja, di mana banyak sekali memangkas perlindugan lingkungan. Penegakan hukum dipangkas, bahkan batas minimum 30 persen daerah aliran sungai (DAS) itu dihilangkan,” tegas Rio.
Rio menjelaskan, Indonesia memiliki kharakteristik kepulauan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan berbasis DAS.
“Jika DAS dikonversi atau dibuka hutannya, maka akan berdampak terhadap bencana banjir termasuk ekosistem gambut juga berdampak pada kebakaran hutan. Itu dua bencana hidrometeorologi yang sering terjadi di daerah yang hutannya sudah habis, seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan saat ini mulai mengarah ke Papua,” kata Rio.
Baca Juga : Dampak Banjir, Ganjar Cek Rumah Pompa Antisipasi
Menurut Rio, fakta-fakta ini tidak pernah dievaluasi oleh pemerintah. Kendati, di atas kertas pemerintah telah mengeluarkan moratorium hutan dan lahan gambut, sejak 2011 sampai 2019 dipermanenkan oleh Presiden Jokowi.
“Effort pemerintah terkait deforestasi itu ada di kebijakan korporasi. Mereka (korporasi) melakukan deforestasi karena mendapat izin dari pemerintah. Jadi klaim Presiden Jokowi telah menurunkan deforestasi dan terendah selama 20 tahun terakhir ini perlu diuji. Apa sebenarnya effort pemerintah sehingga menurunkan deforestasi,” tegas Rio.
Rio menegaskan, kebijakan yang dipakai adalah moratorium hutan dan lahan gambut, karena, itu merupakan instruksi presiden dan tujuannya adalah menghentikan deforestasi hutan di Indonesia.
“Sehingga kami mencoba melihat selama berlakunya moratorium justru tidak efektif. Karena, faktanya deforestasi meningkat ketika moratorium itu dijalankan. Selama 2019-2020 memang deforestasi menurun. Namun, yang perlu dikaji setahun terakhir ini apa effort pemerintah?” tanya Rio.
Rio menjelaskan, deforestasi adalah kehilangan hutan. Menurunnya deforestasi selama setahun terakhir lebih disebabkan oleh pandemi Covid-19 karena perusahan mengalami kontraksi ekonomi sehingga tidak membuka lahan baru.
“Secara tidak langsung ada komitmen perusahaan untuk menerapkan No Deforestation, No Peat and No Exploitation (NDPE). Ini terjadi karena permintaan konsumen terhadap rantai pasok perusahaan-perusahaan itu tidak berasal dari praktik-praktik deforestasi,” katanya.
Rio mengatakan menurunnya deforestasi selama setahun terakhir, kalau melihat fakta yang ada, bukan karena effort pemerintah.
“Klaim bahwa keberhasilan pemerintah menurunkan deforestasi belum terbukti dalam konteks kebijakan,” pungkas Rio. (dam)