Pentingnya Nikah Terencana

INDOPOSCO.ID – Deklarasi Hak-hak asasi manusia (1948) menyatakan bahwa Pernikahan anak bagi laki-laki dan perempuan merupakan kekerasan terhadap hak asasi manusia. Untuk kedua belah pihak Pernikahan usia anak mempunyai dampak terhadap fisik, intelektual, psikologi, dan emosional. Pernikahan anak ditengarai menjadi salah satu penyebab perceraian, penyebab angka kesakitan akibat fungsi reproduksi yang belum siap dan angka kematian ibu serta lepasnya hak-hak anak untuk memperoleh pendidikan, memanfaatkan potensi ekonomi, menikmati masa untuk berkembang dan menyatakan identitas diri dan lain sebagainya.
Pernikahan usia anak juga menyebabkan pelaku terpaksa putus sekolah dan menghalangi perkembangan pribadi anak-anak tersebut. Anak-anak dalam hal ini perempuan dan laki-laki sudah harus dihadapkan pada kenyataan untuk memikul tanggung jawab sebagai ibu atau ayah. Pertumbuhan kejiwaan dan fisik dipercepat dengan adanya tanggung jawab tersebut.
Pernikahan anak masih banyak ditemui di seluruh dunia. Setiap tahunnya sebanyak 10 juta perempuan di dunia menikah pada usia kurang dari 18 tahun. Hal ini menyebabkan angka kematian ibu dan anak, penularan infeksi menular seksual, dan kekerasan semakin meningkat bila dibandingkan dengan perempuan yang menikah pada usia lebih dari 21 tahun.
Data saat ini mencatat bahwa sebanyak 18% penduduk dunia adalah remaja, sekitar 1,2 milyar jiwa. Remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-19 tahun menurut WHO. Rentang usia ini merupakan periode terjadinya pertumbuhan dan perkembangan yang pesat baik secara fisik, psiklogis, maupun intelektual.
Rasa ingin tahu yang tinggi dan keinginan untuk mencoba hal-hal baru merupakan ciri khas remaja. Hal tersebut tak jarang disertai dengan pengambilan keputusan yang ceroboh atau tidak berpikir panjang, seperti memutuskan untuk menikah muda/ pernikahan dini.
Pernikahan anak ini tidak dianjurkan karena ada beberapa alasan yang kuat, JIka terjadi kehamilan di usia masih muda, leher rahim yang berpotensi kanker masih terbuka. Serviks atau leher rahim adalah bagian yang menghubungkan vagina dengan rahim. Ketika seorang perempuan menikah di usia di bawah 20 tahun, bagian serviks yang berpotensi terserang kanker masih terbuka. Ketika usia menginjak 21 tahun, bagian itu sudah lebih tertutup.
Setiap hari, ada 50 perempuan Indonesia meninggal karena kanker serviks. Kanker serviks merupakan penyerang nomor dua terbanyak bagi perempuan setelah kanker payudara. Kanker serviks dipicu serangan human papillomavirus (HPV) pada sel-sel leher rahim. Di Indonesia, pada 2018 lalu terdapat 18.279 kematian akibat kanker serviks. Artinya, setiap hari ada 50 perempuan yang meninggal karena kanker ini.
Pada usia muda, organ reproduksi belum berkembang sempurna. Kehamilan maupun proses persalinan pada usia muda memiliki risiko atau komplikasi yang berbahaya. Perempuan yang melahirkan sebelum usia 15 tahun memiliki risiko kematian 5 kali lebih besar daripada perempuan yang melahirkan pada usia lebih dari 20 tahun. Kematian pada ibu hamil usia 15-19 tahun lebih sering dijumpai di negara dengan pendapatan yang menengah ke bawah.
Bayi yang lahir dari perempuan usia kurang dari 18 memiliki risiko mortilitas dan mobbiditas 50% lebih besar daripada bayi yang lahir dari ibu usia di atas 18 tahun. Bayi yang dilahirkan oleh seorang ibu yang masih usia muda umunya lahir prematur, BBLR, dan perdarahan persalinan Informasi kesehatan reproduksi remaja hanya diketahui oleh 35,3% remaja perempuan dan 31,2% remaja laki-laki.
Pendidikan dan pemberdayaan pada remaja sangatlah penting untuk menghindari terjadinya pernikahan dini. Peran pemerintah dan tenaga kesehatan juga orang tua sangatlah penting dalam menyampaikan informasi kesehatan reproduksi remaja. Jika upaya untuk mengurangi pernikahan dini bisa tercapai, maka angka kematian ibu, bayipun dan stunting akan menurun. Inilah kenapa betapa kesiapan usia pernikahan itu sangat penting. Minimal 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki.
Menurut siapnikah.org yang dibangun BKKBN bersama Rumah Perubahan, sebelum memutuskan untuk membangun rumah tangga, sebaiknya membaca

Sepuluh pedoman siap nikah ini:
1. Kesiapan Usia
Usia ideal minimal 25 tahun bagi laki-laki dan minimal 21 tahun bagi perempuan. Angka 25 tahun dan 21 tahun ini tidak ditentukan asal-asalan, tapi berdasar riset panjang. Berdasarkan riset, seseorang secara fisik, psikologis, hingga finansial, lebih siap masuk ke jenjang pernikahan dibandingkan jika dia menikah di usia sebelum itu.
2. Kesiapan Fisik
Berkeluarga butuh kesiapan fisik, untuk bekerja mencari nafkah, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, hingga melakukan aktivitas seksual. Karena itu, jika kamu memiliki riwayat penyakit seperti darah rendah, darah tinggi, hepatitis, atau penyakit menular seksual, harus berobat dulu sebelum menikah. Supaya kamu dan pasanganmu benar-benar fit dan siap membangun keluarga berkualitas.
3. Kesiapan Finansial
Uang memang bukan segala-galanya, tapi untuk menjalankan roda rumah tangga pasti membutuhkan uang. Karena itu, dalam merencanakan pernikahan, persiapan finansial juga diperlukan. Misalnya, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, persiapan kehamilan, perawatan anak, bahkan hingga biaya pendidikan anak.
Karena itu, pastikan sebelum menikah kamu sudah memiliki sumber pendapatan tetap, misalnya pekerjaan sebagai karyawan atau berwirausaha. Setidaknya, saat berkeluarga, kita bisa mandiri secara finansial, tidak membebani atau tergantung pada orang tua atau keluarga lainnya.
4. Kesiapan Mental
Hidup berkeluarga tidak selamanya mulus atau indah seperti saat masih pacaran. Terkadang ada hal yang tidak sesuai harapan. Sifat pasangan, kondisi ekonomi pasangan, sikap mertua dan keluarga besar, termasuk tantangan mendidik anak di era digital. Pola hidup di masa lajang dan saat berkeluarga juga akan berubah. Semuanya butuh kesiapan mental.
5. Kesiapan Emosi
Nah ini juga penting. Coba kamu ingat, bagaimana responsmu saat menghadapi tekanan. Misalnya, saat menghadapi deadline pekerjaan, saat tersinggung dengan ucapan atau perilaku orang lain, atau saat debat karena beda pendapat. Jika kamu masih suka berteriak, marah-marah, sampai melempar barang ketika berbeda pendapat, maka kamu harus belajar mengelola emosi dulu sebelum menikah.
6. Kesiapan Sosial
Manusia tidak hanya makhluk individual, tapi juga sosial. Karena itu, kemampuan bersosialisasi sangat penting dalam kehidupan keluarga. Bersosialisasi dengan teman-teman pasangan, dengan lingkungan yang baru, maupun dalam organisasi. Mengasah jiwa kerelawanan sosial juga bisa menjadi bekal berharga sebelum masuk jenjang pernikahan.
7. Kesiapan Moral
Moralitas berlaku universal, apapun agamanya. Kesiapan moral sangat penting untuk mengontrol perilaku agar dalam berkeluarga bisa memegang etika. Misalnya, menaati perintah Tuhan Yang Maha Kuasa, berlaku jujur, bersabar kala menghadapi ujian, hingga tidak menggunakan barang milik orang lain tanpa izin.
8. Kesiapan Interpersonal
Kemampuan interpersonal ini terkait dengan bagaimana seseorang berhubungan dengan orang lain. Seseorang yang memiliki kemampuan interpersonal akan bisa menjadi pendengar yang baik saat orang lain curhat, berinteraksi dengan orang dari berbagai latar belakang, hingga mampu berdiskusi dan mendengar pendapat orang lain sebelum mengambil keputusan.
9. Keterampilan Hidup
Keterampilan sangat dibutuhkan dalam hidup. Ketika berkeluarga, keterampilan itu makin dibutuhkan. Misalnya, keterampilan dasar seperti merapikan dan membersihkan rumah, memasak, mengasuh dan mendidik anak, menjalankan peran suami/istri. Merawat organ reproduksi hingga pengetahuan alat kontrasepsi untuk pengaturan jarak kehamilan juga menjadi keterampilan yang harus dimiliki.
10. Kesiapan Intelektual
Dalam berkeluarga, kemampuan intelektual bisa tercermin dari aktivitas pencarian informasi seputar kehidupan keluarga. Jika kamu sudah mencari informasi untuk mendapat pengetahuan seputar kesehatan reproduksi, pengasuhan anak, pola hidup sehat, dan lainnya, maka kamu sudah memiliki bekal berharga sebelum menikah. (*)
Muktiani Asrie Suryaningrum SSos MPH,
Penata Kependudukan dan KB Ahli Madya BKKBN/Pengurus Pusat Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI)