Nasional

Pemerintah Diminta Tegas Terhadap NGO yang Tolak Transparansi Sumber Dana

INDOPOSCO.ID – Kalangan wakil rakyat meminta pemerintah bersikap tegas terhadap Non Governmental Organization (NGO) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menolak transparansi sumber dana dan penggunaannya. Selama ini beragam isu yang digunakan dalam kampanye NGO lingkungan berpotensi mengintervensi kebijakan pemerintah dan mengancam kedaulatan ekonomi nasional.

“Bagi yang menolak (transparansi, red), pemerintah bisa melarang LSM tadi untuk beroperasi di Indonesia. Selama ini, mereka selalu menuntut transparansi dalam kampanyenya. Seharusnya (NGO, red) berikan contoh dulu,” ujar Anggota Komisi IV DPR RI Effendi Sianipar kepada awak media.

Masyarakat, lanjut politisi PDIP itu, berhak memperoleh informasi mengenai sumber dan penggunaan dana LSM. Apalagi jika dana tadi diperoleh dari pihak asing. Tak menutup kemungkinan, dana dari pihak asing ditujukan untuk mengganggu kepentingan ekonomi nasional. Itu sebabnya, LSM harus terbuka dan transparan.

“Kampanye LSM selalu mengatasnamakan masyarakat dan lingkungan. Pertanyaannya, LSM mewakili masyarakat mana? Dan bekerja untuk siapa? Kita khawatir LSM bekerja untuk pihak donor (penyumbang dana, red). Bukannya untuk kepentingan nasional,” tandas Effendi.

Anggota Badan Legislasi DPR RI Firman Subagyo menegaskan, intervensi LSM tidak boleh dibiarkan lantaran dapat mengganggu kepentingan ekonomi nasional. Apalagi di tengah pandemi seperti sekarang, komoditas seperti kelapa sawit memberikan kontribusi besar terhadap devisa dan perekonomian. Tapi, NGO kerap kali membuat kampanye hitam terhadap kelapa sawit dengan berbagai isu mulai dari kesehatan, ketenagakerjaan, dan sosial.

“Pemerintah tidak boleh membiarkan kampanye hitam LSM terhadap sawit dan produk kehutanan. Intervensi mereka sudah terlampau jauh dan mencampuri kepentingan Indonesia,” ujar politisi Partai Golkar itu.

Kedaulatan Indonesia, kata dia, tidak boleh diintervensi organisasi seperti LSM. Dengan kedok lingkungan dan advokasi sosial, LSM berpotensi menjadi kepanjangan tangan pihak asing yang ingin mengganggu ekonomi dan kedaulatan Indonesia.

“LSM harus berani transparan dari mana sumber dananya. Keputusan KIP (Komisi Informasi Publik) terhadap Greenpeace Indonesia menjadi momentum untuk diwajibkan kepada LSM lainnya,” urai Firman.

Guru Besar IPB Dr Sudarsono Soedomo mensinyalir posisi LSM yang bermain di dua kaki lantaran kaki kanan dipakai untuk advokasi. Sementara, kaki lainnya dipakai untuk menjadi konsultan bagi perusahaan yang ditekan.

“LSM harus dipaksa untuk transparan dalam penggunaaan dana dan afiliasi mereka di dunia internasional. LSM asing di Indonesia cenderung melanggar aturan hukum di Indonesia. Karena itu, tepat jika pemerintah bersikap tegas dan tanpa kompromi,” tandasnya.

Pada awal Juli 2021, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menghentikan proyek karbon yang dideklarasikan salah satu LSM internasional di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah dan Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara. Ini karena proyek terseebut dinilai tidak sesuai prosedur dan terindikasi pelanggaran terhadap aturan.

Sudarsono juga mencontohkan di Papua, LSM menuduh perusahaan melakukan deforestasi. Padahal untuk memajukan masyarakat Papua dibutuhkan pembangunan dan menggerakkan perekonomian setempat.

“Pemerintah harus dan tegas mengawasi LSM asing yang membuat kampanye di Papua. Saya khawatir ada LSM asing yang menjadi bagian untuk memisahkan Papua dari Indonesia. Ini harus diwaspadai,” pungkasnya.

Sementara itu, salah satu LSM asing yang disinyalir menyerang perkebunan kelapa sawit, yakni ME. Dalam sebuah artikel di situs Palm Oil Monitor berjudul ‘Why Is Norway Secretly Funding Attacks Against President Jokowi’s Omnibus Law?’ diduga ada keterkaitan ME dan WS dengan Norad dalam rangka menekan industri kelapa sawit melalui kampanye deforestasi.

Sebagai informasi di Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI, ada sejumlah LSM multinasional yang beroperasi di Indonesia tetapi belum terdaftar di antaranya EIA, ME, dan FPP. Mereka belum tercatat dalam situs resmi Kemenlu, yaitu https://iLSM.kemlu.go.id/. (aro)

Back to top button