Nusantara

Mencari Titik Temu antara Konservasi dan Kehidupan di TN Tesso Nilo

INDOPOSCO.ID – Kabut pagi masih menggantung di sela dedaunan lebat Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Kabupaten Pelalawan, Riau sesekali rintik air turun perlahan. Di kejauhan, suara ayam berkokok bersahutan dengan denting alat dapur dari rumah-rumah kayu.

Anak-anak tampak berlarian di jalan tanah menuju sekolah buatan warga, sementara para ibu mulai membersihkan kebun sawit keluarga. Kehidupan di desa-desa sekitar taman nasional berjalan seperti biasa—sederhana, namun bermakna bagi mereka yang telah lama menetap di wilayah ini.

Namun, di balik keseharian yang damai itu, ada keresahan yang tumbuh. Masyarakat sadar, tempat mereka membangun rumah, berkebun, hingga menyekolahkan anak, kini berada di wilayah yang oleh negara ditetapkan sebagai kawasan konservasi.

Pertanyaan pun menggantung di udara: sampai kapan mereka diperbolehkan tinggal?

Ketegangan antara Warga dan Regulasi

Konflik tenurial di TNTN memperlihatkan kenyataan rumit di mana masyarakat dan negara saling berhadapan dalam memperebutkan ruang hidup. Ini bukan sekadar sengketa legal, tetapi mencerminkan kegagalan dalam tata kelola sumber daya alam.

Banyak warga mengaku telah tinggal di kawasan ini sejak akhir 1990-an, lengkap dengan sertifikat hak milik (SHM) yang mereka peroleh jauh sebelum TNTN resmi ditetapkan sebagai taman nasional pada 2004.

Namun, status baru tersebut seolah menghapus legalitas yang mereka miliki. Warga merasa diperlakukan tidak adil, setelah bertahun-tahun menetap dan membangun fasilitas umum secara swadaya.

“Kalau memang dilarang dari awal, kami tentu tidak akan membangun apa-apa. Tapi sekarang, semua sudah ada—rumah, sekolah, bahkan masjid—kenapa kami disuruh pergi?” keluh seorang warga.

Menurut regulasi kehutanan, hutan konservasi seperti TNTN tidak boleh dimanfaatkan untuk kegiatan permukiman atau pertanian. Akses hanya diizinkan untuk tujuan penelitian, pendidikan, dan wisata terbatas. Sementara itu, pemanfaatan hutan untuk kebutuhan ekonomi masyarakat semestinya dilakukan melalui skema legal seperti perhutanan sosial.

Namun, dalam praktiknya, perbedaan antara aturan dan realitas di lapangan kerap tidak jelas. Warga merasa mereka hadir jauh sebelum kebijakan datang.

Akar Masalah yang Panjang

Sejak sebelum TNTN ditetapkan sebagai taman nasional, kawasan ini sudah menjadi arena konflik. Di satu sisi, terdapat klaim masyarakat adat dan petani, di sisi lain terdapat izin perusahaan kayu dan perkebunan seperti HPH dan HTI.

Ketimpangan ini diperburuk oleh buruknya tata kelola. Penegakan hukum lebih sering menyasar warga lokal, sementara aktivitas perusahaan sawit tetap berjalan meski sebagian lahan mereka berada di zona konservasi. Hal ini memicu kritik tajam: hukum dianggap tegas kepada warga kecil, tapi longgar kepada korporasi.

Secara historis, wilayah ini dulunya merupakan bekas konsesi HPH milik PT Dwi Marta dan Inhutani. Bahkan saat kawasan ditetapkan sebagai taman nasional, sebagian besar lahannya telah dikuasai masyarakat.

“Perluasan kawasan pada 2009 juga berasal dari bekas HPH PT Nanjak Makmur. Dari hasil identifikasi bersama WWF, ada lebih dari 28.000 hektare yang sudah dikelola masyarakat sejak lama,” ujar Abdul Aziz dari Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan dan Pertanahan Riau.

Enam desa kini terlibat langsung dalam konflik lahan ini, yaitu Bukit Kusuma, Lubuk Kembang Bunga, Segati, Gondai, Air Hitam, dan Bagan Limau, dengan jumlah warga terdampak lebih dari 25 ribu jiwa.

Di Lubuk Kembang Bunga, misalnya, ada tiga dusun dengan lebih dari 10 ribu penduduk. Sekolah dan rumah ibadah dibangun tanpa bantuan negara. Bagi warga, ini bukan sekadar konflik lahan, melainkan soal keberlangsungan hidup dan masa depan generasi mereka.

Di Tengah Kebijakan dan Ketidakpastian

Hingga kini, pemerintah melalui Satgas Penanganan Kawasan Hutan (PKH) hanya menawarkan opsi relokasi mandiri, tanpa kejelasan lokasi, jaminan hidup, atau bentuk dukungan apa pun. Ketidakjelasan ini membuat masyarakat resah.

“Kami takut bukan hanya kehilangan rumah, tapi juga kehilangan arah hidup. Kami tidak tahu harus pindah ke mana,” ujar salah satu tokoh masyarakat.

Kehadiran aparat bersenjata dalam operasi penertiban justru membuat warga semakin tertekan dan merasa diasingkan di tanah yang telah mereka huni selama puluhan tahun.

Merumuskan Solusi Bersama

Penyelesaian konflik di TNTN tidak bisa dilakukan secara sepihak. Negara perlu menegakkan hukum konservasi tanpa mengabaikan hak-hak dasar masyarakat. Perhutanan sosial bisa menjadi alternatif legal yang memberikan ruang kelola kepada warga dengan tetap menjaga aspek ekologi.

Penting bagi pemerintah untuk menerapkan pendekatan dialog dan partisipatif, melibatkan masyarakat dalam penyusunan solusi. Dengan begitu, konservasi hutan tidak menjadi ancaman bagi mereka yang hidup di sekitarnya seperti dilansir Antara.

Tesso Nilo seharusnya menjadi bukti bahwa perlindungan lingkungan dan hak rakyat dapat berjalan berdampingan. Jika tak ada solusi yang adil, taman nasional ini hanya akan menjadi simbol dari konflik tak berkesudahan—antara aturan di atas kertas dan kenyataan di lapangan. (aro)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button