DPR Desak Penerapan UU TPKS terhadap Tersangka Kasus Predator Anak di Tangerang

INDOPOSCO.ID – Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan Selly Andriany Gantina menekankan, pentingnya implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada 2022 terhadap pelaku kejahatan seksual.
Melalui aturan tersebut, jeratan maksimal dapat diberlakukan kepada pelaku predator anak. Khususnya terkait kasus panti asuhan di Kunciran Pinang, Tangerang yang baru-baru ini menghebohkan publik.
“Kasus di Tangerang harus menerapkan UU TPKS. Ini menjadi pelajaran dan peringatan bagi semua pihak di republik ini untuk menghargai wanita dan anak. Jangan sampai kekerasan atau pelecehan terjadi lagi,” kata Selly di Jakarta, Kamis (10/10/2024).
Menurutnya, pemberlakukan UU TPKS yang ketuk palu Puan Maharani sebagai Ketua DPR RI selain menindak pelaku, sanksi dapat diterapkan terhadap lembaga yang lalai dalam pengawasan.
“Panti asuhan di Tangerang perlu diperiksa legalitasnya, termasuk izin operasional. Tindakan hukum dapat berlaku tidak hanya bahi pelaku, tetapi juga lembaga tersebut, termasuk penyitaan aset pelaku,” ujar Selly.
Selly menekankan pentingnya kolaborasi antara berbagai lembaga, seperti kepolisian, dinas sosial, dan lembaga perlindungan anak, untuk menangani kasus tersebut secara komprehensif.
“Kerja sama ini diharapkan, dapat memperkuat upaya perlindungan dan rehabilitasi bagi korban, serta mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan,” ucap Selly.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi mengemukakan, ada delapan korban pelecehan seksual oleh ketua dan pengasuh yayasan panti asuhan di Kunciran Indah, Kota Tangerang.
“Yang diketahui per hari ini, korban menjadi delapan anak asuh terdiri dari lima anak dan tiga dewasa,” ungkap Ade Ary terpisah kepada wartawan, di Jakarta, Rabu (9/10/2024).
Polisi menetapkan tiga tersangka dalam kasus tersebut. Di antaranya Ketua panti asuhan Sudirman (49) dan dua pengasuh, yaitu Yusuf Bahtiar (30) dan Yandi Supriyadi (28). Namun, Yandi berstatus menjadi DPO usai mangkir dalam dua kali panggilan polisi.
Para tersangka dijerat Pasal 76 E juncto Pasal 82 UU Nomor 17/2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1/2016, tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara. (dan)