Pakar: Pemerintah-DPR Membangkang Konstitusi, Jika Tak Laksanakan Putusan MK

INDOPOSCO.ID – Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prof Ni’matul Huda menyatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru terkait pencalonan kepala daerah berlaku dan mengikat sejak diucapkan dalam sidang MK sejak, Selasa (20/8/2024).
“Putusan MK tidak menyatakan berkaku di tahun 2029, artinya berlaku sejak putusan MK diucapkan (2024),” kata Ni’matul Huda kepada INDOPOS.CO.ID melalui gawai, Jakarta, Kamis (22/8/2024).
Di sisi lain, ia menyadari kewenangan DPR membuat Undang-Undang. Bisa dibuat karena kebutuhan atau inisiatif. Seperti dilakukan Badan Legislasi (Baleg) DPR berupaya mengakali putusan MK melalui RUU Pilkada.
Namun, langkah itu dinilainya mengarah kepada penolakan konstitusi jika bertentangan dengan putusan MK. “Kalau nantinya isi UU-nya beda dengan putusan MK, akan dianggap ‘mbalelo’ atau mengabaikan putusan MK,” ujar Ni’matul Huda.
Bahkan jika pemerintah dan DPR tetap ngeyel tak mau menindaklanjuti keputusan MK, maka bisa dianggap bangkang.
“Ya bergantung pemerintah dan DPR, mau melaksanakan putusan (MK) atau tidak. Jika tidak mau, berarti pemerintah dan DPR melakukan pembangkangan terhadap konstitusi (Pasal 24C ayat (1)UUD 1945),” jelas Ni’matul Huda.
MK telah mengabulkan sebagian gugatan perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora. Putusan dibacakan dalam sidang di gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (20/8/2024) kemarin.
Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 berbunyi, partai politik di provinsi dengan penduduk 6-12 juta jiwa bisa mengusung calonnya jika memperoleh suara 7,5 persen. Juga partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak memiliki kursi DPRD.
Selain itu, terdapat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang syarat usia calon kepala daerah. Perkara tersebut menguji konstitusionalitas Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada.
Sementara Baleg DPR malah menjalankan revisi UU PIlkada, seakan terkesan mengabaikan putusan MK. Terbukti memilih putusan Mahkamah Agung (MA) ketimbang MK soal batas usia calon kepala daerah.
Dalih Baleg DPR menyebut paling jelas mengatur tentang persyaratan usia calon kepala daerah. Diketahui MK dalam pertimbangan putusan nomor 70 menyatakan, syarat usia calon kepala daerah dihitung saat penetapan pasangan calon. Sedangkan putusan MA, terhitung sejak pelantikan pasangan itu terpilih.
DPR akan mengesahkan beleid yang mengatur perubahan keempat terhadap UU Pilkada itu dalam rapat paripurna hari ini pukul 09.30 WIB. (dan)