Headline

Pengamat: Penerapan ERP Harus Disertai Pembenahan Transportasi Publik

INDOPOSCO.ID – Rencana Pemerintah DKI Jakarta untuk menerapkan sistem electronic road pricing (ERP) atau jalan berbayar menuai sorotan dari berbagai kalangan. Pasalnya, untuk bisa menerapkan ERP secara efektif dibutuhkan kajian yang benar-benar merepresentasikan perilaku mobilitas publik.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Perkotaan Nirwono Joga mengatakan, Pemerintah DKI Jakarta harus mengkaji ulang beberapa poin penting dan tidak terpaku pada opsi ERP saja.

Salah satu hal yang disoroti oleh Nirwono adalah pemilihan 25 ruas jalan yang harus mensyaratkan lebar jalur yang ada.

“Yang paling penting, di ruas jalan tersebut sudah ada transportasi publik yang memenuhi syarat seperti dekat lokasi perkantoran. Tujuan utamanya tentu adalah untuk mengurai kemacetan lalu lintas sehingga mendorong masyarakat untuk pindah ke angkutan umum,” ungkap Nirwono, belum lama ini.

Baca Juga : MITO Luncurkan Kompor Induksi Tertipis dan Tercantik di Indonesia

Sejauh ini, menurut Nirwono, baru ada beberapa ruas jalan yang paling siap fasilitas angkutan publiknya. Seperti Jalan Sudirman-Thamrin, MT Haryono, Gatot Subroto, dan Rasuna Said. Sementara di beberapa ruas jalan lain masih ada pemukiman sehingga masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut akan merasa dirugikan.

Yang juga harus diperhatikan adalah sasaran ERP ini adalah warga Jabodetabek. Sementara warga di luar Jabodetabek yang hanya sesekali melewati jalan tersebut, kemungkinan tidak punya aplikasi ERP di kendaraannya.

“ERP ini sebaiknya jangan diberlakukan dulu di lokasi-lokasi yang ada pemukimannya. Masyarakat yang sudah tinggal puluhan tahun di situ dan belum tentu menggunakan transportasi publik pasti akan komplain. Pertanyaannya, apakah kalau ERP ini diterapkan, kemacetan akan berkurang? Belum tentu juga kan,” tanyanya.

Nirwono mengatakan sejatinya ada beberapa opsi lain yang dapat dilakukan dalam rangka mengurangi kemacetan. Salah satunya adalah pengenaan biaya parkir progresif. Misalnya, untuk tarif parkir yang lokasinya berada semakin ke pusat kota, maka tarif parkirnya semakin mahal. Selain itu, juga perlu disediakan kantong-kantong parkir yang nyaman dan dekat dengan transportasi publik.

“Jadi ada alternatif-alternatif lain yang diberikan kepada masyarakat sehingga masyarakat bisa melihat mana nanti yang bisa menekan atau mengurai kemacetan lalu lintas,” imbuh Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti ini. Yang terpenting, lanjut Nirwono, adalah menata kawasan secara keseluruhan.

Sebelum rencana penerapan ERP ini, sebenarnya Pemerintah DKI Jakarta sudah menerapkan sistem 3-in-1 dan ganjil-genap. Namun, upaya-upaya yang sejatinya diciptakan untuk mengurangi volume kendaraan di jalan-jalan sibuk tersebut terbukti tidak berjalan efektif dalam mengurai kemacetan dan berulang-kali dievaluasi.

“Hal ini terjadi karena sistem transportasi publik kita belum bisa diandalkan, integrasinya belum siap sehingga biaya menggunakan transportasi publik ini menjadi cukup mahal. Karena itu, transportasi publik harus dibenahi dulu, baru kemudian ERP diterapkan,” ungkapnya.

Belakangan ini di tengah masifnya pembangunan transportasi publik, keterbatasan kapasitas transportasi publik dalam menampung mobilitas penduduk kembali menjadi sorotan. Seperti fenomena menumpuknya penumpang kereta commuter di stasiun Manggarai pada jam-jam sibuk. Di saat yang sama keterisian masih belum dapat mencapai tingkat keterisian yang ditargetkan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta sebesar 70.000 setiap harinya.

Jika pemerintah memaksakan penerapan ERP, juga akan berdampak luas pada aktivitas masyarakat dan semakin membuat lebar kesenjangan sosial. Contohnya para pengguna ojek online yang kabarnya juga akan dikenakan tarif ERP. Maka siapa yang harus membayar biaya ERP ini, apakah masyarakat, driver, atau aplikator tentu hal tersebut akan menjadi perdebatan kembali.

“Kalau aplikator maupun driver ojol yang dikenakan, maka ada tambahan beban biaya di mereka. Sementara jika biaya tersebut dibebankan ke pelanggan dengan cara menaikkan tarif, akan membebani masyarakat dan ojol akan kehilangan pelanggan,” tuturnya.

Dampak paling akhir adalah jika seluruh biaya operasional masyarakat di ibu kota semakin tinggi, bukan tidak mungkin pelaku bisnis akan hengkang dan memindahkan kantor mereka ke luar Jakarta.(arm)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button