Diversifikasi Pangan Lokal Jadi Senjata Hadapi Krisis Iklim

INDOPOSCO.ID – Di tengah gempuran perubahan iklim yang kian sulit diprediksi, Badan Pangan Nasional (Bapanas) menekankan bahwa kunci ketahanan pangan Indonesia ada pada keragaman pangan lokal.
Direktur Penganekaragaman Konsumsi Pangan Bapanas, Rinna Syawal, menyebut konsumsi masyarakat Indonesia masih terlalu berat pada beras. Padahal, pola ini membuat sistem pangan rentan goyah ketika produksi terganggu akibat cuaca ekstrem, curah hujan tak menentu, hingga bencana hidrometeorologi.
“Ketahanan pangan kita tidak bisa hanya bertumpu pada satu sumber pangan saja. Indonesia memiliki keragaman pangan lokal yang luar biasa, yang justru menjadi solusi di tengah krisis iklim dan global,” ujar Rinna dalam keterangannya, Sabtu (20/9/2025).
Menurut Rinna, sejumlah bahan pangan tradisional terbukti lebih tahan terhadap kondisi iklim ekstrem, seperti sorgum, sagu, jagung, sukun, singkong, ubi jalar, hingga talas. Selain lebih adaptif terhadap lingkungan setempat, komoditas ini juga bisa menekan biaya produksi.
Namun, jalan menuju diversifikasi pangan tak semulus yang diharapkan. Rinna menyoroti hambatan yang masih mengakar, mulai dari citra pangan lokal yang dianggap “kelas dua”, keterbatasan produksi, hingga minimnya edukasi gizi.
“Preferensi konsumen yang rendah, citra pangan lokal yang dianggap inferior, keterbatasan produksi, serta kurangnya edukasi gizi menjadi tantangan yang perlu segera diatasi,” jelasnya.
Pemerintah sendiri telah menyiapkan payung hukum berupa Perpres 81 Tahun 2024 tentang Percepatan Penganekaragaman Pangan Berbasis Potensi Sumber Daya Lokal. Regulasi ini mengatur strategi mulai dari penguatan distribusi, pemberdayaan UMKM, pemanfaatan lahan pekarangan, pengembangan industri pangan lokal, hingga edukasi konsumsi Beragam, Bergizi Seimbang, dan Aman (B2SA).
Target jangka panjangnya, kata Rinna, adalah mengubah pola konsumsi masyarakat menuju standar B2SA, yang diukur lewat peningkatan skor Pola Pangan Harapan (PPH). “Target jangka panjang kita adalah terwujudnya pola konsumsi B2SA. Indikator keberhasilannya adalah peningkatan skor Pola Pangan Harapan (PPH) masyarakat,” terangnya.
Sejumlah inovasi produk berbasis pangan lokal kini tengah digarap, dari mie sorgum, beras analog, hingga camilan sehat yang lebih ramah lingkungan. Transformasi ini didukung riset, teknologi pascapanen, dan kolaborasi lintas pihak, termasuk pemerintah daerah, akademisi, swasta, dan UMKM.
Rinna menegaskan, isu pangan lokal tak hanya berhenti pada soal ketahanan pangan, tapi juga menyangkut kelestarian lingkungan, budaya, hingga kedaulatan bangsa.
“Pangan lokal B2SA adalah solusi adaptif menghadapi perubahan iklim. Selain menjaga ketahanan pangan, juga melestarikan biodiversitas, memperkuat ekonomi lokal, dan meneguhkan kedaulatan pangan nasional,” tutupnya. (her)