INDOPOSCO.ID – Pelaku usaha kelapa sawit terus memperkuat komitmen terhadap pemenuhan hak anak dan pekerja perempuan sebagai bagian dari praktik keberlanjutan. Berbagai perusahaan kini menyediakan fasilitas yang sebelumnya identik dengan lingkungan perkantoran kota besar, seperti ruang laktasi, layanan kesehatan, PAUD, hingga Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan.
Seluruh fasilitas tersebut menjadi bukti bahwa industri sawit semakin berupaya menciptakan lingkungan kerja yang ramah bagi perempuan dan anak.
Topik ini menjadi fokus Diskusi Rutin Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) yang digelar di Gedung C Kementerian Pertanian, Jakarta, pada Selasa (2/12/2025).
Hadir sebagai pembicara antara lain Baginda Siagian, Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma Kementerian Pertanian; Dr. Delima Hasri Azahari, Peneliti Utama BRIN; Marja Yulianti, Pengurus GAPKI Kompartemen Pekerja Perempuan & Perlindungan Anak; serta Edy Dwi Hartono, Kepala Pengembangan Program Solidaridad Indonesia.
Siagian menyampaikan bahwa Permentan 33/2025 mengenai Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan (ISPO) kini menjadi payung hukum baru yang wajib dipatuhi semua perusahaan. Regulasi tersebut memuat lima kriteria dan 36 indikator ketenagakerjaan yang harus dipenuhi untuk memperoleh sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil.
“Setiap aktivitas perusahaan kini dikaitkan dengan kontribusinya terhadap 17 tujuan SDGs. ISPO menuntut larangan pekerja anak, penerapan kesetaraan gender, serta perlindungan tenaga kerja,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa Bappenas akan mengintegrasikan capaian pembangunan nasional dengan standar SDGs, sehingga performa perusahaan sawit akan berpengaruh langsung pada proses audit ISPO.
Baginda menegaskan bahwa isu keberlanjutan bukan sekadar tekanan internasional, tetapi kebutuhan domestik mengingat besarnya skala industri sawit di Indonesia. Saat ini terdapat sekitar 9,6 juta pekerja langsung dan 7–8 juta pekerja tidak langsung, yang jika dihitung beserta keluarganya mencakup sekitar 50 juta jiwa.
“Sektor sawit menyumbang 3,5 persen terhadap PDB serta menopang ketahanan energi melalui program B40 dan rencana B50. Bila prinsip keberlanjutan terganggu, tekanan terhadap ekspor bisa menjadi ancaman nyata,” ujarnya.
Meski demikian, Baginda mengakui masih ada tantangan di lapangan, seperti penempatan pekerja perempuan di pekerjaan berisiko, kesenjangan upah, kurangnya APD, fasilitas penitipan anak yang belum merata, serta akses kesehatan yang berbeda antardaerah.
Ia juga menyoroti adanya salah tafsir terkait keberadaan anak-anak yang terlihat di area perkebunan.
“Tidak jarang anak-anak hanya menemani orang tuanya sepulang sekolah. Namun saat difoto, mereka dianggap sebagai pekerja anak,” tuturnya.
Ia menegaskan bahwa perusahaan tetap dilarang mempekerjakan anak dalam bentuk apa pun, dan bila terbukti, perusahaan dapat gagal dalam sertifikasi ISPO.
Ketua Forwatan, Beledug Bantolo, menilai isu pekerja perempuan masih kurang mendapat perhatian publik. Padahal, tantangan seperti penyitaan lahan, beban ganda perempuan, dan keterbatasan fasilitas penitipan anak perlu dijadikan agenda pembahasan dalam isu keberlanjutan sawit.
Peneliti Utama BRIN, Delima Hasri Azahari, menambahkan bahwa banyak tuduhan pekerja anak muncul akibat penilaian yang tidak tepat.
“Anak-anak sering hanya bermain atau menemani orang tuanya, namun dianggap sedang bekerja. Ini harus dicermati dengan lebih teliti,” ujarnya.
Delima juga menekankan pentingnya ketersediaan layanan kesehatan 24 jam dan perbaikan sanitasi di berbagai wilayah perkebunan.
Sementara itu, Marja Yulianti dari GAPKI menjelaskan bahwa 758 perusahaan anggota GAPKI telah menerapkan program perlindungan tenaga kerja, termasuk pelatihan K3, penyediaan APD, posyandu, PAUD, ruang laktasi, hingga Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan.
Ia juga meluruskan anggapan bahwa upah perempuan lebih rendah, karena perbedaan biasanya disebabkan pilihan jam kerja.
“Untuk karyawan tetap, standar upahnya sama,” tegasnya.
GAPKI juga menegaskan bahwa isu pekerja anak sering dijadikan kampanye negatif terhadap industri. Banyak anak yang sekadar ikut orang tuanya di kebun kemudian difoto oleh pihak luar dan dituding sebagai pekerja anak.
Yulianti mengungkapkan bahwa 69 persen perusahaan anggota GAPKI telah memperoleh sertifikasi ISPO, yang menjadi indikasi meningkatnya perlindungan bagi perempuan dan anak.
Dalam diskusi yang sama, Edy Dwi Hartono, Solidaridad Indonesia menekankan bahwa pemberdayaan pekerja dan petani perempuan merupakan langkah strategis sekaligus investasi jangka panjang untuk menciptakan industri sawit yang berkelanjutan dan bebas pekerja anak. Ketika perempuan memiliki akses setara terhadap sumber daya, hak, dan ruang partisipasi, maka stabilitas ekonomi keluarga meningkat dan risiko anak bekerja dapat ditekan.
Temuan UNICEF (2016) dan PAACLA Indonesia (2024) juga menunjukkan bahwa formalisasi status pekerja perempuan dari tenaga harian menjadi pekerja berkontrak merupakan intervensi paling efektif untuk memutus rantai pekerja anak. Hal ini membuktikan bahwa pencapaian Zero Child Labor tidak cukup mengandalkan larangan semata, tetapi bergantung pada pemenuhan hak ekonomi dan pengasuhan bagi para ibu. (aro)









