INDOPOSCO.ID – Mantan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Maluku Utara (Malut), Mukti Baba, menggugat kepengurusan DPP Perindo ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta.
Gugatan itu dilakukan Mukti Baba, karena menilai pemecatan terhadap dirinya sebagain Ketua DPW Malut pada Mei 2024 tidak sah lantaran kepengurusan DPP Hary Tanoesoedibyo harusnya sudah berakhir sejak 2019.
“Sehubungan dengan pemberhentian dan atau pemecatan secara semena mena terhadap kami selaku Ketua DPW Partai Perindo Provinsi Maluku Utara melalui SK DPP No 3920-SK/DPP-Partai Perindo/V/2024 yang di tanda tangani oleh Ketua Umum Hary Tanoesoedibdjo dan Sekretaris Jenderal Ahmad Rofiq tanggal 29 Mei 2024 maka pada kemarin tanggal 26 Juli tahun 2024 kami bersama Tim Advokat dari Kantor Law Firm Lukmanul Hakim & Partners telah mendaftarkan permohonan gugatan terhadap Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) DKI Jakarta dengan nomor registrasi perkara No :259/G/2024/PTUN.JKT,” kata Mukti dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Minggu (28/7/2024).
Dikatakan Mukti, subtansi permohonan gugatan berkaitan dengan dugaan bahwa Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik tidak cemat dalam menerbitkan surat keputusan tentang pengesahan perubahan pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Perindo khusunya Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-03.AH.11.02 Tahun 2024.
“Ketidakcermatan Menteri Hukum dan HAM RI dalam mengesahkan perubahan demi perubahan kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Perindo menurut kami setidaknya sudah di mulai dari sejak berakhirnya pemilu tahun 2019 antara lain perubahan tahun 2021, perubahan tahun 2022 dan perubahan tahun 2024 ini,” ujarnya.
Hal itu, kata Mukti, karena masa jabatan pengurus DPP Partai Perindo adalah 5 tahun di hitung dari bulan Juli Tahun 2014 sejak AD-ART pertama di sahkan. tetapi setelah berakhirnya masa Kepengurusan 5 Tahun itu Hary Tanoesoedibdjo selaku Ketua Umum tidak kunjung melaksanakan Kongres untuk memilih Ketua Umum yang baru sebagaimana amanat AD-ART sampai saat ini.
“Alih-alih melaksanakan Kongres sebagai Forum Permusyawaratan Tertinggi Partai yang dilaksanakan setiap lima tahun, Hary Tanoe justeru melakukan perubahan demi perubahan terhadap AD-ART Partai dimana salah salah satu perubahan yang paling fundamental adalah merubah pasal yang mengatur tentang kongres untuk memilih Ketua Umum menjadi kongres untuk memilih anggota luar biasa Majelis Persatuan Partai (MPP) yang di pimpinnya sendiri,”katanya
Seharusnya, terang Mukti, ketika periode pertama kepengurusan tahun 2014-2019 berakhir, maka DPP wajib menyelenggarakan kongres dan Ketua umum terpilih hasil kongres yang pertama itulah yang di daftarkan oleh Majelis Persatuan Partai ke Menteri Hukum dan HAM untuk mendapatkan pengesahan.
“Yang terjadi sebaliknya Kongres pertama tidak di laksanakan tapi MPP justru mengesahkan struktur baru dengan terlebih dahulu merubah AD-ART. Meniadakan kongres untuk memilih ketua umum sebagaimana semangat awal berdirinya partai Perindo adalah perilaku anti demokrasi dan bentuk penjegalan terhadap hak demokrasi anggota yang merupakan pemegang kedaulatan tertinggi di Partai Perindo,” ucapnya.
“Berdasarkan beberapa alasan di atas maka kami melakukan gugatan ke pengadilan Tata Usaha Negara dengan tuntutan agar agar SK SK Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No,. M.HH-03. Ah.11.02 Tahun 2024 Tentang Pengesahan Perubahan Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Perindo periode tahun 2022-2027 dicabut,” tegasnya menambahkan.
Lebih lanjut ia mengungkapkan, sebelum gugatan ini di daftarkan ke pengadilan tata usaha negara, pihaknya juga sudah mengirimkan notivikasi ke Kementerian Hukum dan HAM agar mencabut SK dimaksud.
“Demikian halnya notivikasi kami kirimkan ke Dewan Pimpinan Pusat Partai Perindo agar mencabut SK DPP No 3920-SK/DPP-Partai Perindo/V/2024,” pungkasnya. (dil)








