Nusantara

Pemerintah Diminta Ubah Paradigma Penanggulangan Bencana

INDOPOSCO.ID – Pengamat masalah lingkungan, Mustam Arif, yang juga Direktur Eksekutif Jurnal Celebes, mengatakan bahwa semua pihak patut mewaspadai bencana ekologis yang dapat menjadi ancaman rutin dan serentak.

“Kita berada di era bencana rutin akibat kerusakan lingkungan dan dampak perubahan iklim,” katanya dalam keterangan yang dikutip INDOPOS.CO.ID pada Kamis (16/5/2024).

Menurutnya, pemerinah perlu mengubah paradigma penanggulangan bencana yang berimbang antara orientasi tanggap darurat dan pemulihan dengan pencegahan (mitigasi) dan kesiapsiagaan.

Selama ini penanggulangan bencana terlalu berorientasi pada tanggap darurat (response) dan pemulihan (recovery).

“Dana dan sumber daya terlalu banyak dialokasikan untuk tanggap darurat dan pemulihan setelah bencana, sementara pencegahan atau mitigasi menjadi aspek yang kurang penting,”ujarnya.

Padahal, di level hulu inilah dampak bencana bisa diminimalkan atau dicegah. Sementara itu, eskalasi bencana kian tahun kian meningkat akibat kerusakan lingkungan dan dampak perubahan iklim.

“Penanggulangan bencana terkesan selalu menunggu datangnya bencana,” kata dia.

Banjir dan longsor serentak ini mestinya menjadi pembelajaran berharga, agar pemerintah daerah di Sulsel menyikapi serius dengan kesadaran bahwa degradasi lingkungan adalah penyebab utama bencana rutin ini.

Tidak seharusnya menyalahkan faktor cuaca atau iklim karena aspek itu lebih sebagai pemicu, bukan semata-mata penyebab.

Pemerintah daerah (pemrov/pemkab) harus mengambil langkah pencegahan dengan melakukan pemulihan lingkungan. Salah satunya adalah merevisi tata ruang sebagai upaya memulihkan daya dukung lingkungan yang berimbang.

Sebagai gambaran, terdapat 32 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang berada di 43.619,30 hektare ekosistem hutan, terdiri atas 6.526,93 hektare hutan primer dan 37.092,37 hektare hutan sekunder (data JURnaL Celebes – JPIK Sulsel).

Butuh kerelaan merombak tata ruang dan menata kembali izin-izin industri, perkebunan/pertanian, dan real estate, terutama izin industri ekstraktif yang berbasis lahan.

“Pemerintah daerah harus kembali menata lahan-lahan pertanian yang mengokupasi tutupan hutan dari lembah sampai ke puncak-puncak gunung dan bukit,” tuturnya.

Selain itu, pemerintah harus semakin memperkuat kesiapsiagaan masyarakat, terutama di wilayah atau titik-titik rawan bencana.

“Tidak sekadar pelatihan atau pembentukan kelompok dan forum yang hanya berorientasi pada pemenuhan target proyek. Butuh keseriusan untuk membangun ketahanan masyarakat (resilience) menghadapi bencana,” kata dia.

Ia menjelaskan, masyarakat di titik-titik rawan bencana harus didukung oleh rencana kedaruratan (contingency plan) yang memadai dan siap diaktifkan pada saat datangnya bencana dan tanggap darurat.

Rencana kedaruratan ini harus didukung oleh sistem peringatan dini (early warning system) yang memadai. Sarana peringatan dini tidak selalu harus tergantung pada teknologi canggih BMKG hampir setiap saat memberi peringatan.

“Menurut asesmen Jurnal Celebes, sebagian masyarakat lokal dan adat di Sulsel memiliki pengetahuan atau kearifan lokal yang menjadi peringatan dini menghadapi bencana. Potensi ini harusnya diberdayakan di lapangan,” pungkasnya. (fer)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button