Nusantara

Penjarakan Buruh, Advokat Sebut Laporan Gubernur WH Salah Tafsir

INDOPOSCO.ID – Laporan Kuasa Hukum Gubernur Banten Wahidin Halim (WH) ke Kepolisian Daerah (Polda) Banten yang melaporkan aksi unjuk rasa buruh dinilai salah menafsirkan delik pidana.

“Laporan Asep Abdulah Busro sebagai Kuasa hukum WH dinilai salah tafsir ketika melaporkan buruh dengan delik pasal 160,170 dan 207 KUHP,” ungkap Dady Hartadi, seorang advokat praktisi hukum di Kota Serang kepada INDOPOSCO, Senin (27/12/2021).

Daddy Hartadi yang juga seorang advokat muda di Kota Serang ini mengatakan, bahwa apa yang dilaporkan kuasa hukum WH itu merupakan penafsiran yang salah dalam memahami rumusan delik pidana. Mengingat beberapa ketentuan pidana yang diatur dalam pasal-pasal tersebut telah mengalami perubahan sifat delik .

Daddy yang juga dikenal sebagai aktivis lingkungan ini mengatakan, sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), terjadi perubahan-perubahan sifat delik.

Baca Juga : Serikat Pekerja Ungkap Ada Lima Buruh yang Dijemput Polisi Usai Duduki Ruang Kerja Gubernur Banten

“Contohnya, dalam rumusan delik pasal 160 KUHP yang mengatur perbuatan penghasutan untuk melakukan kekerasan terhadap penguasa umum, atau menghasut untuk tidak mengindahkan ketentuan undang-undang,atau perintah jabatan telah berubah menjadi delik materil, bukan lagi delik formil sesuai putusan mahkamah konstitusi Nomor 7/PUU-VII/2009,” terangnya..

Menurut Daddy, tindak pidana yang diatur dalam pasal 160 KUHP itu haruslah perbuatan menghasut yang menimbulkan akibat.

“Artinya harus ada orang yang berhasil dihasut untuk melakukan perbuatan kekerasan terhadap penguasa umum atau perbuatan tidak mengindahkan ketentuan undang-undang atau perintah jabatan,” ujarnya.

Dikatakan, sebelum putusan MK rumusan dalam pasal 160 KUHP ini merupakan delik formil. Artinya, jika perbuatan menghasutnya dilakukan, siapapun orang bisa langsung dipidana tanpa harus melihat lagi akibat dari perbuatan yang dilakukannya. “Ini akan sulit pembuktiannya, jika WH melalui kuasa hukum melaporkan buruh dengan delik pasal 160 KUHP pasca putusan MK,” ungkapnya.

Menurut Daddy, polisi untuk menjerat seseorang dengan pasal 160 KUHP harus menemukan orang yang berhasil dihasutnya untuk melakukan perbuatan yg diatur dalam pasal 160 ini.”Atau apakah benar perbuatan yang dilakukan sebagaimana dalam pasal ini terjadi merupakan hasil hasutan seseorang. Karena sebelum terbitnya putusan MK sifat delik ini adalah delik biasa,sehingga polisi bisa menjerat seseorang dengan pasal ini tanpa perlu menunggu laporan,” jelasnya.

Salah tafsir berikutnya, kata Daddy adalah, laporan dengan menggunakan delik 207 KUHP yang mengatur perbuatan penghinaan terhadap kekuasaan juga salah ditafsirkan oleh kuasa hukum WH. “Kuasa hukum WH harusnya tahu perubahan delik ini dari delik biasa menjadi delik aduan setelah Mahkamah Konstitusi menerbitkan putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.

Apalagi, kata Daddy, penuntutan atas delik pasal 207 KUHP ini berubah menjadi delik aduan absolut, dan content yang dirugikan oleh perbuatan penghinaan terhadap kekuasaan ada pada orang atau pejabatnya bukan pada institusinya.

“Seharusnya kuasa hukum WH jika mengetahui sifat delik dalam pasal 207 tidak melaporkannya sendiri, karena laporan atas pasal 207 ini telah diputuskan MK sebagai delik aduan bukan delik biasa, jadi pengaduan atas pasal ini tidak bisa diwakilkan sekalipun oleh kuasa hukum, harus pejabat yang bersangkutan yang merasa dirugikan atas perbuatan penghinaan,” terang Daddy.

Salah tafsir terakhir, kata Daddy adalah laporan dengan menggunakan pasal 170 KUHP. “Pasal 170 KUHP adalah pasal terkait kejahatan terhadap ketertiban umum. Yaitu, kejahatan yang sifatnya dapat menimbulkan bahaya bagi kehidupan masyarakat dan dapat menimbulkan gangguan bagi ketertiban dalam masyarakat,” cetusnya.

Untuk menjerat tersangka dengan delik 170 KUHP, terangnya, perbuatan itu haruslah terpenuhi unsurnya haruslah bertujuan untuk mengganggu ketertiban umum, karena nantinya harus dibuktikan bahwa para pelaku yang dijerat haruslah melakukan perbuatan tindak pidana ini dengan niat membuat kekacauan sehingga membuat rasa takut pada masyarakat yang menimbulkan luka, atau kerusakan barang-barang ditempat umum.

“Karena untuk membuktikan perbuatan yang diatur dalam pasal 170 KUHP ini nantinya harus ditemukan rangkaian perbuatan dari mulai tujuannya harus membuat kekacauan,dilakukan ditempat umum, yang menimbulkan akibat yang dilarang seperti luka,kematian dan kerusakan barang fasilitas umum,” tukasnya.

Diketahui, akibat dari laporan kuasa hukum Gubernur Banten, sebanyak lima orang buuh sudah berhasil diciduk oleh polisi, dan kini mereka ditahan di Polda Banten untuk menjalani proses hukum, karena sudah berhasil masuk ke ruangan kerja Gubernur saat mereka melakukan aksi unjuk rasa menuntut revisi UMP (Upah Minimum Provinsi) kepada Gubernur Banten belum lama ini.(yas)

Back to top button