Pendapat Akademisi soal Polemik Pinjaman Daerah Berbunga

INDOPOSCO.ID – Pinjaman Daerah kepada PT. Sarana Multi Insfratuktur (SMI) senilai Rp4,1 triliun menjadi polemik bagi pembangunan di Provinsi Banten. Sebab, Pemerintah Pusat telah memutuskan kewajiban pembayaran bunga enam persen.
Padahal, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Banten terlanjur menyepakati dana pinjaman menjadi sumber pendanaan di APBD tahun 2021. Sementara, tidak ada alokasi bayar bunga.
Akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Ikhsan Ahmad mengatakan, kebijakan pemberlakuan bunga pada pinjaman daerah diduga adanya maladministrasi dalam APBD 2021. Mengingat dalam penyususnannya, Pemprov Banten memaksakan pinjaman daerah yang belum mendapat persetujuan (agreement) dari PT. SMI menjadi sumber pendanaan di APBD.
“Namun Pemprov Banten sudah memasukan dana pinjaman sebesar 4,1 T tersebut kedalam APBD Banten 2021. Artinya Pemprov Banten melalui TAPD berani memasukan dana pinjaman kedalam APBD yang belum adanya kesepakatan atau kerjasama. Hal ini mengakibatkan diduga adanya maladministrasi dalam APBD Tahun 2021,” katanya saat dihubungi, Rabu (31/3/2021).
Menurutnya, kebijakan yang kurang tepat itu akan berdampak pada tidak tercapainya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).Selain itu, target pemulihan ekonomi terancam gagal total akibat kesalahan dalam menghitung sumber-sumber pendapatan, termasuk pinjaman PEN dari PT. SMI. Sehingga kegiatan yang berorientasi pada pemulihan dan penyelamatan ekonomi rakyat akan terkoreksi atau direcofusing.
“Akibat adanya dugaan maladministrasi dalam APBD 2021, jelas ini akan dapat membatalkan proyek-proyek target RPJMD 2017-2022 karena target kinerja RPJMD merupakan amanat Perda, dan yang lebih penting hasil kinerja RPJMD adalah ‘hak rakyat Banten’ untuk mendapatkan layanan infrastruktur, kesehatan, pendidikan dan lain-lain dari APBD Provinsi,” jelasnya.
Dari polemik itu, kata Iksan, kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan Provinsi Banten (eksekutif dan legislatif) akan luntur. Karena penetapan Perda tidak didasari kaidah-kaidah keuangan yang akuntabel, ketidakcermatan dalam proses perencanan dan mengakibatkan hilangnya hak rakyat terhadap peningkatan akses layanan infrastruktur, kesehatan dan pendidikan.
“Di sini dapat kita lihat betapa amburadulnya dan cerobohnya proses perencanaan anggaran yang dilakukan oleh eksekutif dan legislatif di Provinsi Banten, yang dapat mengakibatkan dampak signifikan terhadap pemenuhan hak-hak rakyat Banten,” terangnya. (son)