Nasional

FKBI Nilai Tragedi MBG Cerminan Lemahnya Perlindungan Konsumen Anak

INDOPOSCO.ID – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah berjalan hampir setahun, namun polemik terus membayangi. Alih-alih menjadi solusi gizi anak bangsa, program ini justru dipenuhi masalah di lapangan, mulai dari kasus keracunan massal hingga dugaan ribuan dapur fiktif.

Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) menyatakan keprihatinan mendalam atas insiden keracunan makanan yang menimpa ribuan siswa penerima manfaat MBG di berbagai wilayah. Bagi FKBI, kejadian ini bukan sekadar kekeliruan teknis, melainkan potret lemahnya sistem perlindungan konsumen anak dalam sebuah program nasional.

Sejak awal 2025, catatan FKBI menunjukkan lebih dari 4.000 siswa mengalami gejala keracunan, bahkan beberapa sampel makanan dinyatakan positif terkontaminasi bakteri E. coli. Temuan ini, menurut FKBI, mengindikasikan kegagalan tata kelola, lemahnya pengawasan, serta ketiadaan transparansi dalam program yang seharusnya menopang hak dasar anak.

Pemerintah melalui Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi memang telah menyampaikan permintaan maaf resmi atas nama negara dan Badan Gizi Nasional (BGN) pada pertengahan September lalu. Namun, bagi FKBI, hal itu belum cukup.

“FKBI menuntut langkah konkret, sistemik, dan partisipatif untuk memastikan tragedi ini tidak terulang. Bahkan sangat urgen untuk melakukan moratorium (penghentian sementara) pelaksanaan program MBG,” ujar Ketua FKBI, Tulus Abadi kepada INDOPOSCO melalui gawai, Selasa (30/9/2025).

Dari temuan FKBI, terdapat empat kegagalan sistemik standar keamanan pangan dalam pelaksanaan MBG. Yang pertama, dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di berbagai daerah ditemukan tidak memenuhi standar kebersihan minimum.

“Kedua, proses penyiapan makanan dilakukan di lantai, tanpa alat penangkal serangga, dan dengan jeda waktu distribusi yang terlalu panjang. Ketiga, tidak tersedia data publik mengenai vendor MBG, hasil audit dapur, atau uji laboratorium makanan. Bahkan ada dugaan 5.000 dapur adalah fiktif,” jelasnya.

Dan yang terakhir atau yang keempat, yakni mekanisme pelaporan insiden dan pemulihan korban tidak terstruktur, tidak inklusif, dan tidak melibatkan komunitas sekolah.

“Yang lebih memprihatinkan, adalah pelanggaran hak konsumen anak, karena hal ini menyangkut keamanan dan keselamatan,” tambah eks Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) itu.

Kini, bola ada di tangan pemerintah. Apakah negara berani melakukan moratorium untuk memperbaiki fondasi program, ataukah terus berjalan dengan risiko yang bisa kembali mengorbankan masa depan anak-anak bangsa? (her)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button