Pemerintah Didesak Tinjau Ulang Regulasi Industri Kayu

INDOPOSCO.ID – Berbagai isu dalam industri kayu nasional, mencakup aspek regulasi, investasi hingga masalah deforestasi menjadi sorotan sejumlah pakar di bidang kehutanan dan ekonomi. Ini terungkap dalam diskusi publik bertema “Ketelusuran Industri Kayu Indonesia: Tantangan dan Solusi” yang digelar Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) di Jakarta pada Senin, (8/8/2025).
Prof Sudarsono Sudomo, Ahli Kehutanan dari IPB, menyatakan bahwa berbagai regulasi di sektor kayu justru cenderung membebani pelaku industri, terutama di tingkat lapangan, karena manfaat yang diberikan tidak sebanding dengan biaya yang ditimbulkan.
Salah satu contoh yang ia soroti adalah penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Menurutnya, sistem ini belum dirasakan secara nyata manfaatnya oleh petani atau pelaku kecil di sektor hulu.
“Setiap regulasi pasti membawa konsekuensi biaya. Bila manfaatnya lebih besar, tentu bisa diterima. Tapi kenyataannya, beban yang muncul seringkali justru melebihi nilai manfaatnya. Banyak petani hanya mengurus SVLK jika ada bantuan. Bahkan tak sedikit yang tidak tahu keberadaan sertifikatnya,” jelas Sudarsono.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa deforestasi tidak semata-mata disebabkan oleh aktivitas pengusahaan hutan alam, melainkan lebih sering terjadi akibat perubahan fungsi lahan untuk kepentingan lain seperti perkebunan atau pembangunan.
“Hutan alam itu bisa diperbaharui secara biologis, tapi belum tentu dari sisi keuangan. Dengan pengelolaan yang baik, hutan bisa pulih kembali. Sayangnya, insentif ekonomi di sektor ini sangat minim dibanding sektor lain seperti perkebunan atau perikanan,” tambahnya.
Ia juga memaparkan bahwa sejak 1990 hingga 2023, terjadi penurunan drastis pada jumlah perusahaan, luas konsesi, serta volume produksi kayu. Dari sekitar 600 unit usaha hutan alam, kini hanya tersisa sekitar 250 yang masih beroperasi. Minimnya investasi menjadi salah satu penyebab utama kemunduran ini.
“Tanpa investasi, sektor kehutanan tak akan bergerak. Saat ini, investasi PMDN di bidang ini sangat rendah. Satu triliun rupiah hanya mampu menciptakan sekitar 1.500 lapangan kerja. Padahal keberlanjutan industri sangat tergantung pada suntikan modal,” tegasnya.
Sementara itu, Petrus Gunarso PhD seorang pengamat kehutanan, turut mengkritisi isu ketelusuran kayu (traceability) yang sering diangkat oleh LSM internasional. Ia menilai, definisi deforestasi kerap disalahartikan.
“Apakah perubahan dari hutan alam ke hutan tanaman bisa disebut deforestasi? Menurut WWF, iya. Padahal secara produktivitas, hutan tanaman seperti eukaliptus bisa dipanen dalam waktu enam tahun, lebih efisien dari sisi produksi,” ungkap Petrus.
Ia juga menyayangkan narasi media asing yang kerap menyudutkan produk kayu Indonesia.
“Sebagian besar ekspor ke Amerika berasal dari kayu IPK (Izin Pemanfaatan Kayu) hasil pembukaan lahan HTI. Itu legal. Tapi seringkali diberitakan seolah-olah terjadi pembalakan liar masif,” lanjutnya.
Dari perspektif ekonomi, Nailul Huda dari Center of Economic and Law Studies (Celios) menyebutkan bahwa sektor kehutanan dan industri kayu kini tergolong sebagai industri matahari terbenam (sunset industry). Kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menurun dari 0,7 persen menjadi 0,36 persen.
“Investasi domestik hanya sekitar 1 persen, sedangkan investasi asing bahkan lebih kecil lagi, hanya 0,02 persen. Ini mencerminkan rendahnya daya tarik sektor ini bagi investor. Padahal jika dikelola secara optimal, potensi ekonominya sangat besar,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa walau produksi kayu meningkat, sektor hilir seperti industri gergajian dan plywood justru menunjukkan penurunan. Kinerja ekspor juga terus menurun dalam empat tahun terakhir, meskipun sempat tumbuh selama satu dekade sebelumnya.
Diskusi ini pun menyoroti perlunya evaluasi regulasi, penguatan investasi, serta pengembangan strategi baru untuk mendukung keberlanjutan sektor kehutanan. Para pembicara menyepakati bahwa kebijakan yang ada saat ini masih terlalu birokratis dan belum berpihak pada pengembangan industri maupun kesejahteraan masyarakat.
“Kalau hutan bisa memberi kesejahteraan, maka masyarakat akan menjaga dan melestarikannya. Yang dibutuhkan sekarang adalah regulasi yang solutif, bukan yang justru mengekang pertumbuhan sektor ini,” tutup Prof. Sudarsono. (aro)