Ekspor Kayu ke AS Terancam Akibat Sorotan LSM Internasional

INDOPOSCO.ID – Laporan investigatif The New York Times (NYT) yang menuding keterlibatan industri kendaraan rekreasi (RV) di Amerika Serikat (AS) dalam praktik deforestasi hutan tropis di Kalimantan mendapat kritik tajam dari Pakar Kehutanan Indonesia Petrus Gunarso PhD.
Ia menilai narasi tersebut cenderung sensasional dan kurang mencerminkan kondisi faktual di lapangan.
Menurut Petrus, istilah ‘deforestasi’ kerap digunakan secara longgar oleh sejumlah LSM internasional untuk mendeskripsikan perubahan tutupan lahan, termasuk saat konversi hutan alam menjadi hutan tanaman industri (HTI).
“Deforestasi itu sebenarnya perubahan dari tutupan hutan ke non-hutan. Tapi kalau dari hutan alam jadi HTI seperti eukaliptus atau akasia yang bisa dipanen dalam enam tahun, apakah itu masih dianggap deforestasi? Apalagi dalam konteks tropis seperti Indonesia yang jauh berbeda dengan iklim subtropis seperti di Norwegia atau AS,” ujarnya dalam diskusi Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bertema ‘Ketelusuran Industri Kayu Indonesia: Tantangan dan Solusi’ di Jakarta, Senin (8/9/2025).
Ia mengomentari laporan dari Earthsight dan Auriga Nusantara yang menyatakan adanya penggunaan kayu lauan dari Kalimantan oleh industri RV AS, yang disebut berasal dari kawasan terdampak deforestasi.
Namun, Petrus menjelaskan bahwa kayu tersebut kemungkinan besar berasal dari hasil pembukaan lahan legal yang memiliki Izin Pemanfaatan Kayu (IPK), bukan dari penebangan hutan alam secara liar.
“Itu kayu-kayu sisa pembukaan lahan HTI, yang secara hukum boleh dijual dan dimanfaatkan. Tapi digambarkan seolah-olah itu hasil pembalakan liar besar-besaran demi ekspor ke Amerika. Padahal kenyataannya tidak seperti itu,” tegasnya.
Ia juga menyoroti kondisi industri kehutanan nasional yang sedang terpuruk. Dari sekitar 550 perusahaan pemegang HPH di era 1990-an, kini hanya tersisa sekitar 200-an saja.
Produksi kayu dari hutan alam juga anjlok hingga hanya 1,6 juta meter kubik per tahun — jumlah yang bahkan tidak mencukupi kebutuhan kayu untuk wilayah Jakarta.
“Kalau memang tujuannya menjatuhkan industri kehutanan kita, mungkin berhasil. Tapi sejujurnya, tanpa tekanan eksternal pun sektor ini sudah terpuruk. Mulai dari tumpang tindih perizinan, konflik lahan, hingga rendahnya tingkat keuntungan membuat investasi di sektor ini tidak menarik,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia juga menyinggung narasi soal mega-biodiversity Indonesia yang sering digaungkan LSM namun tidak tercermin dalam perdagangan kayu.
“Klaim soal keanekaragaman hayati Indonesia memang benar. Tapi kenyataannya, pasar hanya menyerap jenis-jenis kayu tertentu seperti jati, meranti, atau rimba campuran. Jadi kalau dibilang ada DNA ramin dalam produk kertas, itu sempat jadi kontroversi, padahal ramin sendiri dilarang untuk ditebang,” tambah Petrus.
Menurutnya, laporan NYT yang bersumber dari investigasi Earthsight dan Auriga perlu dikaji secara kritis.
Ia menilai narasi seperti “rekreasi merusak hutan tropis” hanya akan membentuk citra negatif terhadap Indonesia di mata dunia, padahal yang terjadi bisa jadi hanya pemanfaatan limbah legal dari proses pembukaan lahan.
“Kalau benar itu dari IPK, artinya legal. Tidak semestinya dibuat seolah-olah menjadi masalah besar lingkungan. Memang sektor ini banyak tantangan, tapi tidak semua aktivitas kehutanan bisa digeneralisasi sebagai perusakan hutan,” jelasnya.
Di sisi lain, Guru Besar IPB University Prof Sudarsono Sudomo juga menyoroti beban regulasi yang ditanggung pelaku usaha di sektor kehutanan. Ia menyebut banyak regulasi yang justru lebih menambah biaya tanpa memberikan dampak positif yang signifikan.
“Setiap regulasi pasti menimbulkan cost. Kalau manfaatnya lebih besar, tentu bisa diterima. Tapi kenyataannya, lebih banyak membebani daripada memberikan keuntungan,” ungkapnya.
Ia juga menyebut penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) belum menyentuh lapisan terbawah pelaku usaha, seperti petani.
“Kalau ditanya soal sertifikat SVLK, banyak petani tidak tahu itu apa dan di mana sertifikatnya. Tidak ada dampak langsung bagi mereka,” ujarnya.
Prof. Sudarsono juga menegaskan bahwa pengusahaan hutan alam tidak otomatis berarti deforestasi. Menurutnya, hutan bisa tumbuh kembali secara alami jika tidak dirusak, meski dari sisi finansial tetap memerlukan investasi besar.
“Tidak semua hutan ditebang habis. Karena biaya investasi untuk pembukaan hutan sangat tinggi, pengusaha tidak mungkin sembarangan. Tapi tanpa adanya dukungan investasi baru, sektor kehutanan kita bisa benar-benar mati,” tutupnya. (aro)