DPR Ajak Pemerintah dan Freeport Perkuat Tata Kelola Tambang yang Berkeadilan

INDOPOSCO.ID – Anggota Komisi XII DPR RI, H Jalal Abdul Nasir, mendorong adanya langkah bersama antara pemerintah, PT Freeport Indonesia, dan masyarakat sipil dalam memperkuat praktik pertambangan yang bertanggung jawab dan berpihak pada keadilan ekologis serta sosial.
Pernyataan ini disampaikan menyusul berbagai laporan dan sorotan publik terkait dampak lingkungan dan sosial dari aktivitas pertambangan di Papua, termasuk temuan dari Greenpeace yang menyebutkan bahwa “Limbah tailing dari Freeport telah menimbun lebih dari 200 kilo meter persegi kawasan hutan dan rawa di wilayah Mimika, menyebabkan kerusakan ekosistem yang sulit dipulihkan dan membebani kehidupan masyarakat adat yang menggantungkan hidup dari alam sekitar.
Menanggapi hal tersebut, Haji Jalal menegaskan bahwa perlu ada audit lingkungan independen yang melibatkan akademisi, masyarakat adat, dan lembaga lingkungan hidup untuk memastikan bahwa proses pengelolaan limbah dilakukan secara transparan dan akuntabel.
“Audit independen ini penting agar semua pihak memiliki pijakan yang sama dalam merumuskan solusi. Ini bukan upaya menyalahkan, tapi mendorong perbaikan bersama,” ujar Jalal saat dihubungi INDOPOSCO.ID, Jumat (1/8/2025).
Ia juga menyampaikan bahwa penyusunan roadmap pemulihan lingkungan harus disepakati bersama masyarakat terdampak, dengan indikator keberhasilan yang terukur dan bisa diawasi publik.
Lebih lanjut, Jalal mendorong peningkatan partisipasi komunitas lokal dalam forum-forum strategis perusahaan, agar masyarakat Papua tidak lagi hanya sebagai pihak terdampak, tetapi menjadi bagian dari pemegang keputusan dan penerima manfaat.
“Kita harus pastikan bahwa hasil kekayaan alam Papua tidak hanya masuk ke kas negara atau perusahaan, tapi juga mengangkat kualitas hidup masyarakat setempat secara nyata,” tegasnya.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga menyoroti pentingnya transparansi fiskal, akuntabilitas dana bagi hasil, serta perlindungan tenaga kerja tambang, terutama menyangkut keselamatan kerja dan praktik outsourcing yang masih sering dikeluhkan.
Sebagai anggota Komisi XII yang bermitra dengan PT Freeport Indonesia, pria yang akrab disapa Haji Jalal ini juga menegaskan bahwa dirinya siap mengawal penguatan tata kelola tambang yang berorientasi pada keberlanjutan, perlindungan lingkungan, dan kesejahteraan rakyat.
“Ini saatnya kita wujudkan pertambangan yang bukan hanya menguntungkan secara ekonomi, tapi juga menjaga bumi, menghormati hak-hak masyarakat, dan membawa manfaat yang adil untuk semua,” pungkasnya.
*Greenpeace Sebut PT Freeport Belum Terapkan Prinsip Kehati-hatian*
Sebelumnya, Forest Campaigner, Greenpeace, Achmad Saleh, saat dibubungi INDOPOSCO.ID menyatakan ada krisis ekologi dan ketimpangan sosial serius pada pengolahan limbah tambang (tailing) pertambangan besar di Papua yang dijalankan oleh PT Freeport Indonesia
Ia mengatakan, pengolahan limbah tambang (tailing) di PT Freeport Indonesia (PTFI) belum menggunakan prinsip kehati-hatian dan keadilan lingkungan.
Sebab, sejak 1972 pembuangan limbah tailing ke sungai Ajkwa sampai ke dataran rendah Arafura masih masif. “Pembukaan limbah tailing ini menyebabkan pendangkalan dan morfologi sungai dan menyebabkan banjir,” ungkapnya, Kamis (31/7/2205).
Selain itu, dampak lainnya adalah menganggu ekosistem seperti lahan sagu milik masyarakat adat di sana. Kandungan logam pada limbah tailing menyebabkan gangguan kesehatan.
“Air yang tercemar logam berat bisa mengancam kualitas hidup masyarakat adat Amungme dan Kamoro,” katanya.
“Dan limbah tailing ini sudah menutup lebih dari 2.000 kklometer per segi hutan dan rawa di sana,” sambungnya.
Ia mengingatkan agar pemerintah melakukan review izin PT Freeport secara transparan. Hingga melakukan audit terkait dampak lingkungan secara menyeluruh.
“Dampak akumulasi harus dibuka ke publik secara transparan,” ucapnya.
Selain itu juga ia mengungkapkan, harus dilakukan pemulihan ekosistem akibat dampak limbah tailing. Dengan memperhatikan pengolahan limbah secara berkelanjutan.
“Kalau pengolahan limbah secara sustainable bukan membuangnya ke alam. Dan harus memperhatikan hak-hak masyarakat adat yang harus diakui dan dilindungi, salah satunya kompensasi lingkungan yang adil,” ujarnya.
“Kami melihat peran pemerintah saat ini kurang progresif. Lahan ini kan milik masyarakat adat, tapi keuntungan hanya dirasakan kalangan elit saja, tapi masyarakat adat menderita,” imbuhnya. (dil)