Nasional

Upaya Paksa Wajib Melalui Penuntut Umum dan Izin Hakim

INDOPOSCO.ID – Upaya paksa terhadap tersangka ataupun saksi di dalam RUU KUHAP harus dilakukan oleh penyidik/penuntut umum yang sah dan berwenang. Tindakan tersebut harus mendapatkan izin dari hakim melalui penuntut umum. Upaya paksa juga wajib dilakukan secara proporsional dan tidak boleh sewenang-wenang.

Hal tersebut disampaikan Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LK2 FHUI), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Lampung (Unila) dan BEM Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung (FH UBL) saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR di Jakarta, Kamis (19/5).

“Mendorong Komisi 3 DPR RI untuk memperhatikan urgensi terkait pengaturan yang komprehensif terhadap upaya paksa agar tercapai perlindungan hak asasi para warga negara, termasuk penguatan hak para tersangka atau terdakwa, saksi, korban, dan kelompok rentan dalam KUHAP yang sedang dirancang,” papar Direktur Ekesekutif LK2FHUI, Daffa Putra Pratama.

LK2 FHUI juga memberikan empat rekomendasi lain dalam pembahasan RUU KUHAP. Prioritas untuk perlindungan atas hak asasi manusia, penerapan due process of law yang adil, penerapan asas praduga tak bersalah menjadi salah satu rekomendasi diberikan.

LK2FHUI turut mendorong DPR RI mengutamakan mekasinme keadilan restoratif, rehabilitatif, retitutif yang ditetapkan dengan prosedur pengawasan yang jelas dalam pembentukan KUHAP yang sedang dirancang. Selain itu LK2 FH UI juga mendorong komisi 3 DPR RI mengakomodir pengaturan dan pemanfaatan teknologi dan informasi digital berdasarkan kepentingan transparansi serta proses keadilan.

“Mendorong Komisi III DPR RI untuk menindaklanjuti lebih lanjut terkait saran dan rekomendasi daripada berbagai elemen masyarakat demi tercapainya partisipasi publik yang inklufis dalam pembentukan KUHAP yang sedang dirancang,” lanjut Daffa membacakan rekomendasi terakhir.

Ketua BEM Unila Ammar Fauzan menegaskan pengenaan upaya paksa perlu mendapat pengawasan ketat oleh hakim pemeriksa pendahuluan.

“Untuk menguji urgensi pengenaan upaya paksa guna mengawasi sistem peradilan pidana, mewujudkan sistem peradilan pidana lebih akuntabel, serta menjunjung tinggi presumption of innocence atau asas praduga tak bersalah. Dimana pengajuan upaya paksa dari penyidik polri, penyidik lain dan PPNS melalui penuntut Umum untuk mendapat persetujuan penetapan dari Hakim,” terang Amar.

BEM Unila juga memberi sorotan atas kesetaraan penyidik. Ammar menyampaikan kewenangan penyidikan yang tersentral ke satu lembaga akan membuat potensi terhentinya aduan atau penanganan kasus semakin besar. Saat ini menurutnya penyidik cenderung tajam ke bawah tumpul keatas. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya laporan pengaduan masyarakat yang tidak ditindaklanjutkan ke tahap penyidikan.

Sebagai contoh perkara dengan ketidakpastian hukum antara lain pemerasan warga Malaysia penonton DWP oleh oknum anggota Polri, peristiwa polisi menembak siswa SMK di Semarang, kasus Afif Maulana dan penersangkaan mahasiswa UI yang tewas kecelakaan.

BEM Unila sambung Ammar, menilai KUHAP tidak memberikan ruang bagi Jaksa atau penuntut umum untuk mengawasi penyidikan secara substantif. Sementara hakim baru berperan saat pra peradilan atau tahap persidangan.

Dalam KUHAP yang berlaku saat ini disebutkannya ada pemisahan tegas antara penyidik dan jaksa. Penyidik baru berkoordinasi dengan jaksa setelah meyerahkan berkas. Kurangnya koordinasi antara penyidiik dan jaksa yang membuat masing-masing berjalan dengan ego sektoral tersebut berimbas pada gagalnya penegakan hukum. Kasus pagar laut dicontohkannya sebagai bukti ego sektoral dalam penanganan perkara. Idealnya pembaharuan KUHAP dapat menciptakan keseimbangan dan sinergi antar penegak hukum serta menghindari perselisihan atau persaingan yang berlebihan.

“Sistem kordinasi Gakumdu, mulai dari awal Lapdu, penentuan penyelidikan, penaikan ke penyidikan, sampai dengan terbitmya SPDP wajib terlibat bersama. Memperkuat peran jaksa sebagai pengendali perkara (dominus litis) dimana Jaksa tidak hanya sebagai penerima berkas tetapi turut mengendalikan arah penyidikan sebagaimana tertuang dalam Putusan MK Nomor 55/PUU-XI/2013,” ungkapnya.

Sementara Presiden BEM FH UBL Alfin Sanjaya menuturkan, berdasarkan jenisnya upaya paksa dapat dilakukan penyidik atas penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan badan. Selain itu upaya paksa juga dapat dilakukan untuk pemeriksaan surat elektronik dan data digital, penyadapan, serta pemblokiran rekening/digital asset.

Alfin mendesak upaya paksa wajib memenuhi empat prinsip. Pertama, upaya paksa tegas BEM UBL hanya dapat dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum yang sah dan berwenang. Hal itu dipertegas dengan adanya dasar hukum dan perintah tertulis (SPDP, surat perintah, atau penetapan hakim).

Prinsip kedua ialah proposionalitas dan subsidiaritas. Upaya paksa dilakukan secara proporsional terhadap tingkat kejahatan dan tidak boleh berlebihan atau sewenang-wenang.

Izin pengadilan menjadi unsur berikutnya yang harus dipenuhi sebelum penyidik melakukan upaya paksa.

“Terutama penggeledahan, penyadapan, penahanan di luar waktu terbatas harus mendapat izin dari hakim melalui Penuntut Umum. Ini untuk melindungi prinsip praduga tak bersalah dan hak
atas kebebasan pribadi,” kata Alfin.

Selanjutnya akuntabilitas dan transparansi menjadi prinsip keempat yang mutlak harus dipenuhi dalam tindakan upaya paksa. Penyidik harus membuat berita acara resmi. Sebagai bentuk akuntabilitas, upaya paksa tersebut juga harus mendapat pengawasan dari lembaga peradilan dan masyarakat sipil.

Selaras dengan aturan mengenai upaya paksa, BEM FH UBL menyarankan RUU KUHAP mengakui dan memperluas jenis alat bukti.

“Khususnya alat bukti elektronik beserta dengan tata cara atau prosedur untuk mendapatkannya,” ungka Alfin.

Dalam kesempatan RDPU ini BEM UBL juga memberikan saran perihal penguatan peran advokat dalam mendampingi seluruh pihak dalam proses pidana serta integrated criminal justice system.

“Penguatan Jaksa sebagai pengendali perkara / dominus litis yang mengendalikan arah penuntutan secara menyeluruh. Digitalisasi proses hukum melalui sistem informasi terpadu, mulai dari pembuatan laporan pengaduan di penyidik hingga eksekusi putusan di Lapas sebagai bentuk transparansi dan pertanggungjawaban kepada masyarakat,” ujar Alfin menyebutkan dua masukan atas RUU KUHAP.

Ketua Komisi III DPR Habiburokhman, memastikan pihaknya akan menyerap aspirasi dari berbagai pihak. Komisi 3 selanjutnya akan memilah mana yang dianggap urgen dan prioritas.

“Prioritasnya bagaimana di KUHAP ini, menurut saya yang paling penting saat ini adalah kita merasakan KUHAP yang ada sekarang ini memang sangat sulit untuk memberikan keadilan kepada warga negara. Kenapa? Karena secara prinsip, KUHAP itu adalah mengatur relasi, hubungan antara state negara dengan warga negara yang berproses hukum,” ungkap Habiburokhman.

“State itu diwakili oleh penyidik, penuntut, hakim. Negara itu adalah orang yang bermasalah dengan hukum. Baik mencari keadilan, dia sebagai pelapor atau terlapor. Nah, ini situasinya kurang tidak imbang di KUHAP 81. State begitu powerful, warga negara begitu less power. Nah, ini yang menurut kami prioritasnya adalah sekarang kita lebih bagaimana warga negara ini lebih powerful,” sambungnya. (wib)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button