Syarat Kepentingan Oligarki, Isu Lingkungan Rentan Disuarakan

INDOPOSCO.ID – Isu lingkungan menjadi isu yang berisiko tinggi untuk disuarakan, karena terkait dengan kepentingan-kepentingan oligarki politik yang didukung oleh pendengung yang membanjiri ekosistem informasi.
Pernyataan tersebut diungkapkan Pemimpin Umum Project Multatuli, Evi Mariani dalam keterangan, Rabu (4/6/2025). Ia mengatakan, kondisi tersebut menjadi tantangan bagi jurnalis, social campaigner, dan content creator untuk menyuarakan suara yang diabaikan dan isu-isu yang tidak didengar.
“Ada banjir informasi namun di lain sisi ada kekeringan dari isu-isu yang diabaikan dan suara-suara yang tidak didengar,” katanya.
Ia menyatakan perlunya memetakan siapa saja yang bisa berkolaborasi secara strategis.
“Kekuatan masyarakat sipil adalah kekuatan-kekuatan kecil yang bertaut dan bekerja sama,” jelasnya.
Di tempat yang sama, Michelle Winowatan selaku Impact Strategy and Partnership Lead Purpose menjelaskan, gerakan sosial rentan terhadap disinformasi dan kebisingan dari buzzer yang mengaburkan informasi.
“Perlu ada komunikator yang kredibel dan terpercaya di berbagai isu,” ujarnya.
Ia menjelaskan, survei terbaru yang dilakukan oleh Purpose menunjukkan masyarakat muslim Indonesia paling percaya kepada pemuka agama soal isu lingkungan.
“Kepercayaan dan kredibilitas akan berpotensi berlanjut ke aksi yang lebih besar karena kepercayaan dinilai lebih berharga dari kebenaran,” ungkapnya.
Ia juga menekankan pendekatan hyperlocal yang lebih efektif untuk demografi Indonesia.
“Pesan utama menyesuaikan dengan masyarakat yang beragam karena sebetulnya mereka punya pengetahuan dan kapabilitas namun terhambat secara struktural,” jelasnya.
Aktor dan aktivis lingkungan Nicholas Saputra mengungkapkan, secara alami kampanye yang berfokus pada satu isu akan lebih mudah dilakukan.
“Memang sulit untuk membuat satu isu spesifik bisa relevan dengan jutaan orang tapi bekerja dengan komunitas kecil akan lebih mudah karena itu isu yang betul-betul kita ketahui,” jelasnya.
Ia menerangkan pola-pola kampanye seperti ini akan menjadi semacam bentuk antitesis dari dominasi algoritma media sosial.
“Namun tetap saja ada godaan untuk di-like oleh dua juta orang,” ujarnya.
Sementara itu, Indonesia Country Director Purpose, Longgena Ginting menyatakan, dampak yang paling bermakna dari gerakan sosial adalah dampak yang dibangun bersama lewat pendekatan berbasis cerita, komunikasi, dan aksi komunitas.
“Gerakan sosial adalah nadi perubahan sistemik, dan komunikasi yang dibangun secara strategis adalah senjatanya,” jelas Longgena.
Dia menjelaskan, kekuatan narasi menjadi landasan Purpose untuk membangun komunikasi strategis dengan semangat movement generosity yakni semangat berbagi pengalaman, strategi, bahkan kegagalan untuk memperkuat gerakan secara kolektif.
“Meski cara-caranya berganti namun esensi komunikasi tetap relevan dalam gerakan,” jelasnya.
Hal yang sama diungkapkan dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta yang juga pendiri dan penasihat NALAR Institute dan Centre for Innovation Policy & Governance (CIPG) Yanuar Nugroho. Ia mengatakan, pendekatan populisme cenderung menjadi cara penyelesaian masalah publik.
Ini, menurutnya, membuat persoalan kompleks disederhanakan menjadi sentimental dan emosional. Hal ini menimbulkan kondisi disonansi kognitif atau tekanan psikologis ketika sejumlah informasi tidak konsisten satu sama lain.
“Narasi empatik dapat mengatasi situasi ini. Komunikasi yang efektif harus menyentuh sisi emosional, bukan hanya rasional,” kata Yanuar.
Diketahui, beberapa inisiatif kampanye dan gerakan publik untuk isu lingkungan telah dilakukan oleh Purpose. Melalui MOSAIC (Muslims for Shared Action on Climate Impact) Purpose menggagas program pemberdayaan umat untuk mendorong aksi iklim di Indonesia melalui skema Sedekah Energi, Wakaf Hutan, dan Umat Untuk Semesta. Purpose juga meluncurkan “Jogja Lebih Bike” untuk mengurangi polusi udara dan emisi karbon.
Sementara di Bali, Purpose berkolaborasi dengan pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat mendorong narasi tentang pengurangan emisi sektor industri pariwisata Bali melalui Kembali Becik. (nas)