Kemnaker Lalai, BPJS Watch: Tak Patuhi Hukum Positif Akibatkan ini

INDOPOSCO.ID – Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi di PT Allianz Life Indonesia merupakan akibat kelalaian Pemerintah. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) tidak mematuhi hukum positif yang ada.
Pernyataan tersebut diungkapkan Koordinator Bidang Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar melalui gawai, Kamis (24/4/2025).
Ia mengatakan, hingga saat ini Presiden Prabowo Subianto tidak pernah melakukan revisi Peraturan Pemerintah (PP) no. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja, yaitu dengan membatasi jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan.
“Kewajiban Pemerintah merevisi PP no. 35 Tahun 2021 dengan mengatur pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan adalah amanat Pasal 64 Perppu no. 2 Tahun 2022 junto UU No. 6 Tahun 2023, dan Putusan MK no. 168/PUU-XXI/2023,” terangnya.
Ia menjelaskan, Pasal 64 Perppu No. 2 Tahun 2022 yang saat ini sudah menjadi UU no. 6 Tahun 2023, yang berbunyi :
Ayat (1) : Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis.
Lalu di Ayat (2) : Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ayat (3) : Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Demikian juga, masih ujar Timboel, Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 dengan tegas menyatakan “… sepanjang tidak dimaknai, “Menteri menetapkan Sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya.”
“Dengan lahirnya Pasal 64 di UU No. 6 Tahun 2023 dan diperkuat Putusan MK no. 168, maka seharusnya Pemerintah sudah segera merevisi PP no. 35 Tahun 2021 dengan membatasi pekerjaan yang boleh dialihdayakan,” tegasnya.
Ia mengatakan, semangat lahirnya Pasal 64 dan Putusan MK no. 168 adalah untuk membatasi pelaksanaan sistem kerja outsourcing (alihdaya), sehingga tidak semua jenis pekerjaan bisa dioutsourcing. Dengan pembatasan tersebut maka pekerja terlindungi sehingga tidak bisa diPHK untuk selanjutnya diserahkan kepada Perusahaan outsourcing.
“Pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dioutsourcing diatur di UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dioperasionalkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor 19 tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain,” ujarnya.
Ia menambahkan, pada Pasal 17 ayat (3) Permenaker 19 tersebut dengan sangat jelas mengatur pembatasan hanya untuk 5 jenis pekerjaan, yang isi lengkapnya menyatakan, “Kegiatan jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. usaha pelayanan kebersihan (cleaning service); b. usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering); c. usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan); d. usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan e. usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.
“Saya menilai pembatasan pekerjaan yang dapat dialihdayakan dalam Revisi PP No. 35 Tahun2021 sebaiknya mengutip kembali Pasal 17 ayat (3) Permenaker 19 tahun 2012, sehingga jelas pekerjaan apa saja yang dapat dialihdayakan,” ungkapnya.
Ia menyebut, pekerjaan IT merupakan pekerjaan utama di sebuah perusahaan terkhusus asuransi. Karena pekerjaan ini mengelola data nasabah yang harus dijaga keamanan dan kerahasiannya, serta pekerjaan yang menjadi “dapur” untuk mengembangkan bisnis perusahaan ke depannya.
“Jadi pekerjaan IT tidak boleh dialihdayakan. Banyak risiko yang akan dialami perusahaan dan nasabah bila pekerjaan IT diserahkan ke perusahaan alihdaya, dan ini akan menurunkan kepercayaan publik atas pengelolaan data pribadinya,” ucapnya.
Ia menegaskan, sejak lahirnya Perppu no. 2 Tahun 2022 seharusnya Kemenaker sudah berupaya menginisiasi revisi PP no. 35 Tahun 2021 dengan melakukan pembatasan pekerjaan yang bisa dialihdayakan. Namun hingga saat ini belum ada kejelasan tentang revisi.
Sebelumnya, sebanyak 136 karyawan PT Allianz Life Indonesia menjadi korban PHK. Proses PHK menyasar pekerja di bagian informasi teknologi (IT) dan kemudian diserahkan kepada Perusahaan outsoursing (alih daya), pada bulan Juni mendatang. (nas)