Deklarasi Istiqlal Perlu Diimplementasikan dengan Kurikulum Cinta dan Eco-Theology

INDOPOSCO.ID – Kepala Subdit Kemasjidan, Kementerian Agama (Kemenag) Akmal Salim Ruhana mengatakan, Deklarasi Bersama Istiqlal 2024 membicarakan tentang dua permasalahan aktual dunia. Yakni, dehumanisasi. Konflik dan kekerasan yang kerap terjadi menggunakan dalil keagamaan.
“High call-nya adalah bagaimana para tokoh agama hadir meng-address isu dehumanisasi ini,” kata Akmal dalam keterangan, Selasa (4/2/2025).
Lalu, kerusakan lingkungan. Menurutnya, bencana alam yang terjadi terus-menerus dan di luar kebiasaan menjadi penanda bahwa lingkungan saat ini sedang tidak baik-baik saja.
Ia berharap, masing-masing umat beragama mendalami, mengelaborasi, dan mengeksplorasi kitab suci dan budaya keagamaannya. Hal ini untuk memperkuat peran agama dalam melawan dehumanisasi dan perubahan iklim/kerusakan lingkungan.
Ia menyebut, ada dua kata kunci terkait hal itu, sebagaimana disampaikan Menteri Agama Nasaruddin Umar. Yakni, Kurikulum Cinta dan Eco-Theology. “Beliau (Nasaruddin Umar) menyampaikan bahwa spirit Deklarasi Istiqlal perlu diamplifikasi dan diimplementasikan,” tegasnya.
Di antara yang sudah dilakukan Kementerian Agama (Kemenag), masih ujar dia, untuk mengelaborasi dan mengeksplorasi Deklarasi Istiqlal adalah penandatanganan bersama gerakan bersama tokoh agama untuk lingkungan, penanaman pohon mangrove, sekolah alam, seminar nasional, webinar nasional, diskusi dan sosialisasi di beberapa kampus, dan lainnya.
Ia menyebut beberapa masukan dari pertemuan Bali Interfaith Movement (BIM). Di antaranya, membuat momentum pengingat Deklarasi Istiqlal. Lalu, kolaborasi pra-BIM dilanjutkan dengan melibatkan banyak aktor.
Kemudian, lanjutnya, mengembangkan green campus. Gerakan menanam pohon, memperluas jaringan dan memanfaatkan peluang dari event BIM+THK. Serta mengembangkan dan mengampanyekan narasi publik tentang kemanusiaan dan lingkungan, dengan foto Menag dan Paus.
Sementara itu, Wakil Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar, Kamaluddin Abunawas menyebut, salah satu pesantren di Indonesia yang mengedepankan cinta sesama makhluk dan Tuhan adalah Pesantren As’adiyah.
Perbedaan agama, suku, dan lainnya tidak menjadi masalah di As’adiyah. Bahkan, ia mengenang, dulu acara-acara penting di pesantren ini sering dihadiri oleh orang Cina.
Di Pesantren As’adiyah, lanjutnya, tidak ada referensi yang bergaris keras. Ini berbeda dengan referensi yang dipakai oleh beberapa alumni Timur Tengah yang dikuasai kelompok tertentu. Dalam pandangannya, referensi yang keras tidak akan pernah ada di As’adiyah selama para pemimpinnya tidak keluar dari khittah pendirinya.
Wakil Ketua Umum Pondok Pesantren As’adiyah ini mengaku heran dengan orang yang mempermasalahkan persoalan muamalah dengan non-Muslim. Padahal Nabi Muhammad juga bermuamalah dengan orang Yahudi dan Nasrani. Dikatakan, para santri As’adiyah tidak pernah diajarkan untuk mempersoalkan hal-hal muamalah antar sesama.
“Konsep kurikulum cinta yang akan menjadi jargon, bahkan itu harus diimplementasikan di semua tingkatan, bukan hanya di lembaga pendidikan tetapi juga Kementerian Agama. Harus ditanamkan bagaimana kecintaan kita kepada sesama makhluk,” ucapnya.
Menurutnya, masih ada yang menganggap orang dengan pandangan berbeda sebagai sesat, bid’ah, atau kafir. Mereka sulit diberi pemahaman dan pengertian karena kebencian sudah merasuk ke dalam hatinya. (nas)