Bawaslu Diminta Beri Sanksi ke KPU dan Hapus Daftar DCT DPR yang Tidak Memenuhi Kuota Keterwakilan Perempuan 30 Persen

INDOPOSCO.ID – Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan melaporkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Senin (13/11/2023).
Hal itu, menurut anggota koalisi, Titi Anggraeni, lantaran KPU telah menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT), meski partai-partai tidak memenuhi kuota keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen di setiap daerah pemilihan (dapil), Senin (13/11/2023).
“Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, melaporkan KPU ke Bawaslu atas dasar pelanggaran administratif,” kata Titi dalam keterangannya kepada indopos.co.id.
Setidaknya, kata Titi, ada sejumlah peraturan yang dilanggar KPU. Pertama, perintah UUD NRI Tahun 1945, UU No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination of Discrimination Against Women).
Kedua, Pasal 245 UU No.7 Tahun 2017. Ketiga, Putusan MA No.24 P/HUM/2023. Dan keempat, Pasal 8 ayat (1) huruf c Peraturan KPU No.10 Tahun 2023.
“Kami melaporkan pelanggaran administratif pemilu oleh KPU yang menetapkan DCT anggota DPR Pemilu 2024 tidak sesuai dengan tata cara penerapan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan paling sedikit 30 (tiga puluh persen) di setiap Dapil,” ucapnya.
Wakil Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI) ini menjelaskan, sebelumnya pada ketentuan Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU No.10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD I dan DPRD II, terkait penggunaan rumus/formula penghitungan keterwakilan perempuan berupa pembulatan ke bawah, telah dikoreksi oleh Mahkamah Agung melalui Putusan MA No.24 P/HUM/2023 pada 29 Agustus 2023.
Putusan MA a quo memerintahkan KPU untuk mencabut Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU No.10 Tahun 2023 karena bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, UU No.7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi CEDAW, dan UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
“Namun, sampai dengan ditetapkannya DCT Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, KPU mengabaikan perintah Mahkamah Agung dalam Putusan a quo sehingga merugikan hak politik perempuan untuk menjadi calon anggota DPR dan DPRD yang menurut ketentuan Pasal 245 UU 7/2017 harus memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen,” terangnya.
Berbagai ketentuan yang merupakan artikulasi jaminan negara terhadap keterwakilan perempuan tersebut, ujarTiti, telah pula ditegaskan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) melalui Putusan DKPP No.110-PKE-DKPP/IX/2023 (halaman 85) yang menyebut bahwa kebijakan keterwakilan perempuan melalui affirmative action dalam konstruksi hukum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 adalah agenda demokrasi yang harus dijaga dan ditegakkan bersama, khususnya oleh Para Terlapor (KPU) selaku penyelenggara pemilu.
Dari analisis Pelapor, didapati ternyata terdapat 266 DCT dari total 1.512 DCT Anggota DPR Pemilu 2024 yang telah ditetapkan dan diumumkan KPU tidak memuat ketentuan keterwakilan perempuan paling sedikit 30. Oleh sebab itu, berdasarkan ketentuan Pasal 460 ayat (1) UU No.7 Tahun 2017, perbuatan KPU tersebut secara nyata dapat diklasifikasi sebagai pelanggaran administratif pemilu, yaitu pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan tahapan pencalonan pemilu sebagaimana telah diatur dalam UU No.7 Tahun 2017 dan PKPU No.10 Tahun 2023.
Untuk itu, para Koalisi Masyarakat dalam laporannya meminta kepada Bawaslu untuk membuat Putusan sebagaimana berikut:
1. Menyatakan Komisi Pemilihan Umum terbukti melakukan pelanggaran administratif pemilu karena menetapkan DCT Pemilu DPR tidak memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di setiap dapil.
2. Memerintahkan Komisi Pemilihan Umum untuk memperbaiki Daftar Calon Tetap Pemilu Anggota DPR, Anggota DPRD Provinsi, dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2024 yang tidak memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di setiap dapil.
3. Memerintahkan Komisi Pemilihan Umum untuk membatalkan atau mencoret DCY yang diajukan parpol untuk anggota DPR, DPRD Provinsi, dan anggota DPRD Kabupaten/Kota di dapil yang tidak memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
“Demikian pernyataan ini kami buat. Para Pelapor berharap Bawaslu dapat memprioritaskan penanganan laporan tersebut dan membuat keputusan dalam waktu sesegera mungkin demi tegaknya penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2024 yang inklusif, demokratis, dan konstitusional,” pungkas Titi.
Selain Titi, sejumlah nama yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, antara lain, Direktur Eksekutif Netgrit, Hadar Nafis Gumay; anggota Bawaslu RI 2008-2012, Wirdyaningsih; Pegiat Maju Perempuan Indonesia (MPI), Wahidah Suaib; Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia/KPI, Mikewati Vera Tangka; Ketua Kalyanamitra, Listyowati; Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development/INFID, Misthohizzaman ; Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu/KIPP, Kaka Suminta; Direktur Pusat Kajian Politik/Puskapol UI, Hurriyah; Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati;
Manager Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat/JPPR, Aji Pangestu; Ketua Dewan Pendiri Institut Perempuan, Rotua Valentina. (dil)