Nasional

Dukung BPOM, DPR Sarankan Ini Soal Produksi Ivermectin

INDOPOSCO.ID – Ivermectin sampai saat ini masih menjadi kontroversi. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sejauh ini belum merekomendasikan Ivermectin sebagai obat terapi pasien Covid-19. BPOM bahkan meminta seluruh pihak untuk berhenti mempromosikan Ivermectin sebagai obat bagi pasien Covid-19.

“Mengingat Ivermectin adalah obat keras dan persetujuan EAP bukan merupakan persetujuan Izin Edar, maka ditekankan kepada industri farmasi yang memproduksi obat tersebut dan pihak manapun untuk tidak mempromosikan obat tersebut, baik kepada petugas kesehatan maupun kepada masyarakat,” demikian imbauan BPOM dalam laman resminya.

Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) Rahmad Handoyo mendukung langkah BPOM tersebut. Namun dia mengingatkan, jika nanti hasil uji klinis Ivermectin sudah keluar dan BPOM memberikan izin edar Ivermectin sebagai obat Covid-19, semua pihak harus diberi hak untuk memproduksi Ivermectin.

“Kalau kemarin itu ada masalah antara BPOM dengan PT Harsen soal Ivermectin, tentu itu ranahnya BPOM. Tapi syukurlah itu sudah selesai dan PT Harsen harus diperbolehkan kembali memproduksi. Tentu tak hanya Indofarma atau Kimia Farma, PT Harsen juga harus diberi hak untuk memproduksi Ivermectin atau obat-obat Covid-19. Menurut saya harus ada asas kesamaan,” kata Rahmad Handoyo dalam keterangan, Rabu (18/8/2021).

Dia mengingatkan, karena ini bukan obat bebas, tentu tidak bisa semua orang bisa mengkonsumsi tanpa pengawasan dari dokter. “Jangan sampai obatan-obatan keras seperti Ivermectin bisa dibeli bebas tanpa resep dokter,” ujar Rahmad.

Dia menambahkan, kita harus memberi peluang yang sama kepada perusahaan farmasi swasta nasional dan BUMN untuk memproduksi obat yang dibutuhkan negara.

“Ingat, perusahaan swasta juga penopang ekonomi nasional. Saya kira jika industri farmasi di luar BUMN bisa tumbuh besar, saya kira yang untung adalah bangsa kita,” katanya.

Ia menegaskan, penanganan Covid-19 saat ini tidak bisa dilakukan oleh pemerintah sendiri. Namun harus mengikutsertakan seluruh elemen masyarakat, termasuk dalam penyediaan obat-obatan.

“Soal obat-obatan kita dorong kepada pemerintah untuk jenis obat tertentu seperti obat antivirus, bisa diproduksi di Indonesia sehingga kita tidak terlalu tergantung pada obat impor,” ucapnya.

Dia mengatakan parlemen akan mendorong perusahaan farmasi di luar Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk bisa memproduksi obat-obatan di dalam negeri.

“Ketika perusahaan farmasi swasta mampu memproduksi kebutuhan obat-obatan dalam negeri justru kita sambut baik,” kata Rahmad.

Menurutnya, siapapun pihak yang mampu memproduksi obat-obatan yang dibutuhkan negara untuk mengatasi pandemi Covid-19 ini harus disambut baik.

Industri farmasi dalam negeri, baik BUMN maupun swasta harus dipercepat dalam perizinan, tidak dihambat sehingga dapat meningkatkan produktifitas untuk memenuhi kebutuhan obat-obatan dalam negeri.

“Kita harus fair siapapun perusahaan farmasi yang bisa memproduksi obat dan multivitamin yang dibutuhkan rakyat, silahkan saja. Rakyat akan senang, pemerintah akan senang, dan industri juga akan tumbuh,” ujarnya.

Hal yang sama diungkapkan anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai NasDem Ratu Ngadu Bonu Wulla. Dia mengatakan, berkaitan dengan ketersediaan obat Covid-19, saat ini kerja pemerintah belum maksimal. Dia memberi contoh saat Presiden Joko Widodo melakukan inspeksi obat-obatan ternyata tidak tersedia obat di beberapa apotik.

“Nah, ini tidak boleh terjadi apalagi pada situasi pandemi. Masyarakat harus memastikan bahwa obat selalu tersedia sehingga mereka bisa mendapatkan perawatan,” ujarnya.

Menurutnya pemerintah harus memberikan dukungan kepada semua pihak termasuk swasta untuk memproduksi obat-obatan yang dibutuhkan masyarakat tapi dengan catatan harus lewat SOP dan tentu di bawah pengawasan BPOM karena ini menyangkut nyawa manusia.

“Proses perizinan dan pengawasan harus berjalan dengan seefektif mungkin karena kondisi saat ini sedang krisis dan darurat. Jangan sampai kebutuhan obat-obatan masyarakat tidak terpenuhi karena proses perizinan dan administrasi yang memakan waktu berminggu-minggu,” tegasnya. (nas)

Back to top button