Headline

Soroti Kinerja 100 Hari Menteri HAM, DPR Nilai Tak Ada Progres Kasus Rempang

INDOPOSCO.ID – Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai dinilai belum optimal dalam 100 hari kinerja Kabinet Merah Putih. Salah satu indikatornya adalah tidak ada progres (kemajuan) signifikan dalam penanganan dugaan pelanggaran HAM dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) Pulau Rempang.

“Berbagai PSN dalam lima tahun terakhir memunculkan berbagai dugaan pelanggaran HAM. Dari mulai dugaan kekerasan oleh aparat, teror, hingga ancaman fisik. Tetapi sejauh ini belum ada langkah signifikan dari Menteri HAM untuk menangani persoalan tersebut secara serius,” ujar anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Komisi XIII Mafirion,dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, dikutip Minggu (9/2/2025).

Dia menjelaskan dalam kurun waktu 2019-2023 terdapat 101 orang yang luka, 204 orang ditangkap dan 64 orang mengalami korban kekerasan psikologis akibat adanya PSN. Rata-rata korban berasal dari masyarakat yang merasa dirugikan oleh PSN.

“Protes mereka disambut dengan kekerasan fisik dan teror yang melanggar hak asasi mereka untuk berpendapat. Apakah PSN harus dilakukan dengan model seperti itu?!” tanya politisi dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) ini.

Ironisnya, lanjut Mafirion, dugaan pelanggaran HAM dalam proyek strategis nasional banyak dilakukan oleh oknum aparat. Menurutnya, ada 36 aparat kepolisian, 48 kasus melibatkan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan 30 kasus yang melibatkan pemerintah daerah.

“Harusnya dugaan pelanggaran HAM ini mendapatkan prioritas perhatian dari Kementerian HAM untuk dituntaskan seusia prosedur yang berlaku,” tegasnya.

Mafirion menyebutkan salah satu contoh kasus dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Kasus penggusuran paksa warga di pulau tersebut terjadi karena warga menolak digusur paksa untuk meninggalkan tempat pemukimannya.

Penggusuran paksa kepada 7.500 warga Pulau Rempang agar berpindah dari tempat pemukimannya ke pulau lain atau tempat lain, ucap Mafirion, menyebakan warga tercabut dari akar kehidupan sosial budaya dan komunitasnya.

“Kasus pelanggaran HAM ini, tidak mendapat perhatian dari Kementerian HAM. Padahal seharusnya, Kementerian memberikan perlindungan terhadap masyarakat Rempang,” ucapnya.

Berdasarkan ketentuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), penggusuran paksa merupakan pelanggaran HAM berat yang diakui secara internasional karena hak atas perumahan yang layak, makanan, air, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, kebebasan bergerak dan keamanan adalah hak asasi setiap orang.

“Pernahkah kita membayangkan kalau kampung tempat kita tinggak bertahun-tahun secara turun-temurun lalu ada orang datang dan suruh kita pindah. Apa itu bisa diterima secara akal sehat,” ujar Mafirion.

Seharusnya, sambungnya, Kementerian HAM menjadi penengah antara masyarakat dan pihak yang bersiteru. Mafirion meminta Menteri HAM mengunjungi Pulau Rempang dan bertemu masyarakat untuk melihat secara langsung dan mendengarkan keluh kesah masyarakat.

“Saya minta Pak Menteri kembali pada jati diri seorang pejuang hak asasi yang mengingatkan pemerintah bahwa pembangunan harus dilaksanakan untuk kesejahteraan rakyat dan bukan di atas penderitaan rakyat,” pungkasnya. (dil)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button