Pengamat Sebut Pemerintah tak Becus Kelola Sistem Pendidikan

INDOPOSCO.ID – Mahalnya UKT (Uang Kuliah Tunggal) disebabkan karena perguruan tinggi bukanlah wajib belajar. Pernyataan Plt. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie ini disesalkan Pemerhati Pendidikan Indra Charismiadji melalui gawai, Minggu (19/5/2024).
Menurut Indra, pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) seolah lepas tangan dari ketidakmampuannya mengelola sistem pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Pemerintah memiliki kewajiban konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” katanya.
“Jadi walaupun pendidikan tinggi bukan bagian dari wajib belajar, tetapi tidak tepat jika pemerintah punya pemikiran untuk berdagang layanan pendidikan dengan rakyatnya sendiri,” imbuhnya.
Ia menegaskan, perlunya dilakukan evaluasi anggaran pendidikan yang mencapai Rp665 triliun setiap tahun. “Itu hasilnya apa? Membaca, matematika, sains, hasilnya salah satu yang terburuk di dunia kalau mengacu ke skor PISA,” ujarnya.
“Sekarang kuliah mahal dan bahkan tidak terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan menengah. Sedih juga punya pejabat yang tidak sadar kalau kebijakannya itu melanggar HAM, karena di artikel 26 deklarasi Hak Asasi Manusia dikatakan bahwa pendidikan tinggi harus terbuka aksesnya berdasarkan meritokrasi, artinya berdasarkan prestasi, kinerja, dan bukan karena uang,” imbuhnya.
Ia menjelaskan bahwa dengan fakta bahwa pendapatan perkapita masyarakat Indonesia itu hanya Rp75 juta rupiah per tahun. Jadi akan sangat kesulitan untuk membayar Iuran Pengembangan Institusi (IPI) atau uang pangkal yang diatas Rp75 juta belum lagi ditambah Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang diatas Rp20 juta per semester.
“Pemerintah boleh berdalih bahwa ada KIP Kuliah untuk masyarakat miskin, yang jadi masalah adalah masyarakat berpenghasilan menengah yang tidak mungkin bisa membayar biaya kuliah anak-anaknya,” terangnya.
“Problem utamanya ada 2 mengapa biaya kuliah di Indonesia mahal. Yang pertama, mindset pembuat kebijakan mengelola pendidikan dengan mekanisme pasar alias neoliberalisme,” imbuhnya. (nas)