Headline

Pengamat: Respon Jokowi Terhadap Kritik BEM UI Sangat Normatif

INDOPOSCO.ID – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai tidak masalah kritik BEM UI yang menjulukinya The King of Lip Service. Katanya, sejak dulu telah banyak menerima berbagai julukan, mulai klemar-klemer, plonga-plongo, otoriter, bebek lumpuh, bapak bipang, hingga yang terakhir the king of lip service.

Meski menilai tidak masalah dengan kritik tersebut, namun Jokowi mengingatkan bangsa ini memiliki budaya tata krama dan nilai sopan santun. “Respon Jokowi itu tidak ada yang istimewa. Semuanya normatif, yang memang selayaknya disampaikan seorang pemimpin di negara yang menganut demokrasi,” ujar Pengamat Komunikasi Politik M Jamiluddin Ritongga melalui gawai, Rabu (30/6/2021).

Di negara demokrasi seperti juga Indonesia, menurut Jamiluddin, kebebasan berpendapat memang dilindungi oleh negara. Karena itu, normal saja kalau Jokowi mengatakan universitas tidak perlu menghalangi mahasiswa untuk berekspresi.

“Justru akan aneh kalau Jokowi mengatakan sebaliknya. Jokowi malah akan dinilai keluar dari koridor negara demokrasi,” tegasnya.

Ia menilai, peringatan Jokowi bahwa bangsa ini memiliki budaya tata krama dan nilai sopan santun, juga sudah kerap disampaikan pemimpin negeri ini. Soeharto termasuk yang sering menyatakan hal itu dalam berbagai kesempatan.

“Masalahnya, ukuran tata krama dan nilai sopan santun itu juga tidak sama untuk semua etnis di Indonesia. Sopan menurut etnis batak atau Minang, belum tentu sopan menurut etnis Jawa,” terangnya.

“Etnis Batak dan Minang yang berkomunikasi cenderung direct, bisa jadi akan dipersepsi berbeda oleh etnis Jawa yang berkomunikasi lebih indirect,” imbuhnya.

Jadi, dikatakan dia, memang relatif sulit bila penerapan berdemokrasi dikaitkan dengan budaya tata krama dan nilai sopan santun seperti di Indonesia yang multietnis. Peluang miscommunication dan misperception sangat terbuka.

“Persoalan budaya tata krama dan nilai sopan santun dalam praktek berdemokrasi tampaknya perlu dioperasionalkan melalui kesepakatan nasional. Agar praktik demokrasi di Indonesia tidak menimbulkan multitafsir,” ujarnya.

“Jangan sampai seseorang merasa sikap dan perilakunya masih pada koridor demokrasi, tapi pihak lain menilainya sudah tidak sesuai dengan tata krama dan nilai sopan santun,” imbuhnya. (nas)

Back to top button